Jakarta, CNBC Indonesia – Larangan ekspor bijih bauksit yang baru akan diresmikan pada Juni 2023 mendatang, ternyata bukan pertama kalinya Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) melakukan hal serupa. Sebelumnya, Jokowi juga sudah melarang ekspor nikel hingga Indonesia digugat ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Memiliki cadangan ‘harta karun’ yang melimpah dari berbagai komoditas, merupakan hal wajar bagi Indonesia posesif akan kepemilikannya. Salah satu ‘harta karun’ tersebut, nikel, cadangannya di dalam negeri menjadi yang terbesar di dunia.
Nikel merupakan salah satu jenis logam dasar yang di gadang-gadang jadi komoditas masa depan. Nikel merupakan salah satu logam hasil tambang yang digunakan untuk berbagai keperluan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di pasar dikenal ada dua jenis nikel yaitu nikel kelas I dan kelas II. Nikel kelas II banyak digunakan untuk pembuatan stainless steel, sementara kelas I digunakan untuk produk lain seperti komponen baterai mobil listrik.
Berdasarkan data USGS pada Januari 2020 dan Badan Geologi 2019, mengutip dari Booklet Nikel yang dirilis Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) 2020, jumlah cadangan nikel RI tercatat mencapai 72 juta ton nikel (termasuk nikel limonite/ kadar rendah). Jumlah ini mencapai 52% dari total cadangan nikel dunia sebesar 139.419.000 ton nikel.
Menyusul Indonesia, ada Australia dengan cadangan nikel mencapai 15%, lalu Brazil 8%, Rusia 5%, dan gabungan sejumlah negara lainnya seperti Filiphina, China, Kanada, dan lainnya 20%.
Indonesia memiliki kandungan bijih nikel mencapai 11,7 miliar ton dan cadangan 4,5 miliar ton, yang termasuk nikel kadar rendah (limonite nickel) dan nikel kadar tinggi (saprolite nickel).
Umur cadangan bijih nikel Indonesia disebutkan bisa mencapai 73 tahun, untuk jenis bijih nikel kadar rendah di bawah 1,5% (limonite nickel).
Asumsi umur cadangan tersebut berasal dari jumlah cadangan bijih nikel limonit mencapai 1,7 miliar ton dan kebutuhan kapasitas pengolahan (smelter) di dalam negeri sebesar 24 juta ton per tahun.
Pengolahan bijih nikel kadar rendah ini biasanya menggunakan teknologi hydrometalurgi menjadi berupa Mixed Hydroxide Precipitate (MHP) dan nickel hydroxide (NiOH).
Adapun produk MHP dan NiOH ini bisa diolah lagi menjadi bahan baku komponen baterai kendaraan listrik maupun pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT) seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).
Sementara untuk bijih nikel kadar tinggi di atas 1,5% (saprolite nickel), umur cadangan disebutkan hanya cukup untuk sekitar 27 tahun ke depan.
Hitungan tersebut dengan asumsi jumlah bijih saprolit sebesar 2,6 miliar ton dan kapasitas kebutuhan bijih untuk smelter dalam negeri mencapai 95,5 juta ton per tahun.
“Bijih nikel kadar tinggi biasanya menggunakan teknologi pyrometalurgi yang bisa menghasilkan produk nickel matte, Nickel Pig Iron (NPI), dan feronikel (FeNi),” tulis keterangan Booklet Nikel tersebut.
Produksi
Tak tanggung-tanggung, dari sisi produksi, Indonesia juga menduduki juara pertama. Melansir data U.S Geological Survey (USGS) 2021, Indonesia menjadi negara dengan produksi nikel terbesar di dunia. Bahkan, USGS memprediksikan bahwa produksi nikel dari Indonesia pada 2021 sukses meningkat hingga 30% dengan kontribusi terbanyak dari proyek nikel pig iron dan baja tahan karat terintegrasi.
Sejak dulu hingga 2019, Indonesia tercatat masih melakukan ekspor bijih nikel mentah yang harganya pun lebih murah.
Namun, pada 1 Januari 2020, pemerintah Indonesia mulai memberlakukan pelarangan ekspor bijih nikel yang ditetapkan melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 11 Tahun 2019 Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2018 Tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara. Hal tersebut sebagai langkah untuk menghidupkan hilirisasi industri demi mendorong nilai tambah di dalam negeri.
Terbukti, dalam catatan Menteri BUMN Erick Thohir, pada tahun 2021 lalu nilai tambah dari hasil ekspor nikel melalui hilirisasi tembus 2600% atau menjadi US$ 27 miliar atau setara dengan Rp 421 triliun (asumsi kurs Rp 15.595/US$) dibandingkan pada tahun-tahun sebelumnya yang hanya US$ 1 miliar.
Sementara dari catatan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves), nilai tambah ekspor hasil hilirisasi nikel mencapai US$ 33 miliar atau Rp514 triliun (kurs Rp 15.595 per US$) untuk periode Januari-Oktober 2022.
Kebijakan penghentian untuk menghentikan ekspor bijih nikel bukan tanpa pro-kontra. Uni Eropa (UE) yang bergantung pada pasokan nikel dari RI langsung membawa masalah ini ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Blok kerja sama ekonomi di Benua Biru tersebut merasa dirugikan dengan kebijakan pemerintah RI.
Dari hasil gugatan tersebut, Indonesia kalah dalam gugatan UE di Badan Penyelesaian Sengketa atau Dispute Settlement Body (DSB) WTO terkait larangan ekspor bijih nikel sejak awal 2020.
Namun, Indonesia telah resmi mengajukan banding atas putusan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada pertengahan Desember 2022.
Belum selesai dengan gugatan di WTO, Indonesia kembali menjadi buah bibir dunia. Pasalnya, Jokowi akan kembali melarang ekspor salah satu ‘harta karun’ Indonesia yakni bauksit pada Juni 2023.
Jokowi Larang Ekspor Bauksit, RI Siap?
Gugatan Uni Eropa atas pelarangan ekspor nikel, nampaknya tidak membuat Jokowi gentar. Pasalnya, pada Rabu 21 Desember 2022, Presiden RI kembali resmi mengumumkan akan melarang ekspor mineral mentah berupa bijih bauksit yang akan dimulai pada Juni 2023.
Sejatinya pelarangan ekspor bijih bauksit itu sudah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba).
Pelarangan ekspor bauksit keluar negeri sebagai upaya Indonesia mendapatkan nilai tambah dari hasil ekspor. Maka dari itu, Jokowi menekankan, supaya industri di dalam negeri bisa mengembangkan hilirisasi bauksit.
Jokowi mengatakan bahwa dari industrialisasi bauksit di dalam negeri, ia memperkirakan pendapatan negara akan meningkat dari Rp 21 triliun menjadi sekitar kurang lebih Rp 62 triliun.
Namun, untuk mewujudkan program hilirisasi tentu tidak mudah. Pemerintah harus mengembangkan smelter sendiri dengan biaya yang jumbo.
Menurut Pelaksana Ketua Harian Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I), Ronald Sulistyanto, untuk membangun satu smelter bauksit di Indonesia, setidaknya harus merogoh kocek hingga US$ 1,3 miliar dengan kapasitas mencapai 2 juta ton ore.
Kesiapan Indonesia Terhadap Larangan Ekspor Bauksit
Sebagai informasi, pemerintah Indonesia menargetkan akan ada sekitar 12 smelter bauksit yang beroperasi hingga 2024.
Namun, Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batu Bara (Minerba) Irwandy Arif menyatakan bahwa hingga saat ini Indonesia memiliki empat buah fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) bauksit menjadi alumina yang sudah beroperasi di Indonesia.
Sementara, delapan smelter bauksit sedang dalam proses konstruksi untuk mendukung hilirisasi bauksit di dalam negeri.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT