Energi
Ada kejadian sangat menyesakkan bagi La Amin Lawuru, ketika perusahaan tambang nikel masuk ke desanya, Roko Roko, Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara. Pada 2018, pria 53 tahun ini harus memindahkan kuburan anak pertamanya, Muhajir, dari lokasi pemakaman gara-gara lahan masuk konsesi perusahaan.
“Saya menangis. Menangis,” katanya mengenang.
Kala itu, dia membicarakan persoalan ini pada sang istri. “Tak ada jalan lain [harus dipindahkan].”
Muhajir meninggal dunia pada usia jelang 30 tahun, karena sakit. Seperti kebiasaan warga di Roko Roko, pemakaman di lahan masing-masing keluarga, tak ada pemakaman umum. Mertua Amin, meminta sang cucu dikuburkan di kebun miliknya, seluruh keluarga menyetujui.
Ketika orang-orang tambang nikel, PT Gema Kreasi Perdana (GKP) mendatangi kampung, dan membicarakan kandungan mineral di kampungnya yang besar dan akan mengolah, sebagian warga antusias, banyak yang menolak.
Orang-orang GKP, masuk Roko Roko dan meminta warga melepaskan tanah untuk jalan tambang. Anak perusahaan Harita Group ini menawarkan uang besar bagi petani yang merelakan kebun. Juga, janjikan keluarga mereka jadi karyawan di perusahaan. Ironisnya, mertua Amin, kakek Muhajir, yang jadi gelombang pertama yang melepaskan kebunnya.
Jalan tambang itu, dalam perencanaan perusahaan akan menghantam kuburan Muhajir. Keluarga terpecah. Sang kakek, bersikeras kalau memberikan tanah pada perusahaan akan berdampak lebih baik bagi kehidupan selanjutnya.
“Waktu kuburan anak digali dan dipindahkan, saya tidak lihat. Nda ikut. Saya tidak kuat,” katanya.
Baca juga: Ketika Perusahaan Tambang Nikel Masuk Pulau Wawonii [1]
Saat proses pemindahan makam, orang-orang kampung berkumpul sejak pagi. Jelang siang, iringan warga berjalan menuju kebun. Bagi warga kampung, ketika orang tua kampung sudah memberi restu penggalian, dan sekop pertama menyentuh pusara, orang-orang melakukannya dengan tenang.
Ini kali pertama di kampung itu pemindahaan makam. Saat tanah galian makin dalam dan mencapai tempat jenazah, orang-orang menarik napas dalam. Pelan-pelan, kain kafan putih yang sudah berwarna coklat karena tanah, tersingkap. Orang-orang memperhatikan dengan saksama. Kain itu belum hancur dan mereka angkat perlahan.
Jelang sore, kafan Muhajir diangkut menuju perkampungan. Tetua menghampiri dan membuka kain itu. Peti baru disiapkan lalu kain kafan baru. Rangka Muhajir disusun kembali dengan rapi dan prosesi penuh kesunyian. Orang-orang menangis. Mereka marah. Beberapa memberi rangkulan pada Amin. Saling menguatkan.
Baca juga: Fokus Liputan: Morowali di Bawah Cengkeraman Tambang Para Jenderal
***
Kami melintasi petakan kecil kebun kelapa. Tiga menit kemudian Amin menunduk dan mencabuti rumput liar yang tumbuh di pusara baru Muhajir.
Pusara itu, dikelilingi batu gunung berlumut. Amin belum membuat semen beton untuk Muhajir. Dia duduk takzim dan mengusap nisan anaknya. Dia bilang, perusahaan datang tidak hanya membuat susah orang hidup, juga orang mati.
“Dua hari setelah kuburan dipindahkan, tempat kuburan itu ditimbun mi untuk jadi jalan,” kata Amin.
Sisa material dari batu-batu gunung pembuatan jalan di lahan mertuanya dan yang menghilangkan kuburan Muhajir dia angkut. Batu-batu dia susun, saat ini mengelilingi pusara sang anak. “Saya mau ingat, bagaimana perusahaan itu membuat saya begini. Ini batu sisa bekasnya.”
Setahun berikutnya, pada 2019, perusahaan tak hanya menghantam kuburan anaknya, juga menyerobot kebun. Enam kelapa sudah dirobohkan. Bersama warga, dia berhasil menghalaunya.
Baca juga: Kala Warga Wawonii Tolak tambang Terjerat Hukum, KKP Temukan Pelanggaran Perusahaan
Amin bersikeras, tak akan melepaskan secuil pun lahan untuk perusahaan. Berulang kali keluarga maupun tetangga yang sudah bekerja di perusahaan membujuknya. Amin bergeming.
Muslim, petani muda di Roko Roko, ikut membantu pemindahan kuburan Muhajir, sedih mengenangnya.
“Waktu kuburan dipindahkan, waktu jenazah diangkat, yang membantu itu hanya orang yang menolak tambang,” katanya.
Para penerima tambang hanya melihat dari rumah, atau dari kejauhan.
Saat ini musim angin timur. Lautan Wawonii yang menghadap Laut Banda begitu beriak. Siang hari, laut terlihat memutih karena buih ombak yang pecah. Malam hari, angin berhembus kencang, bagai menembus tulang.
Meski Roko Roko adalah pesisir, udara di kampung ini tak lengket. Pepohonan dan kebun warga yang rimbun membuat udara sejuk. Dulunya kampung tenang dan damai. “Tapi itu dulu, sebelum tambang masuk,” kata Muslim.
Bagi warga Roko Roko, segala kemungkinan sudah mereka persiapkan. Muslim dan keluarga, misal, sudah membicarakan, bagaimana pemakaman keluarga yang berdekatan dengan kantor GKP, harus dipindahkan. “Ada beberapa kuburan. Kalau hujan, sudah menggenang air. Dinaikkan pun susah.”
“Ini masih bisa kita ziarah. Kalau misalkan besok perusahaan bikin pagar, kita tidak akan bisa lagi menjangkau. Atau harus minta izin.” (Bersambung)
Baca juga: Cerita Warga Menanti Wawonii Terbebas dari Pertambangan
*****
Facebook
Twitter
Instagram
RSS / XML
© 2023 Copyright Mongabay.co.id