Jakarta, CNBC Indonesia – Indonesia adalah negara yang sangat kaya, bahkan jarang memiliki tandingannya di dunia. Ini dikatakan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan beberapa waktu lalu di sebuah seminar internasional di Bali.
Menurut Luhut, jangankan orang luar negeri, masyarakat Indonesia saja banyak yang tidak tahu. Salah satu “harta karun” yang mengendap di bumi nusantara adalah nikel. “Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar. Kita ini sangat kaya. Beberapa orang mungkin tidak mengerti bahwa kita sangat kaya,” kata dia.
Data resmi, cadangan nikel Indonesia mencapai 72 juta ton. Ini setara 52% dari total cadangan nikel dunia. Nikel punya banyak kegunaannya, sebagai bahan baku baterai listrik hingga bahan baku kendaraan listrik itu sendiri. Bila diolah, seperti mengubah bijih nikel kadar rendah (limonit) menjadi nikel sulfat, maka nilai tambahnya menjadi 11,4 kali. Sampai dengan diproses menjadi produk paling ujung, berupa sel baterai, nilai tambahnya menjadi 67,7 kali.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Berkat larangan ekspor biji nikel pada Januari 2020, Indonesia kini mulai menikmati keuntungan besar dari ekspor produk turunan, seperti Nickel Pig Iron, feronikel, nickel matte, dan stainless steel. Hitungan, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sebelum pelarangan ekspor bijih nikel, ekspornya tak sampai US$ 2 miliar, tapi setelah pelarangan mencapai US$ 20 miliar, dan ditarget kan bisa tembus US$ 30 miliar.
Lain dengan Luhut, Direktur PT Samindo Resources Gilbert Markus Nisahpih kepada CNBC Indonesia TV mengungkapkan, Indonesia memiliki ‘harta karun’ berserakan sebagai bahan baku energi alternatif. “Indonesia kaya akan pasir kuarsa, terutama di Sumatera dan kalimantan,” katanya, Kamis (17/11).
Pasir kuarsa adalah bahan baku pembuatan kaca, dimana ia merupakan komponen utama panel surya atawa solar panel. “Untuk apa pasir ini? untuk solar panel. China itu sedang giat sekali membangun panel surya. Mereka membutuhkan pasir kuarsa dalam jumlah yang sangat besar,” jelas Gilbert.
Panel surya adalah energi masa depan yang sudah diakui diseluruh dunia. Indonesia bisa menjadi pemasuk utama untuk memproduksi panel tersebut dengan harga yang terjangkau karena memiliki bahan utamanya. Di daerah tambang pasir kuarsa seperi di Bayah, Banten, harga belum diolah sudah di atas Rp100 ribu per ton.
Nikel, pasir kuarsa hanya sedikit dari harta karun terpendam dalam bumi nusantara. Ada batubara yang kini kembali menjadi primadona setelah krisis energi menyergap sebagian besar benua Eropa. Ada juga timah, tembaga, bauksit hingga besi.
Kontribusi pertambangan cukup besar bagi perekonomian. Pada 2021 nilai ekonominya mencapai lebih dari Rp1.500 triliun atau kelima terbesar dari 17 sektor penyumbang produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Contoh lagi, hanya ekspor dari besi dan baja saja nilainya mencapai US$23 miliar sepanjang tahun ini.
Sebagai negara surga produk tambang, Indonesia menikmati keuntungan yang besar dari harta karun terpendam. Bersama produk lainnya, nilai ekspor RI mencapai US$244 miliar pada Januari-Oktober tahun ini. Sementara, surplus dagangnya-setelah dikurangi impor-mencapai US$5,7 miliar. Hanya saja kemana hasil ekspor itu mengalir?
Tapi Rupiah Tekor Terus
Sayangnya, penghasilan dari ekspor yang berbentuk dolar Amerika Serikat itu tidak banyak menolong kurs rupiah yang kerap tertekan. Kurs rupiah sudah kalah lebih dari 10% terhadap dolar AS, berada di level Rp15.688. Dalam lima hari terakhir, kurs Garuda juga melemah lebih dari satu persen.
Padahal, sebagaimana hukum pasar, seharusnya dengan jumlah perolehan dana hasil ekspor (DHE) itu, pasokan dollar AS di dalam negeri melimpah, sehingga rupiah akan kuat. Tetapi nyatanya tidak. Uang hasil ekspor lenyap, tak kembali ke Indonesia.
Pemerintah dan Bank Indonesia bahkan sudah menerbitkan peraturan yang melarang DHE tersebut disimpan di luar negeri. Bunyinya, DHE yang berasal dari hasil barang ekspor pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan wajib disimpan di dalam sistem perbankan dalam negeri. Denda untuk eksportir yang tidak melakukannya berupa denda sebesar 0,5% dari nilai ekspornya.
Tetapi aturan ini mudah dikelabuhi eksportir, karena tidak ada dan tidak mungkin ada aturan pembatasan waktu harus mengendapkan dana itu di rekening bank dalam negeri. Setelah dana itu diterima di bank lokal sebentar, kebanyakan eksportir lantas memindahkan dananya ke luar negeri, khususnya di Singapura.
Hal ini sudah diamini oleh Bank Indonesia dan pemerintah, bila memang banyak eksportir yang hanya secara formal mematuhi aturan DHE itu, selebihnya langsung memarkir duitnya di luar negeri. Hal ini juga dibenarkan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, dimana banyak dana di Singapura sebetulnya milik pengusaha di Indonesia.
Ini tercermin dari nilai investasi asing di Indonesia yang didominasi Singapura. Nilainya, pada Januari-September 2022 sebesar US$ 10,5 miliar, yang menurut Menteri Bahlil sebagian diantaranya adalah dana milik orang-orang Indonesia juga.
Bank Indonesia dan pemerintah sedang mencoba untuk merayu eksportir untuk lebih lama menyimpan dananya di bank dalam negeri. Sedang dipikirkan mulai dari insentif pajak atau aturan aturan relaksasi lainnya, seperti dikemukakan pejabat BI beberapa waktu lalu.
Hanya saja, upaya ini tampaknya tidak akan mudah sebab masalah yang terjadi sebenarnya adalah tingkat suku bunga simpanan valas di bank dalam negeri tak kompetitif, terlalu rendah dibandingkan negara tetangga, Singapura.
Bandingkan saja, mendepositkan US$10 juta di bank-bank BUMN, seperti Bank Mandiri selama satu bulan hanya dihargai bunga 0,95%, sementara di HSBC Singapura diberikan 3.15%! Eksportir gila mana yang mau menaruh duitnya dalam negeri?
TIM RISET CNBC INDONESIA
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT