Sosial
“Ssrrt… srrtt…” Suara penyeka kaca bolak-balik mengusap air hujan yang jatuh di muka truk, Jumat, 12 Februari 2021. Kaca pintu dibuka setengah agar angin masuk ke dalam kendaraan tanpa penyejuk udara itu. Berkecepatan sedang, mobil melintasi jalan protokol yang diguyur hujan sejak petang. Sesekali, tangan pengemudi menggebuk sedikit keras tuas persneling yang kerap macet saat memindahkan kecepatan.
Sekitar pukul 20.55 WIB, ban mulai menyentuh jalan penuh lumpur hitam di tempat pembuangan akhir [TPA] sampah, Jalan Tulung Buyut, Kelurahan Bakung, Kecamatan Telukbetung Barat, Bandar Lampung. Bau busuk langsung menusuk hidung meski sudah pakai masker. Kali ini, truk melambat. Jika tidak hati-hati, ban bisa masuk kubangan dan sulit keluar.
Hujan tambah deras. Sang sopir keluar dari dalam mobil tanpa jas hujan, memastikan apakah posisi mobil sudah tepat untuk menurunkan muatan. Setelah dirasa cukup, ia kembali ke mobil.
Sambil menengok ke belakang, ia menarik tuas hidrolik itu hati-hati. Bak truk mulai beringsut menumpahkan muatan. Setelah bak kosong, ia memutar setir dan bergegas meninggalkan lokasi.
Satu minggu sekali, truk berjenis arm roll [bak truk dapat ditinggal] yang bertuliskan Dinas Lingkungan Hidup Kota Bandar Lampung itu mengangkut sampah dari Rumah Sakit Urip Sumoharjo. Mobil tersebut biasa mengangkut sampah sebanyak dua bak yang diantar satu per satu. Biasanya, setiap Jumat, pukul 17.00- 21.00 WIB. Jika tempat penampungan sampah penuh, truk harus mengubah jadwal.
Kendaraan tersebut mengangkut sampah sisa aktivitas rumah sakit. Di timbunan sampah domestik itu, terdapat selang infus bekas dan kantong plastik berwarna kuning bertuliskan infeksius biohazard. Biohazard [Biological Hazard] atau bahaya hayati merupakan organisme maupun bahan-bahan yang dapat membahayakan kesehatan [utamanya] pada manusia.
Jumat petang itu, ditemukan pula alat pelindung diri [APD] di timbunan sampah, seperti pakaian hazmat, kacamata khusus [spectacles dan goggles], masker bekas, serta sarung tangan medis. APD biasanya digunakan petugas medis untuk melindungi diri dari kontaminasi virus atau penyakit berbahaya yang berpotensi menular, misal virus corona.
Tempat penampungan limbah medis di RS Urip Sumoharjo lokasinya dekat instalasi pengolahan air limbah [Ipal]. Lantainya semen. Ruangannya sekitar 8×6 meter. Di sebelah ruangan itu terdapat dua bak sampah yang menampung limbah nonmedis. Dari bak itulah sang sopir mengangkut sampah yang dibawa ke TPA Bakung. Pada Jumat malam, sampah medis berupa botol infus, masker, dan sarung tangan tampak berceceran, mulai dekat bak sampah hingga Ipal.
Pemandangan berbeda terlihat Selasa [16/2/2021] siang. Hari itu, Dinas Lingkungan Hidup Bandar Lampung meninjau tempat penyimpanan sampah medis dan nonmedis di RS Urip Sumoharjo. Sewaktu peninjauan, tidak tampak sampah medis berceceran. Rapi dan bersih.
Baca: Laut Indonesia dalam Ancaman Sampah Medis COVID-19
Kepala Bagian Umum RS Urip Sumoharjo Lia Amelia mengatakan, botol infus bukan termasuk limbah medis.
“Hal itu tertuang dalam Pasal 38 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.56/Menlhk-Setjen/2015 tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun [B3] dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan,” kata Lia.
Pasal 38 dimaksud Lia adalah ayat [1]. Bunyinya, “Kewajiban memiliki Izin Pengelolaan Limbah B3 untuk kegiatan Pengolahan Limbah B3 dikecualikan untuk Penghasil Limbah B3 yang melakukan sendiri Pengolahan Limbah B3 berupa: a. kemasan bekas B3; b. spuit bekas; c. botol infus bekas selain infus darah dan/atau cairan tubuh; dan/atau d. bekas kemasan cairan hemodialisis.” Ayat ini mengatur soal izin pengelolaan, bukan jenis-jenis yang tidak termasuk limbah medis.
Mira Finda Sari, Kepala Sub Bagian Kesehatan Lingkungan RS Urip Sumoharjo, menyatakan bahwa pihaknya menerapkan pengawasan ketat terkait penanganan limbah medis. Ia menyebut, penanganan limbah B3 di RS Urip Sumoharjo sudah sesuai prosedur. Jadi, sejak sampah itu dihasilkan dari ruangan bekas perawatan medis, petugas langsung memisahkan limbah, baik medis ataupun domestik.
“Kemasan limbah medis berwarna kuning, sedangkan plastik berwarna hitam untuk sampah domestik. Untuk jarum suntik menggunakan safety box,” ujarnya.
Mira bilang, ada petugas khusus untuk mengumpulkan dan mengangkut limbah medis. Ia memastikan limbah medis dan domestik tidak akan tercampur. Sebab, memiliki tempat penyimpanan terpisah, serta penanganan khusus yang diawasi ketat.
“Kalau sampah domestik itu pengangkutnya adalah cleaning service. Sedangkan sampah medis, yang bertugas adalah staf khusus Kesling [Kesehatan Lingkungan],” kata Mira.
Baca: Dampak Limbah Medis Saat Pandemi
Sampah medis RS Urip Sumoharjo diangkut dua kali seminggu. Artinya, rata-rata limbah medis disimpan tiga hari, baru kemudian diangkut dan dimusnahkan oleh pihak ketiga. Padahal, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor: P.56/Menlhk-Setjen/2015 mengatur bahwa penyimpanan limbah medis hanya boleh dua hari, sebelum dimusnahkan. Mira mengakui bahwa hal itu tidak sesuai standar.
“Memang standarnya seperti itu [selama dua hari]. Namun, hal ini bukan hanya masalah rumah sakit [Urip]. Ini masalah seluruh [fasilitas kesehatan] di Lampung. Sebab, di Lampung tidak ada perusahaan yang dapat memusnahkan limbah medis,” ujarnya.
Menurut perempuan itu, pengangkutan dan pemusnahan limbah medis memerlukan biaya.
“Kalau kami mau saja. Jangankan dua hari sekali, kalau sehari sudah penuh [limbah medis] ya kami telepon [pihak ketiga]. Hanya kan perlu biaya,” ucap Mira.
Baca juga: Meninjau Aturan dan Pengelolaan Limbah Infeksius dan Sampah Rumah Tangga Era COVID-19
Limbah medis dijual
Pada Sabtu, 6 Februari 2021, di lokasi pembuangan sampah di TPA Bakung, ditemukan limbah berupa botol atau plastik infus, perban, selang infus, dan kasa. Kemudian, masker, selang dan masker oksigen, serta kantong plastik bertuliskan infeksius biohazard. Terlihat pula sarung tangan medis dengan noda kuning.
Sampah tersebut umumnya disebut limbah medis. Artinya, semua benda-benda itu merupakan sisa dari aktivitas medis di rumah sakit. Sejumlah pemulung acap menemukan barang tersebut.
“Saya sering ketemu kayak gitu [botol infus, jarum suntik, masker]. Hari ini saja, dapat ini [menunjukkan beberapa jarum suntik bekas dari dalam plastik hitam],” kata Mursyid, lelaki tua yang lebih dari 20 tahun menjadi pemulung, di TPA Bakung, Minggu, 31 Januari 2021.
Tiga pemulung lain juga berkata demikian. Mereka bilang, sampah medis tak hanya dari satu rumah sakit. Fasilitas pelayanan kesehatan lain, seperti klinik, juga membuang sampah medisnya di TPA Bakung.
“Ya kalau sampah kan memang semua rumah sakit atau puskesmas buang di sini. Ada saja yang ikut terbuang, seperti jarum suntik atau botol infus,” ujar Hartono, pemulung.
“Kami tahu karena merek rumah sakit atau kliniknya masih ada di botol infus,” timpal pemulung lain.
Beberapa pemulung memang biasa mengumpulkan sampah medis. Evan, misalnya. Ia mulai mengumpulkan jenis botol infus sekitar empat tahun terakhir. Limbah itu dijualnya ke pengepul kecil di kawasan Bakung.
“Harganya lumayan, sekitar Rp5.000 per kg,” kata Evan yang memulung di TPA Bakung sejak 1999. Sedangkan botol plastik biasa dijual sekitar Rp2.000 per kilogram.
Setelah dari pengepul kecil, limbah medis padat itu dijual lagi ke pengepul lebih besar di kawasan Natar, Lampung Selatan; atau Pringsewu. Namun, Evan tak tahu pasti diapakan lagi limbah bahan berbahaya dan beracun tersebut.
***
Pagi itu, Bawor beristirahat di bawah pohon kakao. Sambil menikmati kopi, ia bercakap-cakap dengan temannya di samping tempat pembuangan sampah [TPS] sementara di Jalan Samratulangi, Kelurahan Penengahan Raya, Kecamatan Kedaton, Kota Bandar Lampung. Memang, antara pukul 09.00-10.00 WIB, kerap dimanfaatkan Bawor serta petugas kebersihan lain untuk rehat sejenak.
Sejak 30 tahun terakhir, lelaki tua berperawakan agak pendek itu menjadi petugas kebersihan. Saban hari, Bawor mengangkut sampah dari Rumah Sakit Detasemen Kesehatan Tentara [DKT] Denkesyah menggunakan gerobak, lalu dibawa ke TPS. Nantinya, sampah itu diangkut menggunakan mobil Dinas Kebersihan setempat ke TPA Bakung.
Setelah dirasa cukup mengisi tenaga, Bawor besama teman-temannya melanjutkan tugas, mengangkut sampah di TPS ke mobil, tanpa sarung tangan dan masker.
“Ya begini, sudah biasa. Justru, kalau pakai masker itu engap, gampang capek,” kata dia.
Selagi mengumpulkan sampah, tangan kanan Bawor mengangkat sebuah baju putih dengan sedikit garis biru. Pakaian itu adalah hazmat.
“Bukannya kami gak takut corona, cuma ya berserah diri saja sama Allah,” ujarnya.
Tampak pula limbah medis lain seperti masker bekas, plastik infus, sarung tangan medis, dan perban. Limbah infeksius itu menyatu dengan sampah rumah tangga.
“Saya juga pernah marah kepada petugas rumah sakit. Ada jarum suntik di sampah yang diangkut,” ucapnya.
Kepala RS DKT dr. Usman menyebut bahwa pengelolaan limbah medis sudah baik. Ada petugas khusus yang menangani.
“Jadi, kami pisahkan sesuai jenisnya antara medis dan nonmedis. Petugasnya khusus dengan APD lengkap.”
Ia mengatakan, limbah medis atau domestik memiliki tempat penyimpanan sendiri. Untuk limbah domestik diangkut setiap hari, sedangkan limbah medis dua minggu sekali, tergantung volume.
“Untuk pengangkutan dan pengolahan, kami bekerja sama dengan pihak ketiga. Limbah medis diolah perusahaan. Lalu, [pengolahan] limbah domestik bekerja sama dengan dinas terkait,” ujarnya.
Ihwal penemuan sampah medis di TPS Penengahan Raya, Usman bilang itu bukan dari RS DKT. “Itu kan sampah infeksius, gak boleh [dibuang] sembarangan.”
Sangat berbahaya
Hartono bertubuh kurus. Ia sehari-hari mengumpulkan barang bekas di TPA Bakung. Mengais rezeki dari sampah, lelaki itu pernah menjadi “korban limbah medis.”
Hartono ingat betul peristiwa tersebut. Medio 2006, dia mengubek tumpahan sampah dari sebuah truk. Medan yang sedikit curam, seperti jurang, memaksanya mengais sambil mendaki. Ia melakukan itu agar tidak tenggelam dalam sampah dari mobil selanjutnya.
Sekira pukul 14.00 WIB, tiba-tiba kaki kirinya terasa ngilu. Berada sedikit di atas dengkul, sebuah jarum suntik menembus kulit Hartono. Tak tahan sakit, ia istirahat.
Sekitar empat jam setelah jarum suntik dicabut, Hartono merasakan kakinya keram. Perlahan, area bekas tusukan jarum itu bengkak.
“Seperti ini besarnya [menunjukkan tangan yang mengambarkan bengkak sebesar telur ayam],” ujarnya.
Rasa nyeri tembus hingga dada. Maghrib menjadi puncaknya. Hartono diantar menggunakan becak menuju klinik terdekat.
“Waktu itu, dokter menyuntik saya di atas becak. Saya tidak sanggup berjalan,” katanya mengenang peristiwa kelabu tersebut.
Hartono bukan satu-satunya korban. Beberapa tahun berikutnya, ada pemulung yang sempat lumpuh setelah terkena jarum suntik. Jika tertusuk jarum suntik bekas, biasanya pemulung hanya mengobati dengan obat tradisional atau obat dari apotek.
Kepala Dinas Kesehatan Bandar Lampung Edwin Rusli menyatakan, limbah medis tidak boleh dibuang begitu saja. Apalagi sampai tercampur limbah domestik, di tempat pembuangan sampah. Berpotensi menularkan penyakit.
“Tidak berada di tempat sampah pun sudah banyak kuman,” katanya.
Edwin menyebut, pihaknya telah menjalankan pengawasan terkait limbah medis di Bandar Lampung. Hasilnya, pengelolaan sesuai prosedur. Namun demikian, ia membenarkan bahwa belum ada perusahaan di Lampung yang dapat memusnahkan, itulah mengapa kerja sama dengan pihak ketiga.
Soal penemuan limbah medis di tempat pembuangan sampah, Edwin bilang harus diselidiki. Ia menilai, banyak faktor penyebab sehingga tidak terkelola.
“Itu harus dipastikan, apakah rumah sakit sengaja membuang atau ada pihak ketiga,” ujarnya.
Hal senada disampaikan Dinas Lingkungan Hidup Bandar Lampung. Sampah medis tidak seharusnya sampai di tempat pembuangan akhir limbah domestik. Sebab, pengelolaannya khusus.
“Limbah medis itu gak bisa [sampai ada di pembuangan sampah domestic]. Ada penanganan khusus, perlu dikelola khusus,” kata Cik Ali Ayub, Kepala Bidang Pengawasan Dinas Lingkungan Hidup Bandar Lampung, usai meninjau lokasi penyimpanan limbah medis di RS Urip Sumoharjo, Selasa [16/2/2021].
Cik menyebut, pihaknya rutin melakukan pengawasan. Setiap tiga bulan sekali, Dinas Lingkungan Hidup mengontrol limbah bahan berbahaya dan beracun itu.
“Mungkin juga ini ‘kecelakaan’ tapi kami enggak tahu. pastinya, kami rutin menjalankan pengawasan,” ujarnya.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Lampung menilai, sampah medis yang tercecer di lingkungan dapat mengontaminasi tanah dan air. Organisasi pemerhati lingkungan hidup itu mendorong kepolisian mengusut tuntas bila terjadi pelanggaran, yakni membuang limbah medis sembarangan.
“Itu termasuk kejahatan luar biasa. Sebab, kategorinya limbah berbahaya dan dapat membahayakan masyarakat,” kata Direktur Eksekutif Walhi Lampung Irfan Tri Musri.
Bagaimana seharusnya?
Merujuk Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.56/Menlhk-Setjen/2015, pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun meliputi pengurangan dan pemilahan, penyimpanan, pengangkutan, pengolahan, penguburan, dan penimbunan.
Setiap penghasil limbah wajib mengurangi dan memilah limbah B3 berdasarkan karakteristiknya. Wadah untuk limbah yang dipilah dibedakan dengan warna. Merah untuk radioaktif; kuning untuk limbah infeksius dan limbah patologis; ungu untuk sitotoksik; dan cokelat untuk bahan kimia kedaluwarsa, tumpahan, atau sisa kemasan, dan limbah farmasi.
Penghasil limbah -dalam hal ini fasilitas pelayanan kesehatan [fasyankes]- hanya boleh menyimpan limbah B3 infeksius paling lama dua hari bila pada suhu kamar, atau 90 hari hingga dimusnahkan. Pemusnahan lewat pembakaran melalui alat khusus, yaitu incinerator dengan suhu minimal 800 derajat Celcius.
Pemusnahan bisa secara mandiri oleh fasyankes yang memiliki incinerator, atau pengolahannya dapat melalui pihak ketiga, dalam hal ini jasa pengolah limbah medis yang memiliki izin.
Lebih lanjut, pada masa pandemi COVID-19, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan Surat Edaran [SE] MENLHK 2/2020. Di dalamnya diatur soal penanganan limbah infeksius dan limbah rumah tangga dari penanganan corona.
Limbah infeksius yang berasal dari fasyankes disimpan dengan kemasan tertutup dalam kurun waktu maksimal dua hari. Selanjutnya, limbah diangkut dan dimusnahkan pada pengolahan limbah B3 menggunakan incinerator dengan suhu pembakaran minimal 800 derajat Celcius, atau dengan autoclave yang dilengkapi pencacah [shredder].
Residu hasil pembakaran atau cacahan dari autoclave dikemas dan diberi simbol “Beracun” dan label limbah B3. Lalu, disimpan di tempat penyimpanan sementara limbah B3 untuk selanjutnya diserahkan pada pengelola limbah B3.
Untuk limbah infeksius dari ODP yang berasal dari rumah tangga, dilakukan pengumpulan limbah infeksius berupa APD, seperti masker, sarung tangan, dan baju pelindung diri. Pengemasan limbah dalam keadaan tertutup untuk kemudian diangkut dan dimusnahkan pada pengelolaaan limbah B3.
Untuk pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis rumah tangga, seluruh petugas kebersihan atau pengangkut sampah wajib dilengkapi APD. Khususnya, masker, sarung tangan dan safety shoes yang setiap hari harus disucihamakan.
Guna mengurangi timbunan sampah masker, masyarakat yang sehat diimbau untuk menggunakan masker ulang yang dapat dicuci setiap hari. Sedangkan masyarakat yang kurang sehat menggunakan masker sekali pakai [disposable mask]. Setelah pemakaian, dirobek dan digunting, lalu dikemas sebelum dibuang ke tempat sampah. Pemerintah daerah wajib menyediakan tempat sampah/drop box khusus masker di ruang publik.
* Derri Nugraha dan Hendry Sihaloho, jurnalis lepas yang minat pada persoalan lingkungan di Lampung. Aktif di AJI Bandar Lampung.
Facebook
Twitter
Instagram
RSS / XML
© 2023 Copyright Mongabay.co.id