* Tumpang Tindih Izin
* Sungai Dangkal, Banjir Datang
PENGANTAR – Sekilas mata memandang, gunung-gunung itu tampak hijau. Hanya lerengnya yang tandus. Namun, nun jauh di sana, Manggamat dan sekitarnya sudah dikapling-kapling dan dieksploitasi. Setidaknya, secara resmi ada enam perusahaan yang menguasai kawasan itu. Ini belum termasuk tambang liar yang merajalela. Wartawan Serambi Indonesia, Said Kamaruzzaman yang mengunjungi kawasan itu pekan lalu merekam kegelisahan warga akibat kerusakan lingkungan yang ditimbulkan aktivitas pertambangan, seperti terangkum dalam liputan khusus edisi ini.
HIB Bahir (46) mengaku pusing. Sebagai seorang kepala desa, hampir saban hari dirinya menerima laporan warga. Keluhannya, apalagi kalau bukan soal banjir yang datang saban bulan. “Saya pusing juga setiap hari begini, tanpa solusi. Dulu empat hari hujan tak berhenti, tak pernah banjir. Sekarang, tiga jam saja hujan langsung banjir,” kata Hib Bahir yang juga Keuchik Koto Manggamat, Kecamatan Kluet Tengah, Aceh Selatan, kepada Serambi, Sabtu lalu.
Bencana banjir mulai kerap datang setelah beberapa perusahaan tambang beroperasi. PT Multi Mineral Utama (MMU), misalnya, sejak tahun 2010 diberikan izin mengeksploitasi bijih emas beserta mineral pengikutnya yang lokasi persisnya di atas Krueng Kluet dengan luas areal total 5.000 hektare (ha). Izin Usaha Produksi berdasarkan Keputusan Bupati Aceh Selatan pada 6 Januari 2010 yang berlaku untuk jangka waktu 20 tahun atau sampai 7 September 2027. Izin yang diberikan untuk areal seluas 1.000 ha.
Berdasarkan dokumen proposal bisnis perusahaan tersebut yang diperoleh Serambi, cadangan emas di area konsesi diperkirakan mencapai 87.500 ton yang disebut berada pada daerah ‘Project Manggamat’. Umur tambang diperkirakan mencapai sepuluh tahun jika perusahaan tersebut mampu meningkatkan kapasitas hingga 87.500 ton biji per tahun. Cadangan emas di Project Manggamat ini berada di pegunungan dengan ketinggian sekira 200-700 meter.
Sekali mendayung, dua pulau terlampaui. Di sela-sela menambang emas, ternyata ada mineral lain yang tak kalah bernilai, yakni bijih besi (batuan atau cebakan yang mengandung ikatan besi dalam jumlah yang dapat diolah). Namun, PT MMU sebagai pemegang lisensi tak mau mengeksploitasi sendiri. Dalam suratnya yang ditujukan kepada Gubernur Aceh pada 16 Desember 2011, Wakil Direktur Utama PT MMU, Mufti Habriansyah menyatakan, tidak ekonomis kalau bijih besi tersebut ditambang oleh mereka sendiri. Mereka kemudian membuat surat perjanjian kerja sama dengan PT Beri Mineral Utama (BMU). “Namun, kerja sama dengan mereka hanya terbatas pada pengelolaan bijih besi dan tidak pada bahan galian lain,” kata Mufti dalam surat tersebut.
Areal produksi bijih besi berada di Desa Simpang Tiga- Manggamat, Kluet tengah dan Desa Paya Ateuk, Kecamatan Pasie Raja. Dalam surat perjanjian ditegaskan bahwa PT MMU dapat fee 3 dolar AS untuk setiap ton bijih besi yang dijual. Izin untuk operasional PT BMU kemudian dikeluarkan oleh Bupati Aceh Selatan, Husin Yusuf pada 24 Januari 2012 selama 20 tahun atau hingga 14 Januari 2032. Dengan perjanjian kerja sama ini, setiap penjualan bijih besi yang dilakukan PT BMU, PT MMU berhak mendapat fee.
Setelah bertahun-tahun diberi izin mengekspoitasi bijih emas dan besi tersebut, Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Aceh kembali mengeluarkan izin kepada PT Islan Gencana Utama pada 31 Mei 2016 di lokasi yang sama. Izin yang diteken Gubernur Zaini Abdullah berupa izin usaha industri primer hasil hutan kayu (IUIPHHK) jenis sawmill dengan kapasitas produksi 2.000 m3 per tahun.
Dalam surat Gubernur Aceh Nomor 522.561/BP2T/988/IUIPHHK/V/2016 itu ditegaskan, izin ini akan dievaluasi setiap tiga tahun sekali.
Praktis, pemberian izin tersebut mendapat protes dari banyak pihak. Apalagi daerah tersebut merupakan Kawasan Eksosistem Leuser (KEL), salah satu wilayah konservasi paling penting di Muka Bumi. Namun, pemilik ketiga perusahaan tersebut membantah adanya kerusakan lingkungan.
GeRAK Aceh juga sudah melaporkan kasus ini ke Kementerian Kehutanan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurut penelusuran Serambi, tim dari Kementerian Kehutanan sudah pernah turun ke lokasi, namun tidak ada follow-up setelah itu. “Sudah turun tim dari Kementerian Kehutanan tahun 2016. Namanya Pak Sigit. Kata dia, seharusnya tak boleh menebang kayu di areal ini, karena kemiringan lereng sampai 45 derajat,” kata sumber Serambi.
Dikatakan, izin pemanfaatan kayu diurus untuk areal seluas 25 ha. “Saya tahu, di areal yang diurus izin itu tidak ada kayu, hanya lahan kosong bekas tambang. Kayunya diambil dari blok tebang yang lain,” ungkapnya.
Menurut warga sekitar, setelah diprotes berkali-kali, saat ini kedua perusahaan tambang tersebut tidak aktif. Apalagi bijih besi, emas, tembaga, dan mineral lainnya tak lagi diizinkan untuk diekspor oleh pemerintah sejak diberlakukannya UU Minerba Tahun 2014. Namun, sepak terjang mereka masih saja meresahkan warga.
Berdasarkan dokumen yang diperoleh Serambi, PT BMU memberikan kuasa penuh kepada PT Islan Gencana Utama (IGU) untuk memanfaatkan kayu yang ada di areal PT BMU. Surat kuasa tersebut diteken Direktur Utama BMU Ermitati dan Direktur IGU Nur Islan pada 5 Agustus 2014. Beberapa gelondongan kayu hasil ekspoitasi masih tampak tersimpan di gudang mereka.
Kecuali yang mendapatkan izin resmi pemerintah, saat ini ada pula tambang liar di beberapa titik. Puluhan mesin penyedot pasir beroperasi di Sungai Manggamat. Sebagiannya dikendalikan orang luar Aceh dengan di-backup oknum organisasi tertentu. Dengan mesin ini, bisa mendapatkan pasir yang lebih banyak, karena bisa memasang penyedot hingga jauh ke tengah sungai.
Berton-ton batu di sungai diangkat ke daratan untuk diolah menjadi emas. Namun, proses pemisahan emas dengan mineral lainnya tetap saja menggunakan bahan kimia membahayakan, seperti merkuri. “Mulai dari hulu sampai ke hilir diekspoitasi tak terkendali. Kalau pemerintah tidak segera turun tangan, Manggamat akan tinggal kenangan,” kata Ikhsan, Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UIN Ar-Raniry yang juga putra Desa Teupin Gajah, Kecamatan Pasi Raja, Aceh Selatan. (*)