Hutan
Silakan baca bagian pertama tulisan di tautan ini: Potret Kehidupan Warga di Lahan Gambut Kalteng (Bagian 1)
Restorasi gambut, tak hanya bicara soal pembasahan (rewetting) maupun revegetasi juga bagaimana program ini bisa menghidupkan kembali sumber-sumber kehidupan atau mata pencaharian warga. Ini jadi tantangan tersendiri.
Saya bersama Tengku Rivanda Ansori, Business Model Development Specialist Wetlands International Indonesia, melihat bagaimana warga berjuang membangkitkan sumber hidup di lahan gambut, dalam perjalanan ke empat kelompok masyarakat berbeda di Kalimantan Tengah, medio Mei 2019.
Di Kelawa, Kahayan Hilir, Kabupaten Pulang Pisau, anggota Kelompok Tani Bengkalung, tak berhasil mengembangkan bantuan hewan ternak kambing dan budidaya nila sebagai alternatif usaha.
Banyak kambing yang dikelola anggota kelompok ini mati. Hanya tersisa tiga dari 10 bantuan. Begitu juga budidaya nila di kolam jebakan. Gagal. Jaya, sebagai pengurus Kelompok Bengkalung, membenarkan, dia dan anggotanya belum memahami cara beternak kambing dan membudidayakan nila.
Di Desa Sebangau Jaya, Kecamatan Sebangau Kuala, kolam jebakan untuk uji coba budidaya ikan pepuyu, belum menampakkan hasil menggembirakan. Air jebakan dan keruh pekat di kolam itu, tak cocok untuk pepuyu yang habitat asli di sungai atau air yang menggenang di antara ceruk rawa gambut.
Sedang Desa Telaga, Kecamatan Kamipang, Katingan, potensi wisata alam dan hasil ikan setempat, belum dikemas jadi paket wisata menarik. Padahal, sejumlah fasilitas fisik penunjang sudah mulai dibangun. Ada jembatan titian untuk treking di rawa gambut. Ada menara untuk memantau keadaan sekitar hutan desa di tepi Sungai Kelaru.
Rivanda mengatakan, perlu dikembangkan dalam program revitalisasi adalah potensi sumber daya alam sesuai pengetahuan masyarakat setempat, dikaitkan dengan ketersediaan pasar. “Apa kira-kira bisnis yang bisa menguntungkan, tapi berkelanjutan. Yang paling penting, saat menentukan komoditas adalah pasarnya. Kedua, siapa pelaku, rantai bisnis. Apa keuntungan? Insentif. Keempat, keberlanjutan,” ucap Rivanda.
Kayu gelam dan ikan lokal antara lain yang biasa dilakukan warga.
Di Desa Talekung Punai, Kabupaten Kapuas dan Sebangau Jaya, diskusi tentang potensi pengembangan ikan lokal dan kayu gelam menarik minat warga. Mereka menyadari ikan lokal seperti gabus, dan pepuyu cukup bernilai tinggi.
Apalagi mereka tahu, di Kapuas, beberapa warga yang mulai budidaya pepuyu di kolam, berhasil menjual produk dengan harga tinggi, bisa Rp100.000 per kg. Sayangnya, budidaya masih dengan biaya tinggi.
“Kalau papuyu, asal ada modal bikin sumur, bisa berhasil. Modal butuh banyak karena makan harus bama (pelet) saat masih kecil,” kata Harlianson, warga Talekung Punai.
Demikian juga kayu gelam. Seorang guru, bernama Utuh, sejak 2005 jadi kayu ini sandaran hidup. Menurut dia, proyek-proyek pembangunan fisik, seperti gedung atau jembatan, banyak perlu gelam. Fungsi gelam sebagai penyangga (cerucuk).
“Pertama, untuk tambahan penghasilan. Kedua, melihat pasar, prospeknya menjanjikan. Kita dari kecil sudah tahu, mengerti gelam. Setelah itu jalan terus. Ada kebutuhan lokal, ada permintaan luar. Yang mana banyak perlu, dan cepat proses, itu yang kita utamakan.”
Bagi Utuh, gelam itu bukan masalah menanam atau budi daya, melainkan kepastian jaminan ada lahan. “Hutan ini rawa, jadi otomatis mereka berkembang dengan sendirinya. Tinggal menjaga jangan sampai lahan alih fungsi,” katanya.
Diskusi soal gelam dan ikan itu sampai pada merekayasa kemungkinan membuat kolam kanal untuk pengembangan ikan rawa gambut seperti gabus atau pepuyu. Di tengah-tengah kolam itu dikembangkan pepohonan gelam. Skema ini, agar lahan tetap tergenang, dan tak mudah terbakar api saat kemarau.
Kemudian, kanal-kanal untuk kolam dan galam itu dirancang dalam blok-blok yang bisa dipanen secara bergantian dan berkala di hutan atau lahan yang memungkinkan dikuasai masyarakat. Tujuannya, supaya masyarakat memperoleh penghasilan berkelanjutan.
Rivanda optimistis, bila ide seperti itu disepakati masyarakat, pasar yang menampung disiapkan, dan dukungan pendanaan dari pemerintah, program revitalisasi akan berhasil. Masyarakat, katanya, punya kemampuan dan pengetahuan itu.
Berbeda, misal, dengan sawit yang biaya lebih besar di lahan gambut, hingga hanya bisa dilakukan oleh perusahaan.
“Itu yang saya pikir, menguatkan yang ada, dan melihat dari segi pasar. Pasar sebenarnya membutuhkan. Itu yang harus dikembangkan, bagaimana menjadikan komoditi-komoditi di lahan gambut bisa menangkap peluang pasar,” kata Rivanda.
Wisata Telaga
Telaga merupakan kampung yang masih eksis sebagai produsen ikan sungai dan air gambut. Sebagian masyarakat pun masih menggantungkan hidup pada penangkapan ikan. Rata-rata hampir setengah ton, ikan di Telaga, dijual keluar desa.
Hutan di Telaga, pun masih cukup luas. Sisi timur berbatasan langsung dengan Taman Nasional Sebangau. Sisi barat Sungai Katingan, mereka bahkan sudah memiliki hutan desa seluas 2.600 hektar. Bagian selatan Sungai Kelaru, ada wilayah PT Rimba Makmur Utama (RMU), perusahaan restorasi ekosistem. Ditambah Sungai Kelaru, yang tenang, dengan hulu jauh ke barat, dan bermuara di Sungai Katingan, gagasan mengembangkan pariwisata desa ini telah hadir sejak beberapa tahun lalu.
Suandri, Pendamping Masyarakat Desa Hutan (PMDH) RMU, mengatakan, setidaknya sebulan sekali ada saja wisatawan yang datang ke Telaga. Mereka datang melalui tour operator Wow Borneo yang berkantor di Palangkaraya.
“Paket wisata Wow Borneo, itu susur sungai. Salah satu desa yang dikunjungi Telaga. Mulai dari Baun Bango. Di Telaga, masuk ke Sungai Kelaru, yang jadi bagian hutan desa itu. Pendapatan dari tamu harus sewa ces, perahu kecil. Itu untuk masuk ke lokasi hutan desa,” kata Suandri.
Lelaki yang pernah jadi pendamping masyarakat saat Yayasan Puter di Indonesia berkegiatan di Telaga ini mengatakan, di Kelaru, wisatawan dapat melihat satwa khas di sana, yakni, bekantan. “Orangutan ada juga, cuma jarang-jarang. Kalau bekantan pasti ketemu. Yang penting wisatawan masuk pagi atau sore. Bekantan sudah ada di pinggir sungai. bersebelahan dengan konsesi RMU.”
Karena jumlah kunjungan wisatawan terlampau kecil, yang memperoleh dampak ekonomi langsung dari Telaga, juga kecil. Menurut Rivanda, pasar kunjungan ke Telaga, harus diperluas.
Juhriansyah, dari Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Telaga membenarkan, masih banyak yang harus disiapkan agar Telaga mampu menerima kunjungan wisatawan lebih banyak. “Sumber daya pengembangan wisata kita di ekosistem gambut agak lemah. Kalau kondisi alam layak,” katanya.
Bersama masyarakat Telaga, Rivanda mendiskusikan peluang memadukan potensi ikan dan wisata lingkungan di Telaga. Komoditas ikan sebagai daya tarik massal dan wisata alam di Sungai Kelaru, daya tarik khusus. Pengembangan budidaya ikan, kapasitas pelayanan tamu (keramahramahan), dan mencari pasar lebih luas lagi merupakan pekerjaan ke depan. Menggandeng institusi pendidikan, untuk datang ke hutan Kelaru juga bisa jadi alternatif.
Asmie Djenas, dari Wow Borneo berpendapat senada. Dia bilang, harus dipikirkan betul tentang pasar sasaran pariwisata Telaga. Dia bilang, ekowisata di Kalimantan, saat ini lebih membidik wisatawan kelas menengah atas. Sebagian besar, wisatawan manca negara.
Dia membandingkan dengan Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP). Untuk seperti sekarang, TNTP sudah memulai pengembangan wisata sejak 1980-an. Menurut dia, keramahtamahan harus jadi perhatian serius bagi masyarakat Telaga. Dia juga bilang, Wow Borneo, sendiri pernah terlibat memberikan pelatihan pariwisata di Telaga.
Merty Ilona, staf pada Tim Restorasi Gambut Daerah (TRGD) Kalimantan Tengah, optimistis, program revitalisasi sumber daya mata pencaharian akan berhasil di daerah ini. Dia menyebut, ada beberapa aktor desa, yang bisa jadi contoh merestorasi lahan gambut. Merty menyebut, Yanir, Kepala Desa Anjir Kalampan, sebagai cerita sukses membuka lahan tanpa bakar.
“Kita pengen adopsi, difusi pemahaman masyarakat Kalteng, agar mengubah petani yang membakar ke tak membakar. Bukan instruksi atau doktrin dari pemerintah. Kita inginkan mereka menularkan, berbagi, pertemanan antarmereka. Pak Yanir, sudah mengolah tanpa bakar. Kita ingin contoh, jadi desa model,” kata Merty.
Berkat pengelolaan lahan secara organik, dan tanpa bakar di Anjir Kalampan, katanya, buah naga pun bisa tumbuh. “Bawang merah dari Brebes, bisa tumbuh. Kemudian melon, semangka.”
Program revitalisasi, katanya, seharusnya, menyentuh masyarakat yang berkontribusi dalam pembasahan gambut. “Contoh, aset sumur bor di satu desa itu banyak. Sumur bor itu tidak seperti sekat kanal. Sekat kanal, dibangun, ditinggal oke. Sumur bor harus ada pemeliharaan, pengurasan periodik. Itu memerlukan BBM (bahan bakar minyak-red) dan manusia yang mengoperasionalkan.”
“Kalau dana desa belum siap berkontribusi bagaimana? Kita inginkan ada MPA (masyarakat peduli api-red) mandiri. Saya pikir, mereka harus jadi sasaran revitalisasi”
Dari perjalanan ke beberapa lokasi ini, Rivanda menilai, selain pengembangan komoditas sesuai dengan gambut, dan kejelasan pasar, juga perlu mempersiapkan keberagaman produk. Hal itu penting, katanya, dalam menjamin keberlangsungan ekonomi masyarakat.
“Ada komoditi yang saat ini berharga tinggi, juga ada yang rendah. Mereka dengan harga tinggi bisa mendapatkan market. Suatu waktu, market pertanian bisa jenuh. Mereka perlu komoditi lain, yang bisa membantu mempertahankan ekonomi. Seperti, hubungan antara kayu gelam dengan ikan.” (Selesai)
Keterangan foto utama: Pepuyu, salah satu jenis ikan yang banyak di sungai dan perairan gambut di Kalimantan Tengah. Ia jadi sumber pencarian warga yang hidup di lahan gambut. Foto: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia
Facebook
Twitter
Instagram
RSS / XML
© 2023 Copyright Mongabay.co.id