Danau Matano © Instagram (Lau_jiha)
Tidak salah bila nama Sulawesi memiliki arti “pulau besi”, karena memang di sini telah terkenal dengan hasil produksi besinya sejak lama. Pada naskah Negarakertagama, disebutkan daerah Luwu merupakan penghasil besi yang diekspor ke Jawa karena kualitasnya yang tinggi.
Hal ini mulai terkonfirmasi dalam penelitian yang dilakukan oleh para arkeolog yang menemukan situs besi kuno yang hilang sejak abad kedelapan. Situs ini berada di sekitar Pulau Ampat sekitar Danau Matano, Sulawesi Selatan (Sulsel).
Penelitian yang sudah dilakukan oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) sejak 2016 hingga sekarang mengonfirmasi bukti bahwa sumber utama dari Pamor Luwu adalah bijih peleburan dari lingkungan Danau Matano.
Beberapa waktu lalu tim penyelam Puslit Arkenas juga melakukan penyelaman di daerah situs Pulau Ampat—di dalam kawasan danau. Pada kedalaman 4-16 meter, mereka berhasil menemukan berbagai benda peninggalan masa lalu dari sebuah kampung yang tenggelam akibat gempa bumi.
Kajian dari peneliti menyimpulkan kampung yang tenggelam di daerah seluas 4,6 kilometer persegi tersebut adalah Kampung Pandai Besi. Hal ini dibuktikan dengan adanya jejak hunian melalui penemuan sisa-sisa tembikar, peralatan rumah tangga, dan berbagai peralatan pengolahan besi.
“Oleh tim peneliti disimpulkan bahwa kampung ini dahulunya adalah Kampung Pandai Besi yang padat penduduknya,” kata Triwuryani, arkeolog dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dalam acara peluncuran Tur Virtual Situs Arkeologi Dana Matano, Kamis (9/12).
Menurut Triwuryani danau ini termasuk ke dalam Sistem Danau Malili, yang memiliki jalur gempa bumi aktif Sesar Matano. Panjang patahan ini sekitar 170 kilometer yang membentang dari arah barat laut ke tenggara.
Seluruh kawasan Luwu Timur nyaris memiliki jalur sesar yang berpotensi gempa. Posisi inilah yang diduga menjadi penyebab hilangnya peradaban Kampung Pandai Besi yang tenggelam ke dasar danau.
Walau hingga kini belum diketahui secara pasti kapan bencana tersebut terjadi, tetapi analisis penanggalan menunjukkan angka abad ke-8 Masehi di situs bawah air Pulau Ampat (Danau) dan abad ke-10 Masehi untuk situs di daratan atau yang disebut situs Rahampu’u, Desa Matano.
Triwuryani menyebut di sekitar Danau Matano pada zaman dahulu telah terkenal sebagai daerah penghasil bijih besi. Hal ini terlihat dari melimpahnya bahan baku bijih besi yang membuat masyarakat sekitar menjadi ahli mengelola besi atau pandai besi.
Bijih besi yang dihasilkan pun terkenal dengan kualitasnya yang sangat baik. Sehingga bisa menyebar ke berbagai daerah di Nusantara saat itu. Para perajin pun dikenal oleh masyarakat sebagai ahli besi.
Misalnya saja kualitas besi Matano bisa dilihat dari bangunan monumental di Pulau Jawa pada abad ke 8 Masehi seperti Candi Borobudur dan Candi Prambanan yang diduga menggunakan peralatan besi dari kampung ini.
Seperti halnya pada saat zaman Kerajaan Majapahit pada abad ke 13 yang melakukan pengadaan senjata seperti tombak, keris dan pedang diduga juga dilakukan di Matano. Hal ini bisa dikaitkan dengan catatan Nagarakertagama pupuh 14 yang mengungkapkan, Bantayan di wilayah Bantayan beserta kota Luwuk.
Puslit Arkenas juga melakukan wawancara terhadap beberapa masyarakat di daerah Trowulan, Mojokerto. Dari hasil wawancara tersebut ternyata keris-keris yang ada di Majapahit tidak asing lagi dengan Besi Matano.
“Besi itu bagus karena mengandung nikel sehingga kalau dijadikan keris itu bermutu tinggi, kualitasnya bagus dan menjadi tahan karat,” lanjutnya.
Memang besi dari Matano memiliki kandungan nikel yang cukup banyak, bisa sampai tujuh persen. Hal ini sangat jauh misalnya bila dibandingkan dengan pengolahan besi di Eropa yang memiliki kandungan nikel hanya satu persen.
Ada juga teks pra Islam yang menerangkan tentang Matano sebagai anak Kerajaan Luwu yang telah menguasai perdagangan besi pada abad ke 14 dan abad ke 16.
Namun menurut riset dari tim Puslit Arkenas memunculkan dugaan bahwa produksi ini telah ada jauh sebelum Kerajaan Luwu didirikan. Misalnya saja ada penemuan sample peleburan besi yang umurnya berkisar 300 Sebelum Masehi (SM).
Walau dugaan sementara peleburan besi ini masih bersifat induvidu. Tetapi setelahnya terjadi proses industrialisasi peleburan besi yang berpuncak pada abad ke 5 hingga abad ke 16 Masehi.
Di Danau Matano, para pandai besi itu menggunakan batu rijang (chert) menjadi alat memantik api untuk meleburkan besi atau strike-a-lights. Penemuan ini dibilang unik karena rinjang umumnya ditemukan pada zaman pra-sejarah, bukan di zaman logam.
Seorang arkeolog maritim di Puslit Arkenas, Shinatria Adhityatama menyebut artefak rijang ini banyak ditemukan bersama terak besi dan keramik pada situs di tepi Danau Matano (Rahampu’u, Nuha, Pontanoa Bangka, dan Sukouyo) sejak 1998 oleh Bulbeck dengan proyek bernama Origin of Complex Society in South Sulawesi.
Saat itu Bulbeck menyebut ini sebagai pemantik api, namun tidak ada penjelasan detail dan analisis mendalam terkait data etnografinya.
Karena itu tim dari Puslit Arkenas melakukan ekskavasi untuk membuktikan apakah serpih batu itu betul digunakan sebagai pemantik api dan memastikan satu konteks dengan budaya logam.
Dari ekskavasi ini tim menemukan serpih batu berjumlah ribuan yang ditemukan lengkap dengan sisa logam seperti tembikar dan artefak besi. Bisa dipastikan bahwa serpih batu itu seumuran dengan budaya logam.
Bedasarkan data etnografi, tim juga memastikan fungsi artefak-artefak batu ini digunakan sebagai pemantik api. Biasanya serpih batu ini dijepit dengan serabut kapas yang berasal dari pohon aren.
Kemudian ditempatkan pada bagian atas, setelahnya batu yang dijepit serabut itu perlu dipukul-pukul berulang-ulang agar sampai memercikkan api yang membuat serabut itu menyala.
Biasanya ukuran batu ini antara 3-5 sentimeter, sehingga nyaman untuk digenggam dan dijepit dengan tangan saat akan dibenturkan dengan besi. Unsur silika yang ditemukan dalam artefak rijang cukup tinggi sampai 90 persen, sehingga membuatnya mudah menyala.
Dengan adanya tempat peleburan besi yang menjadi ketersediaan api sangat menarik, karena banyak situs peleburan besi yang sezaman dengan Danau Matano tetapi tidak menggunakan teknologi serpih besi.
“Kemungkinan ini bagian kearifan lokal orang Matano, semacam inovasi untuk menemukan pemantik yang tersedia di lingkungan mereka karena bahanya ada di sana. Sehingga bisa mempertahankan panas api dan menghasilkan kualitas besi yang baik. Karena apinya bisa dinyalakan kapan pun dan itu terjaga,” ucap pria yang kini menjadi peneliti di Griffith Centre for Social and Cultural Research.
Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.
Daftar komentar untuk artikel “Mengungkap Peradaban Pandai Besi Tertua yang Tenggelam di Danau Matano”
Terima kasih telah membaca sampai di sini
Terima kasih telah melaporkan penyalahgunaan yang melanggar aturan atau cara penulisan di GNFI. Kami terus berusaha menjadikan GNFI tetap bersih dari konten yang tidak sepatutnya ada di sini.
Sedang mengambil data