Minimnya edukasi tentang beragamnya standar kecantikan membuat banyak orang di Indonesia masih terjebak dengan imaji bahwa cantik itu harus putih dan mulus.
Pemilihan Halle Bailey dalam memerankan karakter Ariel si Putri Duyung dalam film Disney, The Little Mermaid, sempat menimbulkan kontroversi di kalangan netizen tidak hanya di negara asalnya, tapi juga di Indonesia.
Warna kulit Halle dianggap tidak cocok memerankan Ariel yang sebelumnya selalu ditampilkan berkulit putih dan berambut oranye. Tidak sedikit, ada yang berkomentar dengan nada rasis hingga menilainya kurang cantik atau kecantikannya kurang pas untuk memerankan Ariel.
Berbicara mengenai standar kecantikan memang seolah tidak ada habisnya. Selain faktor budaya, ada banyak faktor yang terlibat dalam menciptakan standar kecantikan seperti yang tertanam di benak banyak orang, mulai dari konstruksi sosial, hingga kepentingan komersialisme.
Beban dan tuntutan untuk mencapai standar cantik ini juga pernah dialami oleh model sekaligus pendiri Jakarta Models Academy, Ashfi Qamara. Menurutnya, minimnya edukasi tentang beragamnya standar kecantikan, membuat banyak orang masih terjebak dengan label cantik berarti harus putih.
Sebagai model yang memiliki freckle atau bintik-bintik alami di kulit wajah, Ashfi juga pernah mendapatkan penolakan. Dianggap memiliki kulit wajah yang kotor, sehingga ketika proses merias wajah ia harus menggunakan make-up yang lumayan tebal untuk menutupi bintik-bintik di wajahnya.
Menjadi cantik adalah keinginan setiap perempuan. Hal tersebut menurutnya adalah wajar. Namun, tidak perlu berlebihan apalagi sampai kecewa dengan diri sendiri akibat mengikuti standar kecantikan yang ada. Lewat akun media sosialnya, ia mengampanyekan agar setiap orang mencintai tubuhnya sendiri.
Ashfi tidak memungkiri, definisi cantik di dunia model memiliki aturan yang ketat. Mulai dari bentuk badan harus kurus seperti menekin, hingga dada rata.
“Aku bohong kalau dunia modelling tidak melihat fisik. Namun, fisik bukan segala-galanya untuk bisa bertahan sebagai model kita harus melampaui batas itu. Ketika ada masalah misalnya tumbuh jerawat di wajah lantas kita bereaksi dengan menggunakan obat jerawat, itu wajar. Namun, ketika kita bereaksi berlebihan itu menjadi tidak bagus,” katanya.
Menurutnya, perlu ada kampanye untuk memperlihatkan standar kecantikan yang beragam sehingga publik bisa bersimpati bukan malah merisak.
“Aku pun dulu pernah mengalami, diberi make-up tebal untuk menyembunyikan bintik-bintik di wajah. Seniorku bahkan sampai melakukan laser untuk menghilangkan bintik-bintik. Namun sekarang, sudah berubah. Bintik-bintik ini malah diinginkan orang, bahkan ada yang sampai mentato mukanya agar memiliki bintik,” ujar Ashfi.
“Tidak perlu tergoda dengan standar kecantikan yang orang buat. Bagi aku standar kecantikan adalah ketika kita sudah bisa menerima keunikan kita sendiri. Bisa saja kekurangan itu menjadi kelebihan diri kita. Ketika sudah melewati batas itu, kecantikan kita akan keluar dengan sendirinya,” imbuhnya.
Sementara itu, psikolog Kasandra Putranto mengatakan kecantikan merupakan relasi sempurna antara objek, sikap dan perilaku serta rasa sukacita yang muncul dari dalam. Semuanya ini menjadi ungkapan daya tarik fisik yang memesona indera manusia. Khususnya yang berhubungan dengan indera penglihatan, intelegensi dan moral yang baik.
Memiliki intelegensi yang baik, kaya akan pengetahuan, cerdas dan berwawasan luas, serta memiliki pikiran yang positif dan maju, akan mengangkat derajat seorang perempuan sehingga dipandang mengagumkan dan dapat memikat perhatian orang. Dengan demikian, mereka pun lebih dihargai, ujar Kasandra.
“Kebaikan moral dan budi pekerti sebagai kecantikan dari dalam atau inner beauty jauh lebih penting daripada kecantikan fisik saja. Kecantikan dari dalam ini tidak dapat dilihat secara langsung, namun dapat dilihat dari kesopanan, cara berbicara dan bersikap yang baik dalam bergaul. Hal-hal tersebut merupakan cerminan dari kepribadian. Dari segi moral, bertingkah laku sesuai dengan norma masyarakat, berpakaian yang sopan, rapi dan pantas juga mencerminkan kepribadian dan ketaatan individu tersebut dalam agamanya. Hal ini juga turut memperlihatkan kecantikan seorang individu dari dalam dirinya,” ujar Kasandra
Psikolog Kasandra Putranto mengatakan standar kecantikan sangat bervariasi. Baik dari satu budaya ke budaya lain dan dari waktu ke waktu. Standar kecantikan awalnya berdasarkan nilai-nilai tradisional. Namun, saat ini mulai digantikan oleh pengaruh media, industri kosmetik dan iklan.
“Perempuan sebagian besar percaya bahwa kulit yang lebih cerah lebih diinginkan dibandingkan dengan kulit yang lebih gelap. Padahal banyak penelitian menyatakan bahwa kulit yang lebih gelap secara ilmiah bermanfaat bagi mereka yang tinggal di negara tropis dan sering terpapar sinar matahari sepanjang tahun, seperti Indonesia,” katanya.
Sayangnya, kata Kasandra, ide kecantikan yang beredar di berbagai platform media membuat perempuan bercita-cita memiliki apa yang dilihat dan merasa kecewa dengan warna kulit mereka.
“Cita-cita yang tidak realistis ini dapat merusak dan membahayakan diri mereka sendiri. Berusaha memenuhi cita-cita dan standar kecantikan bisa mengarah ke gangguan psikologis. Beberapa studi menunjukkan bahwa cita-cita seperti itu dapat menyebabkan depresi, penurunan harga diri, gangguan makan, dan lainnya. Gadis-gadis dari usia yang sangat dini menjadi sasaran gambar kesempurnaan dan eksposur mereka meluas hingga dewasa,” paparnya.
Kasandra menambahkan konsep kecantikan feminin ideal sebagian besar diciptakan oleh masyarakat. Umumnya seringkali menggambarkan daya tarik fisik yang harus dimiliki setiap perempuan agar menjadi diinginkan dan menarik. Prinsip-prinsip tersebut sebagian besar sering mendiskriminasi perempuan berdasarkan orientasi sosial.
“Kita harus beradaptasi dengan standar kecantikan yang ada. Mengetahui segala potensi yang ada di diri kita dan menerima diri sepenuhnya. Percaya pada diri sendiri, berhenti menyabotase diri sendiri dan berhenti untuk menjadi orang lain,” ujarnya. (ae)