Sosial
“Buat apa tambang. Kami bahagia dengan hasil bumi, ada berkebun dan nelayan. Kalau tambang hadir, paling kami hanya menikmati imbas buruknya,” kata Masri, warga Pulau Wawonii.
Warga Pulau Wawonii, di Kabupaten Konawe Kepulauan ini, hidup nyaman dari berkebun, dan nelayan. Ada kebun mete, kelapa, cengkih dan pala dan lain-lain. Hasil laut juga melimpah. Warga mandiri hidup dari hasil kebun dan laut.
“Hasilnya sangat luar biasa. Sejak saya lahir dan besar di Wawonii, saya sudah bisa membangun rumah sendiri, menyekolahkan anak-anak. Biaya hidup kami sekeluarga dari berkebun dan melaut,” kata Imran, warga Roko Roko, Wawonii.
Baca juga: Gubernur Sultra Cabut 9 Izin di Wawonii, Bekukan 6 Lainnya
Hidup mereka mulai tak tenang kala pemerintah daerah mengeluarkan izin-izin tambang di pulau itu. Hutan dan lahan perkebunan warga masuk dalam wilayah izin tambang. Tak tanggung-tanggung, ada 16 izin menggerogoti pulau kecil yang hanya seluas 715 kilometer persegi ini. Bertahun-tahun mereka melawan menolak tambang dari level kabupaten, provinsi sampai ke pusat.
Belakangan, tahun ini, Pemerintah Sultra mencabut sembilan izin pertambangan—setelah mendapat desakan dari masyarakat Wawonii dan berbagai elemen masyarakat sipil–, yang ternyata semua sudah kadaluarsa! Enam izin yang lain dibekukan. Janji awal pemerintah provinsi akan evaluasi izin-izin itu, tak lama berselang, pembekuan izin lepas tanpa kejelasan evaluasi seperti apa yang sudah dilakukan.
Merujuk aturan Pemerintah Indonesia, pulau di Sulawesi Tenggara ini, sebenarnya masuk kategori pulau kecil yang tak bisa ada eksploitasi skala besar merusak dan mengancam ruang hidup warga dan lingkungan seperti perusahaan-perusahaan tambang ini.
Baca juga: Cerita Warga Menanti Wawonii Terbebas dari Pertambangan
Dalam UU No 27 Tahun 2007, tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, jelas menyebutkan, pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil berasaskan, antara lain, keberlanjutan, keterpaduan, kemitraan, pemerataan, peran serta masyarakat, keterbukaan dan keadilan.
UU ini juga menyebutkan, pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dengan tujuan, pertama, melindungi, mengonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan.
Kedua, menciptakan keharmonisan dan sinergi antara pemerintah dan pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil.
Ketiga, memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah serta mendorong inisiatif masyarakat dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil agar tercapai keadilan, keseimbangan, dan keberkelanjutan.
Keempat, meningkatkan nilai sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat melalui peran serta masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil.
Baca juga: Pemerintah Sultra akan Cabut 15 Izin Tambang di Wawonii
Soal pemanfaatan pulau–pulau kecil dan perairan sekitarnya, sesuai Pasal 23 menyatakan, pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan sekitar berdasarkan kesatuan ekologis dan ekonomis secara menyeluruh dan terpadu dengan pulau besar di dekatnya.
Pemanfaatannya juga prioritas untuk salah satu atau lebih kepentingan konservasi, pendidikan dan pelatihan, penelitian/pengembangan dan budidaya laut. Juga pariwisata, usaha perikanan dan kelautan serta industri perikanan lestari, pertanian organik dan atau peternakan.
Baca juga: Inilah Kondisi Pulau Bangka Setelah Kehadiran Tambang
UU itu juga menyebutkan, selain untuk tujuan konservasi, pendidikan dan pelatihan, serta penelitian dan pengembangan, pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya wajib, pertama, memenuhi persyaratan pengelolaan lingkungan. Kedua, memperhatikan kemampuan sistem tata air setempat, dan ketiga, menggunakan teknologi ramah lingkungan.
Isi UU dan kenyataan, jauh berbeda. Kondisi di lapangan seperti di Pulau Wawonii ini, lingkungan dan masyarakat terancam. Wawonii, hanya satu contoh. Masih banyak pulau-pulau kecil, dan pulau terluar di nusantara ini hancur dan menanti kehancuran karena berada dalam cengkeraman industri ekstraktif, seperti perusahaan tambang ini. Catatan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) ada 55 pulau dari 13.000 pulau kecil tersebar di Maluku Utara (Malut), Sulawesi, Kalimantan Utara (Kaltara), dan Sumatera, sedang mengalami eksploitasi dari pertambangan.
Baca juga: Kala Perusahaan Tambang Silih Berganti Eksploitasi Pulau Gebe (Bagian 1)
Melky Nahar, Kepala Kampanye Jatam mengatakan, pertambangan yang mengancam pulau-pulau kecil dan terluar itu seperti batubara, minyak dan gas (migas), timah, dan nikel, bijih besi dan lain-lain. “Dari 55 pulau ini, 29 digenjot untuk pertambangan migas yakni di Sulawesi dan Maluku Utara,” katanya.
Salah satu pulau di Malut, adalah Pulau Gebe, Halmahera Utara dieksploitasi sejak 1979-2004 oleh PT Aneka Tambang (Antam). Kerusakan ini diteruskan oleh perusahaan-perusahaan lain. “Saat ini pohon-pohon di sana dibabat habis, hingga nyaris tenggelam,” katanya.
Pola konsumsi masyarakat di sana berubah dari sagu jadi beras yang bukan makanan pokok mereka. Keadaan ini, katanya, menyulitkan ketika para pedagang beras sudah tak di sana karena pertambangan selesai.
Pemerintah, katanya, tak bisa lepas tangan atas peristiwa atau dampak kerusakan setelah tambang-tambang itu masuk. Pemerintah harus mengambil tindakan hukum kepada orang-orang yang merugikan masyarakat. Setelah itu, katanya, pemerintah harus mengevaluasi semua investasi di pulau-pulau kecil dan terluar.
“Kami telah menyampaikan kepada Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti—sebelum berganti ke Eddy Prabowo– untuk evaluasi dan audit pengelolaan pulau-pulau kecil,” kata Melky.
Dia menilai, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tidak menjalankan tugas maksimal seperti penyelamatan pulau-pulau kecil. Begitupula Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menerbitkan izin pertambangan tak mengacu kepada UU Pesisir 27/2007.
Ke depan, katanya, harus mengutamakan perencanaan terpadu sebelum memberikan izin investasi guna mencegah eksploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) sedang riset di tiga pulau kecil dan terluar pada periode 2016-2017.
Pulau-pulau itu adalah, Pulau Sunut (Lombok Timur), Pulau Bangka (Sulawesi Utara), dan Pulau Romang (Maluku Barat Daya).
“Ketiga lokasi ini dipilih untuk diteliti berdasarkan peristiwa yang terjadi,” kata Rivanlee Anandar, Kepala Biro Riset dan Dokumentasi Kontras di Jakarta, baru-baru ini.
Di Pulau Sunut, katanya, Kontras meneliti pada 7-15 Juni 2016 melibatkan lembaga pengembangan sumber daya nelayan. Semula kehidupan penduduk di sini berkecukupan sebagai nelayan dan berkebun sebelum kedatangan PT Ocean Blue Resort (OCB) pada 2011.
OCB berencana membangun resort berstandar internasional. Dalam laman resmi mereka menyebutkan, akan membangun 31 villa menghadap laut, tujuh villa bungalow, dan satu villa bulan madu.
Ada enam villa terpisah dari pulau, dan dua seolah-olah pengunjung punya pulau. “Pembangunan ini menggeser warga ke daratan,” katanya.
Sampai sekarang, OCB belum membangun villa-villa tadi, tetapi telah mengambil sertifikat tanah warga tanpa memberikan uang senilai lahan itu.
Warga sudah pindah dari tanah untuk pendirian hotel itu pada 2013.Upaya pemindahan sejak 2011 tetapi tak berhasil. Setelah tanah ditinggalkan penduduk, lalu dikuasai Badan Pertanahan Negara (BPN) Lombok Timur dan jadi milik negara.
Sebelumnya, OCB berjanji lisan kepada masyarakat akan memberikan sembilan, seperti, sertifikat tanah setelah masyarakat relokasi tempat tinggal dan memberikan tanah seluas tanah yang mereka pakai.
Lalu, ketersediaan lampu bertenaga surya, penataan lingkungan, dan membuat penampungan air. Langkah ini mutlak karena tempat baru, masyarakat sulit memperoleh air hingga harus membeli air satu drum besar Rp20.000. Harga ini lebih mahal ketimbang di tempat sebelumnya dapat lima drum besar dengan harga sama.
Kemudian, OCB berjanji membangun sarana kesehatan, sarana pendidikan, tempat ibadah, dan dermaga. Mereka janji karena melihat Puskesmas tidak layak dengan keterbatasan tenaga medis dan obat-obatan. “Saya mengecek ke sana, hanya ada obat-obat di warung-warung Jakarta,” kata Rivanlee.
Begitupula sarana transportasi sangat minim seperti speedboat dan kapal besar hanya datang dua hari sekali. “Saya tahu ini setelah berbicara dengan kepala dusun di sana.”
Berbagai janji itu, katanya belum terealisasi sampai Kontras datang ke Sunu pada 2016 dan 2017. Bahkan, hingga kini belum terwujud.
“Tanggungjawab ini dilemparkan kepada pemerintahan peralihan dari pemerintah waktu itu.”
Untuk riset Pulau Bangka pada 24-31 Oktober 2016, Kontras mengajak Walhi untuk melihat PT Mingro Metal Perdana (MMP), penambang bijih besi yang menyebabkan kerusakan lingkungan dan ekosistem darat dan laut.
Kerusakan di darat, katanya, berupa pengundulan bukit-bukit, penebangan pohon serta tanaman hijau untuk jalan kendaraan alat berat.
Hal serupa terjadi di laut antara lain menghancurkan terumbu karang, membuat perairan keruh, dan kehilangan hutan mangrove yang berakibat ikan berkurang. “Dampak ekstraktif ini belum terehabilitasi dengan baik.”
Padahal, masyarakat di sana menggantungkan kehidupan dari perkebunan, perikanan, dan pariwisata. MMP menguasai lahan hampir setengah luas Pulau Bangka, 2.000 hektar dari 4.778 hektar.
Untuk penelitian di Pulau Romang, Kontras menggandeng Save Romang. Dari hasil turun lapangan, di pulau ini masyarakat dipaksa jual tanah untuk eksplorasi emas oleh PT Gemala Borneo Utama (GBU) pada 2006.
GBU juga penambangan emas tanpa memperhatikan keseimbangan ekologis dengan mengebor tanah sampai 100 meter lebih. Tindakan ini, katanya, melanggar izin pinjam dan pakai kawasan hutan (IPPKH). Dalam aturan itu, katanya, membolehkan lubang bor penambangan hanya sedalam 60 meter.
Hal lain yang melanggar izin, katanya, pengeboran pembuatan lubang tambang sangat berdekatan. Dari kejadian itu, sumber air mengalami pencemaran hingga kering dan berdampak pada penduduk karena makin sulit memperoleh air bersih.
Warga, katanya, juga tak mendapatkan penghasilan dari menanam pala dan cengkih secara baik. Begitupula budidaya lebah, katanya, tak memperoleh pendapatan karena hewan itu kabur menyelamatkan diri dari kerusakan alam.
Ahmad Marthin Hadiwinata, Ketua Harian Kesatuan Nelayan dan Tani Indonesia (KNTI) mengatakan, sebagian bilang persoalan pulau-pulau kecil dan terluar dapat diatasi dengan tata ruang laut.
Pendapat ini, katanya, diuji KNTI dengan penelitian di Pulau Bangka, Tarakan (Kalimantan Utara), dan Pulau Bunyu (Kaltara), Jakarta, Surabaya (Jawa Timur/Jatim), dan Nusa Tenggara Timur (NTT).
Masalah tata ruang laut diatur UU Kelautan No 32/2014, tetapi soal pulau-pulau kecil dan terluar telah diatur dalam UU No 27/2007.
Dari penelitian KNTI, katanya, ditemukan konflik zonasi dan tata ruang wilayah. Rencana zonasi ini, mengacu kepada wilayah pesisir. “Bagaimana ruangan daratan tak sejalan dengan ruang pesisir.”
Dia contohkan di Pulau Bangka. Bangka daratan didorong pertambangan, di perairan jadi wilayah pariwisata. Padahal, katanya, operasi pertambangan tak dapat berdekatan dengan daerah pariwisata.
Dari kejadian ini, katanya, terjadi konflik antarmasyarakat, yakni melanjutkan pertambangan atau menghentikan.
Berbagai organisasi masyarakat sipil, seperti Jatam dan Kontras dan KTNI akan membawa persoalan ini ke berbagai kementerian dan lembaga. “Kami akan mengunjungi kementerian dan lembaga terkait untuk memaparkan berbagai temuan ini dan meminta solusi,” kata Rivanlee.
Keterangan foto utama: Kawasan Obolie yang setelah ditinggalkan PT Antam kini dikeruk lagi oleh PT FBLN. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia
Facebook
Twitter
Instagram
RSS / XML
© 2023 Copyright Mongabay.co.id