Jakarta, CNBC Indonesia – Tidak hanya Indonesia, negara tetangga RI ini ternyata juga ketiban ‘durian runtuh’ akibat terjadinya perang Rusia-Ukraina. Pasalnya, sejumlah harga komoditas, baik minyak, gas bumi, hingga komoditas tambang juga mengalami lonjakan sejak serangan Rusia ke Ukraina pada 24 Februari 2022 lalu.
Pemerintah Australia menyebut dalam laporan kuartalan sumber daya dan energi terbaru yang dirilis hari ini, Senin (04/04/2022), pendapatan dari ekspor komoditas diperkirakan akan naik ke rekor tertinggi menjadi A$ 424,9 miliar atau sekitar US$ 318 miliar untuk tahun fiskal hingga 30 Juni 2022, seperti dikutip dari Reuters.
Jumlah ini naik sepertiga dari pendapatan pada 2020-2021, dan juga naik hampir A$ 50 miliar sejak laporan kuartal Desember. Kepala Ekonom di Departemen Industri, Sains, Energi dan Sumber Daya Australia mengatakan, lonjakan harga komoditas energi sejak serangan Rusia ke Ukraina tersebut memicu lonjakan pendapatan negara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun demikian, menurutnya Pemerintah Australia juga berhati-hati dengan perkiraannya tersebut, dengan mengasumsikan harga komoditas kemungkinan akan berada di bawah dari apa yang dicapai selama setahun hingga 30 Juni 2020.
Lantas, komoditas apa saja yang mendorong peningkatan pendapatan Australia ini? Berikut rangkumannya, seperti dilansir dari Reuters, Senin (04/04/2022):
1. Bijih Besi
Bijih besi adalah komoditas yang berkontribusi terbesar terhadap pendapatan komoditas di Australia. Meski diperkirakan akan tetap demikian, pemerintah sebenarnya memperkirakan pendapatan dari bahan baku baja tahun fiskal ini turun dibandingkan tahun lalu.
Pendapatan ekspor bijih besi diperkirakan sebesar A$ 135 miliar untuk tahun 2021-2022, turun dari A$ 158 miliar pada 2020-2021, dengan harga yang lebih rendah sebagai penyebabnya, mengingat volume diperkirakan akan meningkat menjadi 897 juta ton dari 867 juta.
Namun asumsi harga yang digunakan untuk bijih besi untuk tahun 2021-2022 tersebut adalah US$ 118 per ton. Itu kemungkinan perkiraan dengan skenario rendah, mengingat harga di pasar spot sekarang telah naik mencapai US$ 160,01 per ton, dan hanya berada di bawah harga rata-rata yang diasumsikan selama sekitar 12 minggu dari sembilan bulan sejauh ini di tahun fiskal saat ini.
2. Gas Alam Cair (LNG)
Ekspor LNG Australia diperkirakan menghasilkan A$ 70 miliar pada 2021-2022, lebih dari dua kali lipat dari A$ 32 miliar untuk tahun fiskal sebelumnya, meskipun volume diperkirakan akan naik sedikit menjadi 82 juta ton dari 77 juta.
Lonjakan ini disebabkan oleh perkiraan harga naik menjadi A$ 16 per gigajoule, yaitu sekitar US$ 11,99 per juta British thermal unit (MMBTU).
Harga LNG di pasar spot Asia telah berada di atas level ini sejak awal tahun fiskal, mencapai rekor US$ 48,30 per MMBTU pada akhir Desember. Tetapi, sebagian besar LNG dijual di bawah kontrak jangka panjang yang terikat dengan harga minyak mentah, dan karena itu akan dijual dengan harga jauh di bawah level harga pasar spot.
Meskipun demikian, penguatan harga LNG kemungkinan akan berlanjut selama Eropa mencari alternatif untuk gas pipa Rusia.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT