Sosial
Mangatas Togi Butarbutar, membawa kami ke makam leluhur mereka, Ompu Ondol Butarbutar, pertengahan Agustus lalu. Di sekitar lokasi makam, terlihat papan petunjuk bahwa kawasan ini akan dibangun resort mewah.
Ketua Pomparan Ompu Ondol Butarbutar, Masyarakat Adat Sigapiton itu, menunjukkan kawasan sekitar makam yang pernah diduduki Badan Pelaksana Otoritas Danau Toba (BPODT).
“Di sinilah leluhur kami dimakamkan yang meninggal diperkirakan tahun 1800-an, di sinilah tempat pemersatu kami para keturunannya yang sampai saat ini sudah delapan generasi,” kata pria 50 tahun ini.
Kini, Mangatas dan puluhan keluarga Desa Sigapiton tak berani mengelola lahan di kawasan itu karena takut dilaporkan ke polisi.
Pada 16 Februari lalu, dia begitu terkejut ketika menerima surat pemanggilan dari Polres Tobasa atas laporan BPODT dengan tuduhan tindak pidana menduduki tanah yang bukan hak tanpa izin sejak Mei 2018.
Pada hari sama, perempuan adat Nurpeni Butarbutar juga menerima surat pemanggilan dengan tuduhan sama. Ancaman laporan polisi terus mengintimidasi. Kini, sudah 14 warga desa yang dilaporkan ke polisi dan jadi tersangka dengan tuduhan pencurian, perusakan lingkungan dan menduduki lahan tanpa izin. Empat orang ditahan.
“Baru-baru ini, dua saudara saya juga ditangkap polisi karena membakar rumput di lahan yang biasa untuk berladang,” kata Nurpeni.
Konflik lahan antara Masyarakat Adat Sigapiton dengan BPODT muncul sejak 2016 ketika Presiden Joko Widodo mencetuskan pembangunan kawasan strategis pariwisata nasional di 10 kawasan, atau disebut 10 ‘Bali baru’, salah satunya Danau Toba. Ini sebagai salah satu upaya mencapai pendapatan US$20 miliar dari sektor pariwisata pada 2020.
Tahun 2018, BPODT mengklaim lahan seluas 1.050.836 m2 berdasarkan sertifikat hak pengelolaan lahan (HPL) Nomor: 01/Toba Samosir/2018, dan surat ukur Nomor: 23/Toba Samosir/2018. Juga menetapkan zona otorita di kawasan 386,72 hektar di tiga desa, yaitu, Pardamean Sibisa, Motung dan Sigapiton.
Satu site yang berdiri di sana adalah The Kaldera–Toba Nomadic Escape. Ia menargetkan investasi sebesar Rp6,1 triliun. Kini, BPODT merancang pembangunan resort mewah dan pembangunan kantor sedang berjalan.
Masyarakat Desa Sigapiton menolak klaim BPODT atas 120 hektar tanah mereka. Mereka sudah tinggal di sana turun temurun berdasarkan surat keterangan tanah milik adat yang diterbitkan Kepala Desa Sigapiton, 4 Maret 2015 dengan Nomor: 172/KDS/III/2015.
Masyarakat mulai melawan, dari protes, aksi demo sampai menyurati berbagai kementerian dan lembaga. Mereka menyurati BPODT pada 18 Januari 2017, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) 6 Maret 2017, Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Toba Samosir 10 September 2018, bahkan menyurati presiden pada 28 Oktober 2020.
Mereka juga bikin petisi dan pernah dibahas dua kali pertemuan di kantor Kementerian Koordinator Kementerian dan Investasi, di Jakarta pada 17 September 2018 dan 2-3 Oktober 2018. Rapat dipimpin langsung Luhut Binsar Panjaitan, dihadiri Menteri ATR/BPN Sofyan Djalil dan sejumlah perwakilan masyarakat adat.
Bukan mendapatkan jawaban, pada Oktober 2018, warga desa malah mendapatkan surat agar meninggalkan desa.
“Kami malah disuruh meninggalkan desa, karena dianggap penduduk ilegal,” katanya.
Kehilangan mata pencarian
Nurpeni Butarbutar kehilangan mata pencarian. Buldozer meratakan dengan tanah kebun jagung seluas enam rante (2,4 hektar) dan kebun kopi 12 rante (4,8 hektar), akhir Desember 2020.
“Katanya untuk pembangunan jalan, hancur semua jagung dan kopiku…, dirusak BPODT,” katanya.
Janda anak empat itu menangis tersedu-sedu. Dia satu dari dua puluhan perempuan adat yang kehilangan lahan pertanian setelah muncul konflik di tanah adat mereka.
Bukan pertama kali buldoser dipakai untuk mengusir mereka. Pada 12 September 2019, ketika BPODT membuka jalan menuju The Kaldera–Toba Nomadic Escape, satu bagian dari mega proyek, yang sedang dibangun di kawasan itu, puluhan perempuan adat menangis, meronta-ronta. Seolah putus asa, mereka membuka bajunya—hingga hampir telanjang.
Konflik atas nama pembangunan pariwisata kelas internasional itu menambah duka panjang dari rentetan masalah tanah adat di Sigapiton, yang sudah terjadi sejak 1952 ketika pemerintah meminta tanah mereka untuk penghijauan.
Kemudian, pada 1 Februari 1975, Dinas Kehutanan Toba datang lagi meminta kepada keturunan Ompu Ondol Butarbutar, leluhur Mangatas Butarbutar, Nurpeni Butarbutar, dan puluhan kepala rumah tangga, untuk menyerahkan 120 hektar tanah mereka.
Lahan mereka ditanami pinus. Sekitar 1990-an, kayu-kayu hasil penanaman itu ditebangi dan diperdagangkan oleh mafia kayu, hingga lahan itu kembali gundul. Melihat itu, masyarakat kembali menguasai lahan itu dan bercocok tanam di sana.
Pada 2013, Dinas Kehutanan kembali datang dan mengatakan masyarakat boleh bertani di lahan itu namun harus menandatangani surat pernyataan status mereka sebagai peminjam karena tanah masuk kawasan hutan. Sontak warga desa terkejut dan menolak. “Kok bisa kami meminjam tanah adat kami sendiri?” kata Mangatas.
Warga berupaya melepaskan lahan dari kawasan hutan hutan. Pertengahan 2015-Januari 2016, masyarakat mengajukan permohonan ke tim Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (IP4T) yang dibentuk di Kabupaten Toba berdasarkan SK empat menteri.
Saat menunggu jawaban, tahun 2016 BPODT terbentuk berdasarkan Perpres No. 49 tahun 2016, untuk mengembangkan Kawasan pariwisata di Danau Toba.
Karpet merah investasi Tiongkok?
Saat sengketa tanah di Sigapiton belum selesai, pada Desember 2020, Menteri Koordinator Maritim dan Investasi (Marves) Luhut Panjaitan mengundang Duta Besar China untuk Indonesia, Xiao Qian meninjau are The Kaldera–Toba Nomadic Escape.
Pada Februari 2021, Luhut juga mengundang Menteri Luar Negeri China, Wang Yi, ke Danau Toba dan kembali mengajak Tiongkok berinvestasi di sektor pariwisata di Kawasan Danau Toba.
Dalam kunjungan kenegaraan ke Tiongkok Juni lalu, Luhut kembali bertemu Wang Yi dan menegaskan lima poin kerjasama penguatan kedua negara, dua di antaranya penguatan kerjasama belt road initiative (BRI), dan pariwisata.
Tiongkok di bawah pemerintahan Presiden XI Jinping sedang membangun poros perdagangan dunia dari Eropa hingga Asia, yang akan berpusat ke negeri tirai bambu itu melalui skema BRI.
Kerjasama investasi dalam skema BRI, menurut analisis, dapat membawa Indonesia dalam jebakan utang. Ketika Indonesia tidak sanggup membayar, Tiongkok berpotensi besar mengambil alih sebagian besar kepemilikan saham, seperti terjadi pada proyek Pelabuhan Hambantota di Sri Lanka.
Proyek investasi Tiongkok di Sumut jadi sorotan karena menimbulkan konflik lahan yang mengancam masyarakat adat dan potensi kerusakan lingkungan hidup. Antara lain, proyek pembangkit listrik tenaga air di Batang Toru oleh PT North Sumatra Hydro Energy. Proyek ini mendapatkan kritikan dari banyak kalangan antara lain soal potensi bencana, dan keterancaman satwa endemik, orangutan Tapanuli.
Di Kabupaten Dairi, perusahaan tambang seng yang melibatkan investor Tiongkok juga berkonflik dengan masyarakat lokal terkait kepemilikan lahan, dan pengabaian dampak lingkungan yang berpotensi bencana.
Data yang diperoleh Mongabay dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), sedikitnya 23 investasi Tiongkok ekspansi ke Sumatera Utara. Empat investasi di proyek pembangkit tenaga listrik di Danau Toba, di Humbang Hasundutan, kabupaten yang berdampingan dengan Kabupaten Toba.
Shohibul Anshor Siregar, peneliti sosial dan Dosen Politik Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, mengatakan, BRI berpotensi menimbulkan masalah apabila pemerintah membuat kesepakatan tanpa menghormati hak-hak masyarakat adat.
Menurut dia, tanah rakyat yang terkena proyek penanaman modal dalam dan luar negeri harus mengindahkan rakyat. Untuk menghindari potensi konflik sosial, Shohibul menyarankan, pemerintah Indonesia melibatkan masyarakat sebagai pemegang saham di lokasi proyek yang melibatkan investor asing.
“Katakanlah dari perhitungan setiap keluarga menjual tanah Rp1 miliar, setengahnya diinvestasikan sebagai saham di perusahaan yang akan beroperasi. Dengan begitu, masyarakat akan memiliki perusahaan dan menikmati manfaatnya,” katanya.
Pendekatan ini, kata Shohibul, tak akan menimbulkan konflik seperti proyek penanaman modal asing di Sumut.
“Jika pun pemerintah melibatkan investasi China di Sigapiton, seharusnya masyarakat terlibat dan menjadi pelaku, bukan jadi penonton di tanah leluhurnya.”
Mongabay menghubungi Kementerian Marves terkait ajakan kepada Tiongkok untuk berinvestasi di Danau Toba, namun tidak ada jawaban.
“Show Must Go On”
Setelah aksi demo dan mengajukan permohonan penetapan hutan adat dari pemerintah tak kunjung mendapatkan jawaban, masyarakat Sigapiton menempuh jalur hukum.
“Mereka [BPODT] yang meminta kami menempuh jalur hukum, maka kami menggugat BPODT,” kata Mangatas.
Pada September 2019, Pomparan Ompu Ondol Butarbutar menggugat BPODT dan Kepala Kantor Pertanahan Tobasa ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan. Gugatan mereka ditolak. Majelis hakim menganggap penggugat tak memiliki kapasitas sebagai masyarakat yang punya hak atas tanah ulayat untuk mengajukan gugatan.
“Majelis hakim berpendapat, kedudukan hukum (legal standing) para penggugat untuk menggugat di PTUN sebagaimana dimaksud Pasal 53 ayat (1) UU Peratun, tidak terpenuhi,” demikian salah satu pertimbangan majelis hakim dalam salinan putusan.
Tak patah arang, April 2021, mereka kembali menggugat 12 pihak, termasuk Kementerian Maritim dan Investasi juga Kementerian ATR/BPN RI di Pengadilan Negeri Balige. Hingga kini proses sidang masih berlanjut.
Show must go on. Kala proses hukum masih berjalan, BPODT tetap melanjutkan proyek di kawasan itu. Saat Mongabay mengunjungi proyek pariwisata itu pertengahan Agustus lalu, tampak pembangunan gedung perkantoran sedang berjalan. Sejumlah alat berat tampak di beberapa ruas jalan yang dibuka.
“The Caldera Resort” tampak tertancap di sisi-sisi jalan menunjukkan kalau di lokasi itu akan dibangun resort.
Pengabaian keberadaan masyarakat adat Sigapiton ini, berdasarkan kajian Kelompok Studi dan Pembangunan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), organisasi masyarakat sipil yang sering menyoroti persoalan konflik masyarakat adat di Danau Toba, mengindikasikan kalau kepentingan investasi dipaksakan tanpa menyelesaikan hak-hak masyarakat terlebih dahulu.
“Keberpihakan pemerintah di pusat dan daerah terhadap masyarakat adat itu sangat lemah. Bahkan cenderung berpihak kepada investasi tanpa melihat ruang hidup masyarakat adat,” kata Delima Silalahi, Direktur KSPPM.
Jimmy Panjaitan, Direktur BPODT, melalui jawaban tertulis tidak menjawab spesifik pertanyaan Mongabay terkait hasil pertemuan Menko Marves Luhut Panjaitan dengan Duta Besar Tiongkok untuk Indonesia Xiao Qian dan Menteri Luar Negeri China Wang Yi saat ke Danau Toba.
“Prinsipnya BPODT sangat terbuka dan siap bersinergi dengan semua pihak demi percepatan pembangunan dan pengembangan Toba Caldera Resort baik investor dalam maupun luar negeri termasuk negara Tiongkok,” katanya. Dia tak bersedia wawancara langsung.
Roganda Simanjuntak, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Tano Batak, mengatakan, masyarakat Sigapiton berdaulat atas tanah adat, hidup dari tanah leluhur, memiliki lembaga dan pranata sosial sebagaimana masyarakat adat di Tanah Batak.
“Mereka bukan penggarap ilegal. Mereka adalah pemilik tanah ulayat mereka,” katanya.
Masyarakat Adat Sigapiton sudah memiliki kelembagaan adat sejak 200 tahun dan diakui masyarakat adat dari desa lain. Posisi mereka sebagai masyarakat sudah kuat. Semestinya, mereka tidak terancam terusir apabila dari awal BPODT mengidentifikasi dan verifikasi atas keberadaan masyarakat adat.
“[Bukan malah mengusir], seharusnya BPODT justru mendorong pemerintah daerah mengeluarkan produk hukum mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat.”
Tagih janji presiden
Masyarakat Adat Sigapiton kini hidup dalam ketakutan setelah Mangatas Butarbutar, Nurpeni Butarbutar, dan sejumlah warga dilaporkan BPODT ke polisi pada Februari 2021. Padahal, warga adat ini beraktivitas dan mengelola lahan di tanah leluhur mereka.
BPODT tak memberikan penjelasan mengenai solusi yang akan mereka berikan kepada masyarakat adat itu pada masa mendatang. Dalam jawaban tertulis otoritas itu mengatakan, apabila ada permasalahan ataupun sengketa lahan dengan masyarakat, tetap diupayakan pendekatan penyelesaian secara adat dan kekeluargaan.
“Namun apabila tidak ada kata sepakat, jalur hukum adalah upaya maupun langkah terakhir untuk mendapatkan kepastian hukum diantara pihak yang bersengketa.”
Pada 2020, BPODT pernah menawarkan kompensasi Rp5 juta per rumah papan dan Rp20 juta per rumah beton. Masyarakat menolak. Otoritas itu juga menawarkan ganti rugi atas tanah. Masyarakat menolak.
Upaya konfirmasi kepada Kementerian Marves mengenai langkah pemerintah untuk menyelesaikan masalah ini, namun sampai tulisan terbit belum ada jawaban.
“Kami bukan anti pembangunan, tapi kalau hak-hak kami dipenuhi sebagai masyarakat adat kami akan setuju. Kalau pembangunan justru mengusir kami, lebih baik tidak ada pembangunan pariwisata di sini,” kata Mangatas.
Mangatas dan masyarakat adat Sigapiton yang lain menginginkan tanah adat mereka kembali. Masyarakat meminta, pemerintah memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap tanah wilayah adat mereka.
“Saya dengar, presiden pernah mengatakan tanah adat harus dikembalikan kepada masyarakat,” katanya. Presiden mengatakan itu saat bertemu puluhan perwakilan masyarakat adat di Istana Negara pada 22 Maret 2017.
Bahkan, baru-baru ini, presiden mengatakan, pemerintah akan menetapkan 20 hutan adat di sekitar Kawasan Danau Toba.
“Saya berharap [ucapan presiden] ini bukan sekadar janji.”
*Liputan itu didukung oleh Internews’ Earth Journalism Network.
*****
Foto utama: Wilayah adat Sigapiton, terancam proyek pembangunan pariwisata ‘Bali Baru’. Foto: Tonggo Simangunsong
Facebook
Twitter
Instagram
RSS / XML
© 2023 Copyright Mongabay.co.id