Konten Premium
Bisnis.com, JAKARTA – Indonesia diminta tidak gentar menghadapi gugatan Uni Eropa (UE) di Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) terkait dengan kebijakan percepatan pembatasan ekspor bijih nikel.
Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Shinta W. Kamdani mengatakan Indonesia sebagai negara dan anggota WTO punya hak untuk mengatur produk apa saja yang diekspor ke negara lain.
Menurutnya, tidak ada kewajiban internasional yang mewajibkan RI mengekspor produk tertentu termasuk bijih nikel, hanya karena negara mitranya membutuhkan produk tersebut.
“Jadi sah-sah saja, jika UE menggugat Indonesia di WTO terkait dengan aturan ekspor nikel kita. Itu hak mereka. WTO hanya mengatur, sedapat mungkin pembatasan ekspor ditiadakan untuk memperlancar perdagangan dunia. Namun, WTO juga memberi hak ke tiap negara untuk melakukan larangan ekspor dengan alasan tertentu,” katanya, ketika dihubungi Bisnis.com, Minggu (24/11/2019).
Alasan tertentu terkait dengan pembatasan ekspor-impor yang dimaksudnya a.l. apabila komoditas terkait, ekspor atau impornya menganggu kemanan nasional, membahayakan bagi pasar dalam negeri, atau menganggu kestabilan ekonomi nasional. Indonesia dalam hal ini bisa mengklaim haknya tersebut sewaktu-waktu, terutama ketika mendapatkan gugatan dari UE.
“Kita tunggu bagaimana pemerintah bersikap. Pemerintah harus mampu memberikan argumen ke WTO bahwa kebijakan pembatasan ekspor bijih nikel ini sesuai dengan hak Indonesia di WTO dan tidak menyalahi kesepakatan dagang internasional,” katanya.
Indonesia, lanjutnya, sejatinya bisa dengan mudah melawan tudingan UE apabila menerapkan kebijakan nonlarangan terbatas untuk ekspor bijih nikel. Kebijakan tersebut bisa berupa ketentuan atau insentif yang membuat produsen bijih nikel lebih tertarik menjual barangnya ke dalam negeri dibandingkan dengan ke luar negeri.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno mengatakan Indonesia harus mempertahankan kebijakannya untuk mempercepat pemberlakuan larangan ekspor bijih nikel. Pasalnya, langkah tersebut diperlukan untuk memperkuat dan memberikan kepastian bagi industri turunan nikel di Indonesia. Hal itu sesuai dengan Undang-Undang No.13/2014 tentang Perindustrian.
“Saya belum bisa berkomentar tentang gugatan UE di WTO. Namun yang jelas, Pemerintah harus mempertahankan rencana kebijakannya membatasi ekspor bijih nikelnya. Sebab, langkah tersebut penting untuk meningkatkan dan mengembangkan industri hilir kita yang menggunakan bijih nikel,” katanya.
Ketua Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral Asosiasi Pengusaha Indonesia Sammy Hamzah mengakui kebijakan percepatan larangan ekspor bijih nikel, terkesan tiba-tiba diambil oleh pemerintah. Hal itu menimbulkan pertanyaan bagi negara lain yang selama ini menjadi konsumen bijih nikel Tanah Air.
“Berbicara perdagangan kita memang tidak bisa secara tiba-tiba menyetop ekspor komoditas yang kita miliki, termasuk bijih nikel. Maka dari itu kita harus bisa menjelaskan secara mendetail keputusan dan dasar percepatan penyetopan ekspor ini,” jelasnya.
Dia khawatir apabila Indonesia tidak dapat menjelaskan alasan penyetopan ekspor dengan baik, maka akan kalah gugatan di WTO dan mendapatkan tindakan retaliasi dari UE.
Wakil Ketua Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) Jonatan Handojo meminta pemerintah tidak perlu takut melawan gugatan UE di WTO. Pasalnya, Indonesia memiliki dasar yang kuat untuk membalikkan tudingan kecurangan perdagangan akibat percepatan penyetopan ekspor bijih nikel.
“Berdasarkan catatan kami, ekspor bijih nikel ke UE itu hampir tidak ada. Ekspor bijih nikel kita mayoritas kita ekspor ke China, Korea Selatan atau Jepang. Jadi patut dipertanyakan kenapa UE tiba-tiba menggugat kita ke WTO,” katanya.
Adapun, berdasarkan data UN Comtrade, Indonesia terakhir kali mengekspor bijih nikel dengan kode harmonized system (HS) 2604 ke UE pada 2014. Kala itu ekspor RI ke blok negara Eropa tersebut mencapai 38.335 ton. Namun sejak 2015-2018 Indonesia tercatat tidak mengekspor bijih nikel ke UE.
Jonatan menilai langkah UE tersebut merupakan salah satu respons akibat tertekannya industri baja nasionalnya. Pasalnya, sektor tersebut di UE sedang terguncang akibat gempuran baja murah dari China.
Hal senada dikatakan oleh Wakil Ketua Umum Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia (Indonesian Iron and Steel Industry Association/IISIA) Ismail Mandry. Dia menilai langkah UE tersebut merupakan bentuk kekhawatiran atas hadirnya produsen baja baru yang memiliki ongkos produksi lebih kompetitif, yakni Indonesia akibat keputusan percepatan penyetopan ekspor bijih nikel. Untuk itu dia mendesak pemerintah tidak gentar menghadapi gugatan UE.
“Indonesia berpotensi menjadi jawara baru produsen baja dunia. Sebab kita memiliki bahan baku nikel di dalam negeri yang melimpah. Hal itu yang ditakuti oleh UE, termasuk ketika menuduh industri baja kita tidak efisien dan menghasilkan polusi tinggi serta baja berkualitas rendah,” katanya.
Senada, ekonom Universitas Indonesia Fitrha Faisal pun menilai percepatan penyetopan ekspor bijih nikel merupakan hak prerogatif Indonesia sebagai anggota WTO. Dia menegaskan tidak menemukan adanya ketentuan di WTO yang melarang adanya penyetopan ekspor atas produk tertentu.
“Namun, yang perlu diperhatikan, apakah produsen kita punya kontrak penjualan bijih nikel untuk tahun depan ke UE? Lalu apakah pemerintah mengecualikan pembatasan ekspor untuk kontrak yang dibuat produsen kita tahun depan? Sebab kita punya celah digugat di sisi tersebut, terkait dengan kepatuhan pemenuhan kontrak jual-beli,” katanya.
Terpisah, Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey menolak mengomentari gugatan UE di WTO tersebut. Sementara itu, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Wisnu Wardhana tidak memberikan resspons terkait dengan konfirmasi sikap pemerintah Indonesia.
Adapun, seperti dikuti dari Reuters, UE telah melayangkan gugatannya kepada Indonesia ke WTO terkait percepatan penyetopan ekspor bijih nikel pada Jumat (22/11/2019) waktu setempat. Komisi Eropa menilai langkah Indonesia tersebut merupakan pembatasan yang tidak adil terhadap produsen baja di UE.
Komisioner Perdagangan UE Cecilia Malmstrom mengatakan kebijakan Indonesia tersebut menekan industri baja di UE yang telah menghadapi banyak guncangan dalam beberapa tahun terakhir. Dia juga mengeluhkan kebijakan Indonesia yang memberikan fasilitas perpajakan untuk pembangunan pabrik pengolahan baja dan nikel baru. Hal itu ditudingnya sebagai bentuk subsidi ilegal yang diberikan pemerintah Indonesia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berita lainnya seputar topik artikel ini, di sini :
Bergabung dan dapatkan analisis informasi ekonomi dan bisnis melalui email Anda.