Jakarta, CNBC Indonesia – Penambang nikel melalui Asosiasi Pertambangan Nikel Indonesia (APNI) meminta kepada pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk mengubah peraturan tata niaga nikel. Adapun aturan yang ada saat ini adalah Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 07 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penetapan Harga Patokan Penjualan Mineral Logam dan Batubara.
Aturan itu dirasa belum cukup kuat untuk menyepakati harga nikel sesuai aturan yang berlaku. Pasalnya, dalam pelaksanaannya para pengembang smelter khususnya smelter lokal tidak patuh, sehingga penjualan nikel dari para penambang yang sudah dipatok oleh aturan itu tidak sesuai dan masih terlalu jauh dari harga produksi.
Sekjen APNI, Meidy Katrin Lengkey menyampaikan, perkembangan komoditas nikel terus merangkak naik. Namun, transaksi penjualan bijih nikel tidak sesuai dengan peraturan HPM. Transaksi jual-beli yang seharusnya berbasis Free On Board (FOB), di mana penjual berkewajiban membayar royalty, PPh (PNBP) ke negara berdasarkan harga HPM FOB, tapi dalam pelaksanaannya transaksi yang dilakukan pelaku hilir dilakukan berdasarkan CIF (Cost, Insurance, and Freight).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Akhirnya, para penambang mengeluarkan biaya tambahan di luar biaya yang sudah ditentukan dalam transaksi FOB. Di antaranya harus menanggung subsidi biaya pengiriman ke pelabuhan bongkar. Sehingga terjadi banyak perbedaan.
“Dua bulan terakhir anggota APNI mengeluhkan, di mana sudah ada kontrak-kontrak bijih nikel limonite tapi harganya kami ibaratkan harga bunuh diri. Karena harga limonite itu tidak masuk akal, selain kami harus melakukan transaksi secara CIF. Kalau kami hitung bukannya untung atau pas-pasan, tapi rugi,” paparnya.
Oleh karena persoalan itu, Meidy meminta kepada pemerintah diantaranya: Segera menyusun harga patokan bijih nikel lemonite (low grade). Kedua, jika harga yang diterapkan sesuai dengan HPM yang tertuang dalam Permen ESDM No. 11 Tahun 2020, dan memberlakukan harga HPM jika terjadi finalty penurunan kadar.
“Diberlakukan penjualan transaksi bijih nikel yang sesuai dengan Permen ESDM No. 11 Tahun 2020 yaitu berbasis FOB. Lalu, seluruh perusahaan jasa surveyor untuk dilakukan SNI dengan mengacu pada satu metode sampling dan pengujian hasil analisa,” ungkap dia.
Selain itu, ia juga meminta kepada pemerintah untuk mendisfungsikan surveyor wasit atau umpire untuk memberikan keadilan bagi semua pihak, jika terjadi dispute perbedaan hasil analisa. Hal ini untuk menghindari monopoli disarankan kepada smelter untuk menggunakan 11 surveyor terdaftar secara merata agar hasil analisis lebih cepat dapat diperoleh.
“Kemudian dioptimalkan kerja-kerja Satgas HPM dalam pengawasan di lapangan dengan mengikutsertakan APNI sebagai laporan langsung di lapangan,” ungkap dia.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT