Sumber gambar, ANTARA FOTO
Mahasiswa gabungan dari berbagai Perguruan Tinggi di Banten berunjuk rasa di Jalan Ahmad Yani, Serang, Selasa (24/09).
Tim Advokasi untuk Demokrasi dan Reformasi menyebut kepolisian telah melanggar Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Peraturan Kapolri ketika menangkap dan menahan puluhan mahasiswa serta pelajar saat aksi unjuk rasa menentang Rancangan Undang-Undang (RUU) kontroversial di depan Gedung DPR/MPR pekan lalu. Tapi pihak Istana menilai tindakan kepolisian sudah tepat sembari meminta Polri mempercepat proses pemeriksaan. Sementara polisi sebelumnya mengklaim telah membebaskan seluruh mahasiswa.
Setidaknya enam mahasiswa dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang ditangkap dan ditahan Polda Metro Jaya pada 23-24 September lalu, telah dilepaskan.
Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa UIN Jakarta, Sultan Rivandi, mengatakan teman-temannya itu dibebaskan di hari yang berlainan mulai Rabu malam hingga Kamis pagi. Kendati untuk mengorek informasi tentang apa saja yang terjadi selama penangkapan dan penahanan, ia harus menunggu mereka pulih secara psikologis.
"Saat (mereka) keluar, kami temui di kantor polisi. Tapi untuk jaga psikologisnya supaya tidak tertekan, biar mereka menenangkan diri. Kalau sudah netral, baru akan kami tanya," ujar Sultan Rivandi kepada BBC News Indonesia, Minggu (29/09).
Menurut Sultan pula, kawan-kawannya itu dinyatakan terbukti tidak bersalah "atas tindakan yang merugikan negara" atau seperti yang dituduhkan polisi sebelumnya, yakni provokator.
"Jadi sudah dimintai keterangan dan yang jelas tidak ada hal-hal yang merugikan negara," sambungnya.
Salah satu pengacara dari Tim Advokasi untuk Demokrasi dan Reformasi, Jeanny Sirait, mengatakan setidaknya ada 14 kampus yang melapor ke pihaknya mengenai adanya penangkapan mahasiswa ketika dan setelah aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR.
Dari laporan itu, kira-kira ada 100 mahasiswa dan pelajar yang disebut "tidak diketahui keberadaannya". Karena itulah, gabungan pengacara dari LSM hukum mendatangi Polda Metro Jaya untuk mencari tahu berapa banyak yang ditangkap dan siapa saja identitasnya.
Setiap hari para pengacara, kata Jeanny, menunggu di kantor polisi sembari berjaga jika sewaktu-waktu polisi membuka akses pendampingan hukum. Hanya saja, kata Jeanny, polisi bungkam.
Sumber gambar, ANTARA FOTO
Polisi menangkap seorang yang diduga provokator dalam kericuhan saat unjuk rasa di depan kompleks Parlemen di Jakarta, Selasa (24/09).
Investigasi untuk menyibak tabir adopsi ilegal dari Indonesia ke Belanda di masa lalu
Episode
Akhir dari Podcast
"Kami harus bilang kalau data pasti (berapa yang ditangkap), kami kesulitan, karena akses ke Polres Jakarta Barat dan Polda Metro Jaya, sulit didapat. Sebab akses pengacara tertutup," ujar Jeanny kepada BBC News Indonesia.
"Bahkan ketika kami bilang mau pendampingan dilarang dan ditanya mana surat kuasanya?".
Menurut Direktur LBH Jakarta yang mewakili Tim Advokasi untuk Demokrasi dan Reformasi, Arif Maulana, polisi telah melanggar Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Peraturan Kapolri ketika menangkap dan menahan mereka.
Sebab, jika merujuk pada KUHAP, seseorang yang ditangkap lebih dari 1×24 jam harus dilepaskan jika tidak terbukti melakukan tindak pidana, sementara para mahasiswa itu ditahan lebih dari waktu yang ditentukan dan tanpa surat penangkapan.
"Kalau lewat dari 1×24 jam, belum dibebaskan secara hukum dia ditetapkan sebagai tersangka. Nah itu harus ada surat penetapan," jelas Arif Maulana.
"Orang yang diproses penangkapan pun, berhak atas bantuan hukum. Hal lain, tidak boleh disiksa atau mengalami penganiayaan fisik maupun nonfisik dalam proses pemeriksaan," sambungnya.
Lebih jauh, Jeanny mengatakan pihaknya akan segera menemui para mahasiswa yang telah dilepaskan begitu kondisi psikologisnya membaik untuk mengetahui ada tidaknya intimidasi, teror, atau penyiksaan selama pemeriksaan. Sebab begitu keluar dari kantor polisi, mereka tampak ketakutan.
"Kami sudah temui, tapi karena kondisi mental tidak stabil, sehingga kami minta pulang dulu," ujarnya.
"Pandangan subjektif saya, mereka ketakutan yang kami tidak tahu sebabnya. Ketakutan yang berlebih. Jadi lebih berhati-hati kalau sama orang asing," tukasnya.
"Saat ditanya pun, jawabnya cuma, 'entar dulu ya bang, kak. Gua benar-benar butuh waktu dulu'. Jadi kami juga menghormati kesehatan mental mereka. Kalau dipaksa jawab, malah ngelantur repot nanti."
Polda Metro Jaya mengklaim telah melepaskan seluruh mahasiswa yang ditangkap setelah insiden kericuhan saat demonstrasi di depan Gedung DPR pada pekan lalu. Kendati demikian juru bicaranya, Argo Yuwono, tidak mengatakan rinci, jumlah mahasiswa yang dilepas itu.
"Mahasiswa yang diamankan sudah pada pulang, semalam sudah pulang semua," ujar Argo di Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Jumat (27/09).
Sumber gambar, ANTARA FOTO
Sejumlah mahasiswa yang ditahan pascaaksi demontrasi DPR diperlihatkan kepada wartawan sebelum dibebaskan di Polda Metrojaya, Jakarta, Kamis (26/09).
Akan tetapi, informasi yang diperoleh LBH Jakarta berbeda. Direkturnya, Arif Maulana, mengatakan setidaknya masih ada 26 mahasiswa ditahan di Polda Metro Jaya.
Kata dia, simpang siur jumlah mahasiswa yang ditangkap ini buntut dari sikap polisi yang tertutup.
"Sejak tanggal 25 September dini hari sampai sekarang, akses tidak dibuka. Ini jadi persoalan tersendiri. Apalagi polisi tidak sediakan informasi siapa nama-nama yang ditangkap dan naik statusnya jadi tersangka."
Merespons hal ini, Tenaga Ahli Utama Kedeputian V Kantor Staf Presiden, Ifdhal Kasim, menyatakan pihak Istana telah meminta Polri mempercepat proses pemeriksaan terhadap para mahasiswa maupun nonmahasiswa agar hak pendampingan hukum yang telah berstatus tersangka dipenuhi.
"Kami sedang melakukan komunikasi dengan kepolisian, agar ini dipulihkan kembali akses untuk keluarga dan penasihat hukum kepada mahasiswa dibuka. Karena ini bercampur antara mahasiswa dan nonmahasiswa yang terlibat demo," ujar Ifdhal Kasim kepada BBC Indonesia.
Ifdhal juga menilai tindakan yang dilakukan polisi saat menangani demonstrasi di depan Gedung DPR, sudah tepat lantaran aksi unjuk rasa tidak lagi berjalan damai.
"Polisi juga harus jaga kepentingan orang lain yang tidak demo, termasuk fasilitas publik harus dilindungi. Itulah mengambil tindakan membubarkan, mungkin di situ ada yang kena gas air mata. Jadi tanpa ditegur Presiden Jokowi, Kapolri punya kebijakan yang memberi kesempatan peacefuldemonstration (demonstrasi damai)," sambungnya.
Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa UIN Jakarta, Sultan Rivandi, memastikan pada Senin (30/09) akan ada aksi unjuk rasa mahasiswa menentang RUU kontroversial dan mendesak dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) KPK di Gedung DPR yang berbarengan dengan rapat paripurna terakhir anggota DPR periode ini.
Namun berapa banyak civitas yang terlibat, ia belum bisa memastikan karena masih harus berkoordinasi dengan kampus lainnya. Kendati ia memastikan, rektor UIN Jakarta tidak melarang mahasiswanya melakukan demonstrasi.
"Kalau UIN Jakarta tidak ada larangan, tapi tidak tahu kalau di daerah lainnya," ujar Sultan Rivandi.
"Yang pasti besok dan Selasa akan ada demonstrasi, cuma memang nanti kita sepakati dulu dengan kampus lain," sambungnya.
Sultan mengakui, penangkapan dan penahanan kawan-kawannya turut memengaruhinya tapi tidak menyurutkan semangat mahasiswa lain untuk melanjutkan aksi.
Sumber gambar, ANTARA FOTO
Mahasiswa berjalan kaki dari Jalan Gerbang Pemuda menuju depan kompleks DPR saat berunjuk rasa di Jakarta, Senin (23/09).
Sementara Presiden Mahasiswa Universitas Trisakti, Dinno Ardiansyah, menegaskan aksi unjuk rasa mahasiswa tetap membawa tuntutan yang sama, yakni mendesak Presiden Jokowi mengeluarkan Perppu KPK dan membatalkan sejumlah RUU bermasalah.
"Di sini mahasiswa bergerak untuk rakyat. Bukan untuk melengserkan Jokowi atau membatalkan pelantikannya," tegasnya.
Dinno juga menyesalkan tindakan polisi yang disebutnya berlebihan ketika menangkap dan menahan para mahasiswa.
"Kita sayangkan ada tindakan polisi yang berlebihan."
Direktur LBH Jakarta, Arif Maulana, menyebut tindakan polisi yang dikatakannya represif itu sebagai bentuk teror atau intimidasi untuk meredam aksi mahasiswa.
"Saya kira ini gaya Orde Baru muncul lagi dan berbahaya," jelasnya.
"Saya khawatir hukum jadi alat kekuasaan."
Rektor Universitas Paramadina Jakarta, Firmansyah, menyebut tak ada imbauan apapun terkait rencana aksi demonstrasi mahasiswa pada Senin (29/09). Ia mempersilakan anak didiknya yang ingin menyampaikan aspirasi, namun harus mengikuti aturan.
Sumber gambar, ANTARA FOTO
Polisi menghalau massa saat kericuhan dalam unjuk rasa di depan kompleks Parlemen di Jakarta, Selasa (24/09/2019). Ribuan mahasiswa yang berasal dari kampus di sejumlah daerah itu turun ke jalan berdemonstrasi menolak UU KPK dan pengesahan RUU KUHP.
"Itu (demonstrasi) juga bagian menyampaikan aspirasi dari mahasiswa. Tentunya kami juga tidak bisa mendeteksi siapa yang ikut demo dan tidak, dan kami tidak pernah instruksikan untuk ikut demo," jelasnya.
Firmansyah hanya menyayangkan pernyataan Menristekdikti, M Nasir, yang menyebut akan menjatuhkan sanksi kepada rektor dan dosen jika membiarkan mahasiswanya berdemo.
"Menurut saya tidak perlu mengancam, yang perlu dikedepankan dialog. Ajak elemen mahasiswa berdiskusi dan berdialog terkait aspirasi mereka," tukasnya.
Sementara itu, Kepala Humas dan Protokol UGM, Iva Ariani, mengatakan tidak ada pernyataan apapun dari kampus menanggapi rencana unjuk rasa besok. Lebih jauh, Wakil Rektor UGM, Paripurna Sugarda, mengingatkan mahasiswa yang berdemo tidak melakukan tindakan anarkistis.
"Yang penting jangan melakukan perusakan dan anarkis. Salurkan ide-ide dan harapan-harapan dengan baik sesuai konstitusi. Itu pendapat saya pribadi," katanya.
"Kan demo tidak dilarang tapi demo yang anarkistis yang dilarang."
Sejumlah video dan foto yang memperlihatkan kekerasan aparat terhadap pengunjuk rasa pada Selasa (24/9), viral di media sosial.
© 2023 BBC. BBC tidak bertanggung jawab atas konten dari situs eksternal. Baca tentang peraturan baru terkait link eksternal.