Alman Helvas Ali adalah konsultan defense industry and market pada PT Semar Sentinel, Jakarta sejak 2019 – sekarang dengan tanggungjawab memberikan market insight kepada Original Equipment Manufacturer asing yang ingin berbisnis di Indonesia. Sebelumnya pernah menjadi Jane’s Aerospace, Defense & Security, Country Representative – Indonesia pada tahun 2012-2017 yang bertanggungjawab terhadap pengembangan pasar Jane’s di Indonesia. Memegang ijazah sarjana aeronautika dari Universitas Suryadarma Jakarta, Alman memiliki spesialisasi di bidang industri pertahanan, pasar pertahanan dan kebijakan pertahanan. Sebelum bergabung dengan Jane’s, Alman pernah bekerja pada lembaga think-tank di Jakarta yang berfokus pada isu pertahanan dan maritim. Dapat dihubungi melalui [email protected] dan atau [email protected]
Serangan Rusia terhadap Ukraina sejak 24 Februari 2022 hingga saat ini telah berimplikasi luas terhadap ekonomi global. Bagi masyarakat awam, dampak serangan Negeri Beruang Merah dirasakan pada sektor pangan, seperti kurangnya suplai gandum yang memengaruhi harga jual produk-produk berbasis gandum yang dikonsumsi sehari-hari. Sedangkan bagi kalangan industri pertahanan global, dampak serangan Rusia terhadap Ukraina dirasakan berupa naiknya harga material untuk memproduksi senjata. Salah satu sektor industri pertahanan yang terdampak kenaikan harga material tersebut adalah industri dirgantara.
Sejak lama industri dirgantara terus menerus mencari material yang ringan namun kuat sebagai material airframe pesawat terbang (lightweight design). Bagi pesawat terbang komersial seperti Boeing B787 Dreamliner dan Airbus A350, material tersebut dapat membantu industri penerbangan mengurangi emisi global karena terciptanya efisiensi energi dan pengurangan konsumsi bahan bakar. Hal serupa diterapkan pada pesawat terbang untuk kepentingan militer, baik pesawat angkut, pesawat tempur maupun helikopter. Bahan-bahan yang berkategori aerospace grade seperti titanium, titanium alloys, alloys, magnesium, stainless steel dan komposit telah menjadi komoditas buruan pabrikan pesawat terbang di seluruh dunia.
Sebagai bagian dari interdependensi ekonomi global selepas Perang Dingin, industri dirgantara Barat mempunyai ketergantungan terhadap pasokan material asal Rusia. Tingkat ketergantungan itu tidak 100%, tetapi berkisar sekitar 50% dan hanya berlaku pada material tertentu saja. Ketergantungan industri dirgantara Barat terhadap Rusia yang bersifat kritis adalah pada material titanium, sehingga sampai saat ini Barat masih mengecualikan sanksi terhadap material itu. Baik Amerika Serikat (AS) maupun Uni Eropa (UE) belum menjatuhkan sanksi larangan impor titanium dari Rusia, setidaknya hingga awal Juni 2022.
Mengapa titanium dan titanium alloys menjadi material pilihan bagi pesawat terbang? Sebab kedua material termasuk kategori lightweight dan rasio yang tinggi dalam hal strength to weight. Selain itu, titanium dan titanium alloys tahan terhadap suhu tinggi dan lebih tahan korosi dibandingkan material lain, sehingga cocok untuk digunakan pada pesawat terbang. Selain diaplikasikan pada mesin pesawat terbang, titanium juga diadopsi untuk struktur pesawat terbang (aerostructure).
Sebelum serangan Rusia terhadap Ukraina, Boeing mengimpor sepertiga kebutuhan titanium dari Rusia dan pada Maret 2022 silam mengumumkan pabrikan AS itui telah menghentikan impor dari Rusia untuk material tersebut. Namun laporan Wall Street Journal mengindikasikan firma yang pernah dipimpin oleh Dennis Muilenburg itu masih mempunyai hubungan bisnis dengan penyuplai utama titanium Rusia, yaitu VSMPO-AVISMA Corporation yang dipimpin Sergey Chemezov. Sergey Chemezov termasuk oligark Rusia yang telah dijatuhi sanksi oleh Barat pascainvasi terhadap Ukraina.
Airbus sebagai pesaing utama Boeing di kategori pesawat badan sempit dan badan lebar tercatat memiliki ketergantungan sekitar 50% terhadap suplai titanium dari Rusia. Firma multinasional Eropa tersebut telah mengingatkan Uni Eropa bahwa dimasukkannya titanium ke dalam daftar sanksi terhadap Rusia di masa depan akan merugikan industri dirgantara Eropa. Selain kepada Boeing, VSMPO-AVISMA Corporation tercatat juga sebagai pemasok utama titanium kepada Airbus. Dalam hal persaingan bisnis dengan Boeing, Airbus kini menjadi pilihan banyak maskapai penerbangan dunia karena sejumlah kasus yang menimpa Boeing seperti skandal B737 MAX dan keterlambatan penyerahan B787, B777-9 dan B777X kepada konsumen.
Indonesia dan Airbus mempunyai kontrak akuisisi dua A400M dan opsi empat pesawat yang ditandatangani pada 10 Oktober 2021 di Jakarta dan dilanjutkan kegiatan seremonial serupa saat Dubai Airshow 2021 pada 18 November 2021. Indonesia bersedia menyisihkan dana sebesar €484 juta kepada Airbus untuk mendapatkan dua pesawat angkut yang material airframe-nya menggunakan aluminium alloy, titanium alloy dan carbon fiber ini. Titanium alloy merupakan paduan antara titanium dan unsur kimia lainnya yang pada A400M digunakan pada struktur di sekitar windshield, wing/fuselage joint dan landing gear anchorage. Sebagai offset tidak langsung dari kontrak pembelian dua A400M oleh Indonesia, Airbus bersedia memberikan autonomous right CN235 dan transfer desain dan otorisasi penjualan NC212i kepada PT Dirgantara Indonesia (Persero).
Namun serangan Rusia terhadap Ukraina mengancam keberlangsungan kontrak tersebut. Mengutip sumber yang mengetahui perkembangan kontrak antara Indonesia dan Airbus, pembuat pesawat terbang A330 itu telah meminta kepada Indonesia untuk menegosiasikan kembali harga yang telah disepakati dalam kontrak. Penyebabnya karena nilai kontrak yang telah disepakati yaitu €484 juta sulit untuk dipenuhi menyusul kenaikan harga material pesawat, khususnya titanium. Seperti telah disebutkan sebelumnya, 50% pasokan titanium Airbus berasal dari Rusia dan perkembangan geopolitik di Eropa berdampak pula terhadap harga dan pasokan material kritis itu.
Hingga kini belum jelas bagaimana respons Indonesia terhadap permintaan Airbus untuk renegosiasi kontrak A400M. Terdapat dua skenario yang mungkin terjadi terkait permintaan Airbus, yaitu Indonesia bersedia melakukan negosiasi ulang atau Indonesia menolak melaksanakan perundingan ulang. Kalau skenario kedua yang terjadi, boleh jadi kontrak A400M akan terancam apabila Airbus memutuskan untuk menarik diri dari kontrak tersebut. Jika skenario kedua terwujud, hal demikian akan berimplikasi terhadap nasib rencana pemberian autonomous right CN235 dan transfer desain dan otorisasi penjualan NC212i kepada PTDI.