Konten Premium
Bisnis.com, JAKARTA – Eksportir bijih besi terbesar dunia, Australia, memperkirakan harga bijih besi bertahan di level US$100 per ton dalam jangka menengah. Hal ini terjadi seiring dengan permintaan dari China yang tetap positif.
Departemen Perindustrian, Ilmu Pengetahuan, Energi dan Sumber Daya Australia mengatakan dalam laporan kuartal I/2020 bahwa permintaan China untuk bijih besi sejauh ini terbukti relatif kuat terlepas dari dampak pandemi Covid-19.
“Kami ekspektasikan permintaan China tidak akan turun secara signifikan, meskipun ada penurunan daya beli masyarakat yang meningkatkan ketergantungan industri baja China terhadap ekspektasi stimulus domestik,” tulis departemen itu dalam laporannya seperti dikutip dari Bloomberg, Senin (26/6/2020).
Pemerintah Australia memperkirakan rata-rata harga bijih besi pada tahun ini berada di kisaran US$79,5 per ton. Adapun untuk tahun depan di kisaran US$71 per ton dan pada 2022 berada di kisaran US$64,8 per ton.
Perkiraan tersebut naik sekitar 30 persen daripada perkiraan sebelumnya. Harga diperkirakan sebagian besar bertahan pada level saat ini selama sisa tahun ini, meskipun melayang sedikit lebih rendah pada paruh kedua.
Adapun, pada perdagangan Senin (26/6/2020), harga bijih besi naik 0,15 persen ke level US$103,23 per ton. Bijih besi melonjak melewati US$100 per ton disebabkan ancaman pasokan dari salah satu produsen utama bijih besi, Brazil, mengalami hambatan dalam pengiriman. Sepanjang tahun berjalan 2020, harga bijih besi telah bergerak menguat 12,8 persen.
Untuk diketahui, bijih besi adalah ekspor komoditas andalan Australia sehingga dengan reli harga komoditas itu dan pelemahan mata uang domestik mendorong pendapatan Negeri Koala itu menyentuh rekor baru sebesar 103 miliar dolar Australia pada tahun keuangan 2019/2020.
Sentimen-sentimen itu pun juga akan membantu dua perusahaan produsen terbesar dunia asal Australia BHP Group dan Rio Tinto Group. Ekspor bijih besi Australia diperkirakan berjumlah 866 juta ton pada 2020, turun dari perkiraan bulan Maret sebesar 892 juta, dan meningkat menjadi 903 juta ton pada tahun depan.
Sementara itu, impor China diperkirakan meningkat menjadi 1,12 miliar ton tahun ini, meskipun perkiraan itu lebih rendah dari perkiraan sebelumnya sebesar 1,3 miliar. Pembelian diperkirakan akan naik pada 2021 dan mencapai 1,3 miliar pada 2022. Di pasar baja, sinyal hijau kembali dipancarkan oleh China karena persediaan menurun dan produksi meningkat.
Sebagian besar pertumbuhan output tergantung pada stimulus yang diantisipasi dan, dengan pasar ekspor menurun, langkah-langkah pertumbuhan akan tetap penting bagi pasar baja negara itu berpotensi hingga 2021. Kendati demikian, konsumsi baja dunia diperkirakan akan terkontraksi 6 persen tahun ini, karena pandemi Covid-19 dan perlambatan ekonomi pertumbuhan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berita lainnya seputar topik artikel ini, di sini :
Bergabung dan dapatkan analisis informasi ekonomi dan bisnis melalui email Anda.