ASKARA – Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan – IPB University, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS menyatakan, untuk bisa hidup sukses dan bahagia serta mampu berkontribusi signifikan for a better Indonesia and the world, Universitas Lambung Mangkurat (ULM) dan segenap alumninya mesti memahami Peta Jalan (Road Map) Pembangunan Bangsa dalam mewujudkan Indonesia Emas pada 2045.
Demikian dikatakan Prof. Rokhmin Dahuri dalam paparannya bertema “Peluang Dan Tantangan Pendidikan Tinggi Di Era Disrupsi Industri 4.0, Perubahan Iklim, Dan Dinamika Geopolitik Global Yang Kian Dinamis”, dalam orasi ilmiah pada Dies Natalis ke-64 ULM di Aula Auditorium ULM, Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Rabu (21/9).
“Seluruh Civitas Academica (Dosen, Mahasiswa, dan Tenaga Non-Akademik) serta para alumni ULM diharapkan dapat lebih berkontribusi signifikan dalam mewujudkan cita-cita Kemerdekaan NKRI, yakni Indonesia yang maju, adil-makmur, dan berdaulat atau Indonesia Emas paling lambat pada 2045,” ujarnya.
Lebih lanjut, Prof. Rokhmin Dahuri menyampaikan, selain bisa hidup sukses dan bahagia, sebagai warga dunia, seluruh Civitas Academica dan alumni ULM juga diharapkan turut berpartisipasi aktif dalam mewujudkan dunia yang lebih baik dan berkelanjutan, a better and sustainable world,” sebutnya.
Peta Jalan Pembangunan Bangsa yang komprehensif dan benar haruslah disusun berdasarkan pada: (1) potensi (modal dasar) pembangunan yang kita miliki; (2) pencapaian dan status pembangunan Indonesia saat ini; (3) permasalahan dan tantangan pembangunan ke depan; dan (4) key global trends (kecenderungan-kecenderungan global utama) yang mempengaruhi pembangunan ekonomi dan peradaban manusia di abad-21 ini.
“Semoga Universitas Lambung Mangkurat (ULM) yang sudah baik, kedepannya akan lebih berprestasi lagi, hingga menjadi a world class university (Universitas Berkelas Dunia),” imbuh Prof. Rokhmin Dahuri
Oleh sebab itu, terangnya, peran Perguruan Tinggi (PT) dalam mewujudkan Indonesia Emas pada 2045, dan dunia yang lebih baik dan sustainable pada dasarnya adalah berupa: (1) mencetak lulusan yang unggul, (2) hasil penelitian (invensi dan inovasi) yang bermanfaat bagi pembangunan ekonomi dan kehidupan bangsa serta umat manusia, dan (3) perbaikan dan pengembangan kapasitas, etos kerja dan akhlak masyarakat dan aparat pemerintahan (ASN).
Profil alumni PT yang unggul dan insya Allah memiliki kehidupan yang sukses dan bahagia dunia – akhirat adalah mereka yang memiliki karakter: (1) kompeten di bidang IPTEK dan keilmuan yang mereka tempuh selama masa perkuliahan, (2) memiliki kemampuan analisis, sintesis, kritis, kreatif, inovatif, dan pemecahan masalah (problem solving);
(3) menguasai dan terampil teknologi digital (menggunakan komputer, HP, dan gadget lainnya); (4) memiliki soft skills (seperti dapat memelihara dan memompa motivasi diri, bisa bekerjasama, teamwork, disiplin, adaptive, agile, dan leadership);(5) menguasai sedikitnya satu Bahasa asing (seperti Inggris, Arab, atau Mandarin);
(6) memiliki jiwa wirausaha (entrepreneurship); (7) berakhlak mulia (jujur, amanah, fathonah/visioner, tabligh, berempati, kanaah, sabar, dan bersyukur); dan (8) beriman dan taqwa kepada Tuhan YME menurut agama masing-masing.
Penelitian dari PT seharusnya menghasilkan: (1) informasi ilmiah sebagai dasar bagi pihak pemerintah, swasta (industri) maupun masyarakat dalam menyusun perencanaan dan pengambilan keputusan pembangunan atau bisnis; (2) invensi (prototipe) yang siap untuk dihilirisasi (scalling up) menjadi inovasi teknologi maupun non-teknologi; (3) publikasi ilimiah di jurnal ternama (terbaik) pada bidang ilmunya, baik di tingkat nasional maupun internasional; dan (4) semakin meningkatkan Iman dan Taqwa (IMTAQ) para peneliti dan manusia menurut agama masing-masing.
Selain itu, pengabdian pada masyarakat yang dilakukan oleh PT harus diarahkan untuk membantu masyarakat, pemerintah dan swasta supaya lebih memiliki kompetensi pembangunan serta berusaha (berbisnis), beretos kerja unggul, berakhlak mulia dan beriman kepada Tuhan YME sesuai koridor Pancasila.
“Apabila peran PT dapat diimplementasikan secara benar, baik, dan berkesinambungan; maka Universitas Lambung Mangkurat bisa menjadi a World-Class University dan para alumninya menjadi insan-insan yang sukses serta bahagia hidup di dunia dan akhirat adalah sebuah keniscayaan,” tandas Penasehat Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan-RI 2020 – 2024 itu.
Ke depan, Prof. Rokhmin Dahuri berharap, Universitas Lambung Mangkurat mesti membuka Program Studi baru yang relevan dengan IPTEK dan expertise (keahlian) yang dibutuhkan untuk pembangunan bangsa dalam rangka mewujudkan Indonesia Emas 2045, dan dunia yang lebih baik dan sustainable di abad-21 ini.
Program Studi itu antara lain adalah: (1) Nanoteknologi; (2) Bioteknologi; (3) Material Baru (New Materials); (4) teknologi digital dan infromasi (seperti Big Data, Block Chain, Artificial Intelligence, Cloud Computing, Robotics, dan Metaverse); dan (5) Ilmu, Teknologi, dan Manajemen Lingkungan, terutama yang terkait dengan Perubahan Iklim dan Bencana Alam serta Dampaknya.
Pada saat yang sama, ULM harus terus meningkatkan kualitas sejumlah Fakultas dan Porgram Studi konvensional yang memang selalu dibutuhkan untuk pembangunan ekonomi yang produktif, efisien, berdaya saing, inklusif, ramah lingkungan, dan berkelanjutan (sustainable).
Seperti Fakultas MIPA (matematikan, fisika, kimia, dan biologi); Fakultas Teknik (seperti sipil, elektro, kimia, industry, dan informasi); Fakultas Kedokteran; Fakultas Farmasi; Fakultas Pertanian; Fakultas Kehutanan; Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan; Fakultas Ekonomi; Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial dan Politik; dan Fakultas Hukum.
Dalam kesempatan tersebut, Prof. Rokhmin Dahuri memaparkan, sejatinya Indonesia merupakan sedikit dari negara-negara di dunia yang memiliki potensi (modal dasar) pembangunan yang sangat besar dan lengkap untuk menjadi negara-bangsa yang maju, adil-makmur, dan berdaulat.
Modal dasar pembangunan yang pertama adalah besarnya jumlah penduduk, yang tahun lalu mencapai 276 juta orang (BPS, 2021). Ini merupakan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia setelah China 1,4 milyar orang, India 1,2 milyar orang, dan Amerika Serikat 370 juta jiwa (PBB, 2021). Besarnya jumlah penduduk berarti Indonesia memiliki potensi pasar domestik yang luar biasa besar.
Selain itu, selama kurun waktu 2020 sampai 2032 Indonesia mengalami ‘Bonus Demografi’ (Demographic Devident), dimana jumlah penduduk usia produktif (15 – 64 tahun) melebihi jumlah penduduk berusia tidak produktif (Lampiran-1). Apabila pemerintah mampu mengelola ‘Bonus Demografi’ itu secara cerdas dan benar, meningkatkan kualitas (kapasitas inovasi, etos kerja, dan akhlak) SDM (Sumber Daya Manusia) nya.
“Dan menciptakan lapangan kerja yang mensejahterakan bagi seluruh penduduk usia kerja yang terus bertambah; maka ini bakal meningkatkan produktivitas, daya saing, dan pertumbuhan ekonomi inklusif yang dapat mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia secara adil dan berkelanjutan,” terang Menteri Kelautan dan Perikanan-RI 2001 – 2004 itu.
Dan sebaliknya, kata Prof. Rokhmin Dahuri, bila pemerintah gagal memanfaatkan (to capitalize) ‘Bonus Demografi’ tersebut, maka Indonesia bakal terjebak sebagai negara berpendapatan menengah (middle-income trap), alias akan gagal menjadi bangsa yang maju, adil-makmur, dan berdaulat.
Modal dasar kedua adalah berupa kekayaan SDA (Sumber Daya Alam) yang sangat besar, baik SDA terbarukan (seperti hutan, lahan pertanian, peternakan, perikanan, dan keanekaragam hayati atau biodiversity) maupun SDA tidak terbarukan yang meliputi minyak dan gas, batubara, nikel, tembaga, emas, bauksit, bijih besi, pasir besi, mangan, mineral tanah jarang (rare earth), jenis mineral lainnya, dan bahan tambang.
Beragam jenis SDA itu tersebar di wilayah laut dan daratan, dari Sabang hingga Merauke, dan dari Pulau Miangas sampai P. Rote. Kekayaan SDA yang melimpah ini mestinya menjadikan Indonesia sebagai produsen (supplier) utama berbagai jenis komoditas dan produk di dunia.
Mulai dari produk pangan dan minuman, sandang (tekstil, garmen/pakaian, sepatu, dan jenis pakaian lainnya), perumahan dan bangunan, farmasi dan obat-obatan (kesehatan), teknologi dan manajemen pendidikan, elektronik, otomotif, mesin dan peralatan transportasi, teknologi informasi dan digital, bioteknologi sampai nanoteknologi.
Modal dasar ketiga adalah berupa posisi geopolitik dan geoekonomi yang sangat strategis. Indonesia yang terletak di antara Samudera Pasifik dan Hindia, dan di antara Benua Asia dan Australia, menempatkannya di jantung (hub) Rantai Pasok Global (Global Supply Chain) atau perdagangan global. Dimana, sekitar 45% dari seluruh komoditas, produk, dan barang yang diperdagangkan di dunia, dengan nilai rata-rata 15 trilyun dolar AS per tahun diangkut (ditransportasikan) oleh ribuan kapal melalui ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) dan wilayah laut Indonesia lainnya (UNCTAD, 2018).
Posisi geoekonomi yang sangat strategis ini harusnya dijadikan peluang bagi Indonesia sebagai negara produsen dan pengekspor barang dan jasa (goods and services) utama di dunia, sehingga menghasilkan neraca perdagangan yang positip dan besar secara berkelanjutan.
“Sayangnya, justru sebaliknya, sejak 2010 hingga 2019 neraca perdagangan RI justru negatip terus. Artinya nilai total impor lebih besar ketimbang total nilai ekspor Indonesia. Dengan perkataan lain, bangsa Indonesia lebih sebagai bangsa konsumen dan pengimpor dari pada sebagai prodosen, investor, dan pengekspor,” tandasnya.
Memang, lanjut Prof. Rokhmin Dahuri, tahun 2020 dan 2021 neraca perdagangan RI mengalami surplus. Tetapi, bukan karena meningkatnya aktivitas produksi, manufacturing, dan ekspor, tetapi lebih karena terpangkasnya kegiatan produksi, manufakturing, dan impor akibat pendemi covid-19 dan terganggunya rantai pasok global.
Modal dasar keempat adalah fakta empiris bahwa Indonesia merupakan pusat (‘pasar swalayan’) berbagai jenis bencana alam. Sekitar 70% total gunung berapi yang ada di dunia terdapat di Indonesia. Makanya, Indonesia dikenal sebagai ‘a ring of fire’.
Negara yang sering terkena gempa bumi dan letusan gunung berapi. Potensi bencana tsunami juga sangat besar, karena wilayah Nusantara merupakan pertemuan tiga lempeng bumi utama. Belum lagi bencana hidrometri, seperti banjir, tanah longsor, dan erosi.
Fakta empiris dan sejarah telah membuktikan semua negara-bangsa yang maju dan makmur adalah mereka yang para pemimpin dan rakyatnya punya persepsi sama, yakni adanya tantangan bersama (common challenges) yang mereka hadapi. Sehingga, mereka menjadi bangsa dengan kualitas SDM unggul, etos kerja unggul, dan berakhlak mulia.
“Nah, saya menduga karena alam Indonesia subur – makmur, bak zamrud di khatulistiwa, bak kolam susu, tongkat dan batu jadi tanaman. Dan, orangnya pun pada umumnya sangat baik, saling bantu-membantu, bergotong royong,” ujar Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) itu.
Maka, sambungnya, mayoritas orang Indonesia, baik para pemimpin maupun rakyatnya masih malas, kurang produktif dan inovatif, berbudaya instan, ‘tangan dibawah’, kurang mampu bekerjasama, saling iri dan dengki, dan karakter negatif lainnya. “Jika, dugaan saya ini benar, maka bencana alam sungguh merupakan ‘hikmah’ dari Allah swt, agar bangsa (pemimpin dan rakyat) Indonesia terus meningkatkan kualitas, etos kerja, dan akhlaknya bagi kemajuan, kemakmuran, dan kedaulatan bangsa Indonesia,” katanya.
Meskipun modal dasar yang dimiliki bangsa Indonesia sedemikian besar, tetapi sudah 77 tahun merdeka Indonesia masih sebagai negara berpendapatan menengah bawah (lower-middle income country) dengan Pendapatan Nasional Kotor (Gross National Income) perkapita hanya sebesar 3.870 dolar AS (World Bank, 2021). Lebih dari itu, angka pengannguran, kemiskinan, ketimpangan kaya vs miskin, dan stunting pun masih sangat tinggi.
Menurutnya, banyak faktor yang menyebabkan Indonesia masih sebagai negara berpendapatan menengah bawah, belum sebagai negara maju, sejahtera, dan berdaulat. Mulai belum adanya rencana pembangunan (Road Map, Blue Print) yang komprehensif dan benar serta diimplementasikan secara berkesinambungan sampai dengan masih rendahnya kualitas SDM, etos kerja, dan akhlak bangsa.
“Pada hari ini, saya akan menyampaikan orasi ilmiah dengan tema Peluang dan Tantangan Pendidikan Tinggi di Era Disrupsi Industri 4.0, Perubahan Iklim, dan Dinamika Geopolitik Global yang Kian Dinamis,” kata Ketua Dewan Pakar Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN) itu.
Status Dan Tantangan Pembangunan Indonesia
Sejak merdeka pada 17 Agustus 1945, alhamdulillah bangsa Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami perbaikan hampir di semua bidang kehidupan. Contohnya, kalau pada 1945 – 1955 sekitar 75 persen rakyat Indonesia masih miskin, pada 1970 jumlah rakyat miskin menurun menjadi 60 persen.
Pada 2004 tingkat kemiskinan turun lagi menjadi 16 persen, tahun 2014 mejadi 12 persen, dan tahun 2019 tinggal 9,2 persen. Sayang, karena pandemi Covid-19, pada 2021 tingkat kemiskinan meningkat lagi menjadi 10,2 persen atau sekitar 27,6 juta orang (BPS, 2021). Ukuran ekonomi atau PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia saat ini mencapai 1,1 trilyun dolar AS atau terbesar ke-16 di dunia (World Bank, 2021).
Namun, bila PDB sebesar itu dibagi dengan jumlah penduduk sebanyak 276 juta orang, maka per Maret 2021 Pendapatan Nasional Kotor Indonesia baru mencapai 3.870 dolar AS per kapita. Artinya, hingga saat ini (sudah 77 tahun merdeka), status pembangunan (kemakmuran) Indonesia masih sebagai negara berpendapatan-menengah bawah (lower-middle income country). “Belum sebagai negara makmur (high-income country) dengan GNI per kapita diatas 12.695 dolar AS,” tandasnya.
Sementara itu, negara-negara tetangga seperti Thailand, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura dengan potensi pembangunan yang jauh lebih kecil ketimbang Indonesia, tingkat kemakmurannya sudah jauh melampaui kita bangsa Indonesia. Bahkan Singapura dan Brunei Darussalam sudah dinobatkan sebagai negara makmur, dengan GNI per kapita 54.920 dolar AS dan 32.230 dolar AS.
Tingkat kemajuan bangsa Indonesia, yang diukur atas dasar kapasitas IPTEK (UNESCO, 2014), pun sampai sekarang masih berada di kelas-3 (technology-adaptor country), belum sebagai negara maju (technology-innovator country) atau kelas-1.
Technology-adaptor country adalah negara yang sekitar 70% kebutuhan teknologinya berasal dari impor, bukan dari hasil karya (inovasi) bangsa sendiri. Sebaliknya, negara maju (technology-innovator country) adalah negara yang lebih dari 70% kebutuhan teknologinya dipenuhi oleh hasil karya bangsanya sendiri, bukan dari impor.
Indonesia pun dihadapkan pada sejumlah tantangan dan permasalahan pembangunan. Mulai dari masih tingginya angka kemiskinan, ketimpangan kelompok penduduk kaya vs miskin, disparitas pembangunan antar wilayah, deindustrialisasi, kerusakan SDA (Sumber Daya Alam) dan lingkungan, sampai stunting, gizi buruk, dan rendahnya IPM (Indeks Pembangunan Manusia).
Dengan garis kemiskinan sebesar Rp 472.525/orang/bulan, per Maret 2021 jumlah penduduk miskin sebesar 27 juta orang atau 10,2% jumlah penduduk Indonesia (BPS, 2021). Tetapi, atas dasar garis kemiskinan internasional sebesar 2 dolar AS/orang/hari atau 60 dolar AS (Rp 840.000)/orang/bulan, jumlah orang miskin Indonesia mencapai 100 juta orang atau 37% jumlah penduduk (Bank Dunia, 2021).
Dalam hal, terangnya, ketimpangan ekonomi (penduduk kaya vs miskin), Indonesia merupakan negara terburuk ketiga di dunia, dimana 1% (satu persen) penduduk terkayanya memiliki total kekayaan sama dengan 45% total kekayaan negara. Yang terburuk adalah Rusia, dimana satu persen orang terkayanya memiliki total kekayaan sama dengan 58,2% kekayaan negara. Disusul Thailand, sekitar 54,6% (Oxfam International, 2021).
Kekayaan 4 orang terkaya Indonesia (US$ 25 M = Rp 335 T) sama dengan total kekayaan 100 juta orang termiskin (40% penduduk) Indonesia (Oxfam International, 2017). Sekitar 0,2% penduduk terkaya Indonesia menguasai 66% total luas lahan nasional (KPA, 2015). “Institute for Global Justice menyebutkan, sekitar 175 juta ha (93% luas daratan Indonesia) dikuasai oleh para konglomerat (korporasi) nasional dan asing,” ungkapnya.
Tak kalah rumitnya, lanjut Prof. Rokhmin Dahuri, permasalahan bangsa lainnya adalah disparitas pembangunan antar wilayah. Pulau Jawa yang luasnya hanya 5,5% total luas lahan Indonesia dihuni oleh sekitar 55% total penduduk Indonesia, dan menyumbangkan sekitar 59% terhadap PDB (Produk Domestik Bruto).
Akibatnya, Pulau Jawa mengalami beban ekologis yang sangat berat, dengan luas tutupan hutan kurang dari 15% total luas lahannya. Padahal, untuk suatu pulau bisa berkelanjutan (sustainable), luas tutupan hutannya minimal 30% total luas lahnnya (Odum, 1976; Clark, 1989). “Maka, jangan heran, di saat musim penghujan P. Jawa dilanda banjir dan tanah longsor dimana-mana,” katanya.
Sementara pada musim kemarau, P. Jawa mengalami kekeringan (deficit) air yang semakin parah. Dalam pada itu, potensi pembangunan berupa SDA dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) yang begitu melimpah, tidak dimanfaatkan secara optimal atau dicuri pihak asing. Implikasi lainnya adalah biaya logistik Indonesia menjadi salah satu yang termahal di dunia, sekitar 24% PDB (UNCTAD, 2021).
Ini menjadi salah satu penyebab rendahnya daya saing ekonomi Indonesia. Sejak krisis multidimensi 1997 – 1998, Indonesia mengalami deindustrialisasi, yakni suatu kondisi perekonomian negara, dimana kontribusi sektor manufakturing (pengolahan) nya sudah menurun, tetapi GNI per kapitanya belum mencapai 12.695 dolar AS (status negara makmur). Pada 1996 kontirbusi sektor manufacturing terhadap PDB Indonesia sudah mencapai 29%, tapi tahun 2020 kontribusinya hanya sebesar 19%.
“Padahal, seperti sudah saya sebutkan diatas, GNI perkapita Indonesia tahun lalu hanya 3.870 dolar AS,” sebut Member of International Scientific Advisory Board of Center for Coastal and Ocean Development, University of Bremen, Germany itu.
Yang sangat mencemaskan, sambungnya, adalah bahwa 30% anak-anak kita mengalami stunting, 17,7% bergizi buruk, dan 10,2% berbadan kurus akibat kurang makanan bergizi (Kemenkes dan BKKBN, 2022). Apabila masalah krusial ini tidak segera diatasi, maka generasi penerus kita akan menjadi generasi yang lemah fisiknya dan rendah kecerdasannya, a lost generation.
Resultante dari kemiskinan, ketimpangan ekonomi, stunting, dan gizi buruk adalah IPM Indonesia yang baru mencapai 72 tahun lalu. Padahal, sebuah bangsa bisa dinobatkan sebagai bangsa maju dan makmur, bila IPM nya lebih besar dari 80 (UNDP, 2021).
Ironisnya, dengan status masih sebagai negara berpendapatan menengah bawah, tingginya angka kemiskinan, besarnya angka stunting, gizi buruk, dan rendahnya IPM; berbagai jenis SDA seperti minyak dan gas, batubara, tembaga, dan hutan sudah banyak yang mengalami overeksploitasi atau terkuras habis. Indonesia pun merupakan salah satu negara yang mengalami kerusakan SDA dan lingkungan terparah di dunia (UNEP, WWF; 2020).
Banyak faktor yang menyebabkan Indonesia sebagai negara yang kaya SDA, tetapi belum mampu keluar dari middle-income trap dan menjadi negara maju, adil-makmur, dan berdaulat. Pada tataran praksis, penyebab itu karena kita belum punya Rencana Pembangunan Nasional yang holistik, tepat, dan benar serta diimplementasikan secara berkesinambungan.
Sejak awal era Reformasi, setiap ganti presiden, Menteri, gubernur, dan bupati/walikota; kebijakan dan program nya berganti pula. Jadi, kita ibarat membangun ‘istana pasir’ atau ‘tarian poco-poco’. Tidak ada kemajuan pembangunan yang akumulatif dan berkelanjutan. Etos kerja, produktivitas, daya inovasi, dan akhlak kita sebagai bangsa pun tergolong rendah.
“Dan, kita mengalami defisit pemimpin bangsa (di Lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan swasta) yang capable (berkemampuan), kompeten, memiliki IMTAQ (Iman dan Taqwa) yang kokoh, berkahlak mulia, dan negarawan. Dewasa ini, sebagian besar pemimpin bangsa sangat transaksional, melakukan NKK (Nepotisme, Kolusi, dan Korupsi), dan hanya mementingkan diri, keluarga atau kelompok nya,” terangnya.
Namun, akar masalah (root cause) dari ketertinggalan bangsa kita adalah karena sejak awal Orde Baru, kita menganut sistem (paradigma) Kapitalisme (Mubyarto, 2004; Sritua Arief dan Rizal Ramli dalam Ridwan, 2014). Bukan Pancasila. Parahnya, kita kurang atau tidak mengambil sisi-sisi positip dari Kapitalisme, seperti kerja keras, disiplin, mencintai dan menguasai IPTEK serta inovasi.
Tetapi, justru kita praktekan nilai-nilai Kapitalisme yang negatip, seperti rakus, hedonis, hanya mengejar untung sebesar-besarnya (profit maximization), mengeksploitasi yang lain (terutama yang lemah), dan tidak mempercayai kehidupan akhirat. Sejak awal Orde Baru sampai sekarang, perekonomian sebagian besar berbasis pada eksploitasi SDA, ekspor komoditas mentah, buruh murah, dan investasi asing.
Akibatnya, keuntungan ekonomi (economic rent) dari berbagai kegiatan pembangunan, investasi, dan bisnis kebanyakan lari ke Jakarta atau negara-negara asal investor asing (regional leakages). Negara dan rakyat Indonesia hanya menikmati sebagain kecil keuntungan ekonomi itu atau ‘remah-remah’ nya saja.
Key Global Trends Yang Mempengaruhi Kehidupan Umat Manusia Di Abad-21
Pada prinsipnya ada 5 kecenderungan global (key global trends) yang mempengaruhi kehidupan dan peradaban manusia di abad-21, yakni: (1) jumlah penduduk dunia yang terus bertambah; (2) Industri 4.0 (Revolusi Industri Keempat); (3) Perubahan Iklim Global (Global Climate Change); (4) Dinamika Geopolitik; (5) Era Post-Truth.
Pertama adalah jumlah penduduk dunia yang terus bertambah. Pada 2011 jumlah penduduk dunia sebanyak 7 milyar orang, kini sekitar 7,9 milyar orang, tahun 2050 diperkirakan akan menjadi 9,7 milyar, dan pada 2100 akan mencapai 10,9 milyar jiwa (PBB, 2021).
Implikasinya tentu akan meningkatkan kebutuhan (demand) manusia akan bahan pangan, sandang, material untuk perumahan dan bangunan lainnya, obat-obatan (farmasi), jasa pelayanan kesehatan, jasa pelayanan pendidikan, prasarana dan sarana transportasi dan komunikasi, jasa rekreasi dan pariwisata, dan kebutuhan manusia lainnya.
Implikasi selanjutnya adalah bahwa magnitude dan laju eksplorasi serta eksploitasi SDA dan jasa-jasa lingkungan (envrionmental services) baik di wilayah (ekosistem) daratan, lautan maupun udara akan semakin meningkat.
Kedua, era Industri 4.0 (Revolusi Industri Keempat) yang melahirkan inovasi teknologi dan non- teknologi baru yang mengakibatkan disrupsi hampir di semua sektor pembangunan dan aspek kehidupan manusia. Jenis-jenis teknologi baru yang lahir dan berubah super cepat di era Industri 4.0 berbasis pada kombinasi teknologi digital, fisika, material baru, dan biologi.
Antara lain adalah IoT (Internet of Things), AI (Artificial Intelligence), Blockchain, Robotics, Cloud Computing, Augmented Reality dan Virtual Reality (Metaverse), Big Data, Biotechnology, dan Nannotechnology (Schwab, 2016). Namun, hingga saat ini perkembangan industri teknologi digital masih bergerak pada sektor jasa dan distribusi saja (e-commerce dan e-government).
“Padahal seharusnya pemanfaatan berbagai teknologi industry-4.0 dapat meningkatkan dan mengefektifkan sektor eksplorasi, produksi, dan pengolahan (manufacturing) SDA untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia yang terus meningkat secara berkelanjutan,” terang Ketua Dewan Pakar Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia (ADKASI) itu.
Ketiga, Perubahan Iklim Global (Global Climate Change) beserta segenap dampak negatipnya seperti gelombang panas, cuaca ekstrem, naiknya permukaan laut, pemasaman laut (ocean acidification), banjir, kebakaran lahan dan hutan, dan peledakan wabah penyakit; bukan hanya mengurangi kemampuan ekosistem bumi untuk menghasilkan bahan pangan, farmasi, energi, dan SDA lainnya. Tetapi, juga akan membuat kondisi lingkungan hidup yang tidak nyaman bahkan dapat mematikan kehidupan manusia (Sach, 2015; Al Gore, 2017).
Keempat, ketegangan geopolitik yang menjurus ke perang fisik (militer) seperti yang terjadi antara Rusia vs Ukraina. Ketegangan geopolitik yang lebih besar sebenarnya adalah antara AS serta para sekutunya (seperti Jepang, Australia, Inggris, dan Uni Eropa) vs China serta sekutunya (seperti Rusia, Korea Utara, dan Iran). Selain karena faktor ideologi, penyebab ketegangan geopolitik dan perang adalah perebutan wilayah dan SDA (resource war).
Sejumlah kawasan sangat rawan terjadinya perang, sperti Timur Tengah, Afrika, Laut China Selatan, Semenanjung Korea, dan Asia Timur. Invasi Rusia terhadap Ukraina telah memicu kenaikan harga pangan dan energi, inflasi yang tinggi, dan resesi ekonomi global. Akibat dari terganggunya produksi pupuk, pangan, dan energi serta rantai pasok global.
Kelima, Post-truth atau Paska Kebenaran adalah kondisi di mana fakta (kebenaran) tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal (Hartono, 2018). Post-truth dianggap sebagai fenomena disrupsi dalam dunia politik yang secara besar-besaran diintensifkan oleh teknologi digital secara masif menjadi suatu prahara (Wera, 2020).
Pada era post-truth sekarang ini bangsa Indonesia perlu bersikap waspada karena hoaks politik dapat melemahkan ketahanan nasional, bahkan memecah belah NKRI, sehingga mengganggu proses pembangunan nasional yang sedang berjalan (Amilin, 2019).
Kelima kecenderungan global diatas mengakibatkan kehidupan dunia bersifat VUCA (Volatile, Uncertain, Complex, and Ambiguous), bergejolak, tidak menentu, rumit, dan membingungkan (Radjou and Prabhu, 2015). Oleh sebab itu, sistem dan lembaga Pendidikan Tinggi harus mampu mendesain dan memberikan kapasitas kepada para mahasiswa nya dan bangsa Indonesia yang dapat mengelola atau mengatasi fenomena VUCA tersebut.
Melalui kegiatan Tri Darma Perguruan Tinggi nya: Pengajaran/Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian Kepada Masyarakat. Kapasitas (knowledge, skills, expertise, dan attitude) yang dibutuhkan untuk mengarungi kehidupan di era VUCA dengan sukses dan bahagia adalah: kreativitas, inovatif, kemampuan beradaptasi, daya lenting (resillience), agility (kegesitan), kolaborasi (teamwork), positive thinking, entrepreneurship, dan iman dan taqwa menurut agama kita masing-masing.
Peta Jalan Pembangunan Bangsa Menuju Indonesia Emas 2045
Dalam penjelasnnya, Prof. Rokhmin Dahuri mengutip penelitian Bappenas, bahwa untuk mewujudkan Indonesia Emas pada 2045 dengan GNI per kapita sekitar 23.000 dolar AS dan PDB sebesar 7 trilyun dolar AS (ekonomi terbesar kelima di dunia)), Indonesia seyogyanya mengimplementasikan Peta Jalan Pembangunan Bangsa.
Ada 10 IKU (Indikator Kinerja Utama, Key Performance Indicators) yang menggambarkan Indonesia Emas pada 2045. Pertama adalah bahwa pada 2045 GNI perkapita mencapai 23.000 dolar AS. Target ini dapat tercapai, bila laju pertumbuhan ekonomi dari 2022 – 2045 rata-rata sebesar 6,5% per tahun (Bappenas, 2019). Kedua, kapasitas teknologi mencapai kelas-1 (technology- innovator country).
Ketiga, seluruh rakyat Indonesia hidup sejahtera alias tidak ada yang miskin (zero poverty), dengan garis kemiskinan menurut standar internasional sebesar 2 dolar AS/orang/hari (Bank Dunia, 2021). Keempat, seluruh penduduk usia kerja (15 – 64 tahun) harus dapat bekerja (punya matapencaharian) dengan pendapatan yang mensejahterakan diri dan keluarga nya (zero poverty).
Kelima, pemerataan kesejahteraan harus adil, dengan koefisien GINI lebih kecil dari 0,3. Keenam, kedaulatan (ketahanan) pangan, energi, farmasi, dan air harus kuat. Ketujuh, IPM mesti diatas 80. Kedelapan, kualitas lingkungan hidup tergolong baik sampai sangat baik. Kesembilan, Indonesia harus berdaulat secara politik. Kesepuluh, pembangunan sosial- ekonomi harus berkelanjutan (sustainable).
Untuk mewujudkan Indonesia Emas pada 2045 dengan 10 IKU nya, di bidang ekonomi, kita harus mengimplementasikan tujuh kebijakan pembangunan ekonomi: (1) pemulihan ekonomi dari pandemi covid-19; (2) transformasi struktural ekonomi; (3) mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia secara berkeadilan; (4) peningkatan kedaulatan/ketahanan pangan, energi, dan farmasi; (5) penguatan dan pengembangan infrastruktur dan konektivitas digital;
(6) penciptaan iklim investasi dan kemudahan berbisnis (ease of doing business) yang kondusif, dan atraktif; dan (7) kebijakan politik-ekonomi yang kondusif bagi pembangunan ekonomi yang produktif, efisien, berdaya saing, inklusif, ramah lingkungan, dan berkelanjutan.
Karena transformasi struktural ekonomi merupakan prasyarat utama bagi sebuah negara-bangsa untuk dapat lulus dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle-income trap), dan kemudian menjadi negara maju, sejahtera, dan berdaulat. “Maka, saya ingin sedikit mengelaborasi tentang proses transformasi struktural ekonomi,” ujar Ketua Dewan Pakar Asosiasi Pemerintah Daerah Pesisir dan Kepulauan Seluruh Indonesia (ASPEKSINDO) itu.
Menurut United Nations, jelas Prof. Rokhmin Dahuri,“transformasi ekonomi struktural melibatkan realokasi faktor-faktor produktif dari pertanian tradisional ke pertanian modern, industri manufaktur, dan jasa; dan realokasi faktor-faktor produktif tersebut di antara kegiatan sektor manufaktur dan jasa. Ini juga berarti menggeser sumber daya (faktor produktif) dari sektor dengan produktivitas rendah ke tinggi. Hal ini juga terkait dengan kemampuan bangsa untuk mendiversifikasi struktur produksi nasional yaitu: untuk menghasilkan kegiatan ekonomi baru, memperkuat keterkaitan ekonomi dalam negeri, dan membangun kemampuan teknologi dan inovasi dalam negeri”.
Mengacu pada definisi dan pengertian tentang transformasi struktural ekonomi itu, maka untuk konteks Indonesia, transformasi struktural ekonomi mencakup enam elemen (proses) berikut. Pertama, kebijakan dan program pembangunan ekonomi harus segera diubah, dari dominasi kegiatan eksploitasi SDA dan ekspor komoditas (sektor primer) dan buruh murah, ke dominasi sektor manufaktur (sektor sekunder) dan sektor jasa (sektor tersier) yang produktif, bernilai tambah dan berdaya saing, inklusif, mensejahterakan, dan berkelanjutan (sustainable).
Kedua, dari dominasi sektor impor dan konsumsi ke dominasi sektor investasi, produksi, dan ekspor. Ketiga, modernisasi sektor primer (kelautan dan perikanan, pertanian, kehutanan, dan ESDM) secara produktif, efisien, berdaya saing, inklusif, ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Keempat, revitalisasi industri manufakturing yang unggul sejak masa Orde Baru: (1) Makanan Minuman, (2) TPT (Tekstil dan Produk Tekstil), (3) kayu dan produk kayu, (4) pulp and paper, (5) Elektronik, (6) Otomotif, dan lainnya. Kelima, pengembangan industri manufakturing baru, seperti mobil listrik, EBT (Energi Baru Terbarukan), Semikonduktor, Baterai, Bioteknologi, Nanoteknologi, Kemaritiman, dan Ekonomi Kreatif.
Keenam, kelima proses pembangunan ekonomi tersebut mesti berbasis pada Ekonomi Digital (Industry 4.0), Ekonomi Hijau (Green Economy), dan Pancasila. Penerapan inovasi-inovasi teknologi era Industri 4.0 untuk memastikan bahwa seluruh sektor ekonomi dan unit usaha akan lebih produktif, efisien, berdaya saing, dan berkelanjutan.
Implementasi Ekonomi Hijau untuk memastikan bahwa seluruh aktivitas ekonomi dan industri berlangsung tanpa membuang limbah (zero-waste), tanpa mengemisikan CO2 dan gas rumah kaca lain (zero-emission), laju pemanfaatan SDA tidak melampaui kapasitas pulih (renewable capacity) nya, dan laju pembangunana di suatu wilayah tidak melebihi daya dukung (carrying capacity) lingkungan wilayah tersebut.
Dalam pada itu, penerapan nilai-nilai Pancasila untuk menjamin bahwa pembangunan ekonomi akan mampu mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia secara berkeadilan, damai, dan berkelanjutan. Selain itu, dengan mengamalkan nilai-nilai Pancasila menurut agama masing-masing juga diyakini bakal mampu membentuk etos kerja unggul, akhlak mulia, dan iman-taqwa seluruh rakyat Indonesia.
Di bidang lingkungan hidup, pertama adalah bahwa RTRW harus diimplementasikan secara serius dan konsisten di tingkat nasional, provinsi hingga ke Kabupaten/Kota. Kedua, pemanfaatan SDA terbarukan (seperti hutan, perikanan, dan lahan pertanian) harus dikerjakan secara optimal, tidak melampaui potensi produksi lestarinya, dan ramah lingkungan.
Ketiga, eksploitasi SDA tidak terbarukan (seperi minyak, gas, batubara, mineral, dan bahan tambang) mesti dilakukan secara ramah lingkungan, didahului dengan studi AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan), pemantauan lingkungan, dan pengelolaan lingkungan. Pastikan bahwa masyarakat setempat (lokal) dilibatkan sejak awal perencanaan proyek pembangunan, dapat bekerja di proyek pembangunan, dan mendapatkan keuntungan (berkah) langsung.
Sebagian keuntungan harus dialokasikan untuk rehabilitasi lingkungan yang rusak, dan pengembangan berbagai kegiatan usaha ekonomi yang produktif, efisien, berdaya saing, dan berkelanjutan, sebelum masa tambang berakhir.
Keempat, pengendalian pencemaran dengan tidak membuang limbah B3 (Bahan Berbahaya Beracun) ke lingkungan (seperti lahan darat, danau, sungai, dan laut). Limbah B3 harus diolah (treated) dahulu di instalasi pengolahan limbah B3, sampai netral (tidak berbahaya).
Untuk limbah non-B3 boleh dibuang ke lingkungan, tetapi jumlah (laju) pembuangannya tidak melebihi kapasitas asimilasi lingkungan alam untuk menetralisirnya. Kelima, konservasi keanekaragaman hayati (biodiversity) baik pada tingkat gen, spesies maupun ekosistem.
Keenam, dalam mengubah (memodifikasi) bentang alam (landscape atau seascape), infrastruktur, gedung, kawasan pemukiman, kawasan industri. kawasan pertanian, dan ekosistem buatan manusia (man-made ecosystems) lainnya; kita mesti mengerjakannya berdasarkan prinsip dan prosedur ‘design and construction with nature’ atau sesuai dengan kondisi, struktur, karakteristik, dan dinamika lingkungan alam setempat. Ketujuh, mitigasi dan adaptasi terhadap Perubahan Iklim Global, tsunami, gempa bumi, banjir, dan bencana alam lainnya.
Sementara itu, di bidang sosial-budaya, bebernya, kita mesti meningkatkan kinerja sektor Pendidikan supaya semua anak, remaja, dan orang dewasa mampu menyelesaikan pendidikannya, dari jenjang PAUD, SD, SLTP, SLTA, Perguruan Tinggi dengan kualitas Pendidikan yang terbaik, a world-class education. Struktur tenaga kerja Indonesia yang saat ini terdiri dari 55% lulusan SLTP (18%) dan lulusan SD atau tidak tamat SD (37%), ke depan melalui perbaikan sektor Pendidikan, semua angkatan kerja minimal lulusan SLTP, seperti halnya di negara-negara maju dan makmur.
Angka Partisipasi Kasar Pendidikan Tinggi yang saat ini baru mencapai 36,3% pun bisa meningkat seperti di negara-negara maju dan makmur diatas 60%. Kinerja sektor Kesehatan mulai sekarang juga harus disempurnakan untuk menurunkan angka stunting anak-anak kita dari sekarang 30% menjadi 14% pada 2024, gizi buruk dari 17,7% menjadi 10%, dan berbadan kurus dari 10,2% menjadi 5%.
“Kapasitas riset dan inovasi mulai sekarang juga harus ditingkatkan hingga seperti di negara-negara maju dan makmur. Pasalnya, kapasitas riset dan inovasi sangat menentukan produktivitas dan daya saing suatu bangsa,” ujarnya.
Terakhir adalah perbaikan etos kerja dan akhlak bangsa melalui Pendidikan agama, budipekerti, contoh teladan dari orang tua dan tokoh masyarakat, dan penciptaan sistem sosial yang kondusif bagi tumbuh kembangnya insan-insan Indonesia yang beretos kerja unggul, berkahlak mulia, dan beriman dan taqwa kepada Tuhan YME menurut agama masing-masing.
Di bidang politik-hukum-keamanan, pertama yang mesti dibenahi adalah tata kelola pemerintahan yang hingga kini belum mencapai kinerja sebagaimana di negara-negara maju dan makmur. Praktik Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN) bukannya membaik, malah kian merajalela.
Maka, prinsip-prinsip good governance (tata kelola pemerintahan yang baik) termasuk transparansi, akuntabilitas, profesionalisme, dan melayani publik (rakyat) mesti dilaksanakan di setiap unit kerja pemerintah, dari tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota sampai desa.
Hukum sungguh-sungguh harus ditegakkan secara tegas, keras, adil, tanpa pandang bulu, dan berwibawa. Jaminan rasa aman dan keadilan harus benar-benar hadir di tengah kehidupan masyarakat kita. Sistem sosial budaya dan polhukam harus menciptakan masyarakat meritokrasi, yakni sistem kehidupan sosial yang memberikan penghargaan dan kepercayaan kepada setiap warga negara yang kompeten, beretos kerja unggul, berakhlak mulia, dan berprestasi untuk menduduki jabatan tinggi dan terhormat di pemerintahan, perusahaan swasta, dan Lembaga-lembaga lainnya.
Sebaliknya, bagi warga negara yang pemalas, etos kerjanya rendah, akhlaknya buruk, dan bikin masalah melulu mesti diberi hukuman (punishment), disinsentif, dan efek jera. Selanjutnya, pemerintah berkewajiban untuk memperbaiki kompetensi, etos kerja, dan akhlak dari semua warga negara yang terkena masalah ini. Dengan demikian, generasi mendatang akan berusaha untuk menjadi warga negara yang baik dan berprestasi agar bisa hidup sukses, terhormat, dan bahagia.
Stop praktik Pilkada, Pileg, Pilpres, Dan Pemilu yang selama ini sangat dipenuhi oleh politik uang (money politics), yang mengakibatkan biaya sangat tinggi. Sehingga, ujungnya lebih dari 70 persen Kepala Daerah terjerat kasus korupsi. Yang lebih mencemaskan, di tingkat nasional, kini negara dikuasai oleh oligarki (kerjasama elit politik dan konglomerat jahat) untuk merampok kekayaan negara dan ‘menjual negara’ ke pihak asing.
“Kini saatnya kita menyudahi demokrasi liberal dengan ‘one man, one vote’ nya. Dan, kemudian menerapkan demokrasi yang berlandaskan pada hikmah dan kebijksanaan melalui permusywaratan/perwakilan (Sila-4 Pancasila),” tegasnya.
Kekuatan pertahanan nasional yang meliputi SDM, alusista, infrastruktur, dan anggaran harus ditingkatkan supaya berwibawa dan disegani oleh bangsa- bangsa lain di dunia. Dengan kekuatan ekonomi, IPTEK, dan Hankam yang tangguh, berkelaas dunia; kita akan mampu melaksanakan politik luar negeri yang bebas dan aktif, sekaligus turut menjaga perdamaian dunia sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945. “Semua kebijakan dan program pembangunan di bidang ekonomi, lingkungan hidup, sosial-budaya, dan polhukam diatas haruslah berdasarkan pada Pancasila, sebagai pengganti sistem Kapitalisme,” katanya.
Peluang Dan Tantangan Pendidikan Tinggi Di Era Disrupsi Industri 4.0
Lima key global trends yang diuraiakan, kata Prof. Rokhmin Dahuri, memberikanimplikasi utama bagi pembangunan ekonomi dan kehidupan bangsa-bangsa di dunia. Pertama adalah bahwa permintaan (demand) manusia terhadap berbagai jenis SDA (komoditas) beserta produk olahannya dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) seperti ruang kehidupan dan pembangunan, destinasi wisata, kapasitas asimilasi ekosistem alam untuk menetralisir limbah, siklus hidrologi, siklus geokimia, dan kapasitas atmosfer untuk menetralisir emisi CO2 dan gas rumah kaca lainnya bakal terus meningkat.
Kedua, sementara itu akibat Perubahan Iklim Global (Global Warming), pencemaran (pollution), terkikisnya keanekaragaman hayati (biodiversity loss) dan kerusakan lingkungan lainnya; kapasitas bumi dalam menyediakan (memproduksi) SDA, komoditas, dan jasa-jasa lingkungan telah dan akan semakin menurun.
Ketiga, ketegangan geopolitik yang semakin memanas seperti perang Rusia vs. Ukraina, dan ketegangan Amerika Serikat vs China telah mengakibatkan produksi bahan pangan, energi, dan rantai pasok global sangat terganggu. Sehingga, telah menyebabkan krisis pangan, energi, dan krisis ekonomi global. Keempat, era post truth diwarnai dengan pudarnya nilai-nilai akademis, keilmuan, keimanan, dan akhlak mulia.
Keahlian dan kepakaran digantikan oleh mereka yang hanya tahu tentang ilmu dan teknologi dari ‘google’, Wikipedia, dan media sosial lainnya. Kebohongan dan pencitraan yang didukung oleh publikasi di berbagai media secara terencana, terstruktur, dan masif mengalahkan kebenaran dan keaslian. Implikasinya kemiskinan, ketimpangan sosial-ekonomi, kerusakan lingkungan, dan pemanasan global bisa semakin parah.
Kelima, berbagai macam teknologi yang lahir di era Industri 4.0 ini berpeluang untuk memperbaiki (memecahkan) sejumlah permasalahan pembangunan dan kemanusiaan sebagaimana saya urairakn diatas. Atau, sebaliknya malah akan semakin memperburuk kehidupan manusia dan lingkungan bumi kita.
Apabila penerapan segenap teknologi Industri 4.0 dilaksanakan oleh manusia – manusia yang beriman dan taqwa kepada Tuhan YME (menurut agama masing-masing) dan akhlak mulia, maka Industri 4.0 diyakini akan dapat mengatasi segenap permasalahan pembangunan dan kemanusiaan diatas.
“Sebaliknya, jika manusia-manusia nya tidak beriman kepada Tuhan YME dan akhirat, bersifat kapitalistik, hedonis, egois, dan jahat; maka bumi bakan semakin hancur, pembangunan ekonomi tidak akan berkelanjutan, dan kehidupan manusia pun akan jauh dari rasa aman, damai, dan bahagia,” tuturnya.
Maka, peluang Perguruan Tinggi untuk menjadi pemenang (winner) di era disrupsi Industri 4.0, Perubahan Iklim Global, dan Dinamika Geopolitik Global yang kian dinamis terletak pada kemampuannya untuk menghasilkan SDM unggul, yakni yang: kompeten pada bidang ilmunya, beretos kerja unggul, berakhlak mulia, dan beriman serta taqwa kepada Tuhan YME menurut agama masing-masing.
Selain itu, melalui risetnya dapat menghasilkan invensi dan inovasi teknologi dan non-teknologi yang dibutuhkan oleh pembangunan dan kehidupan manusia di abad-21 ini. “Jika, Perguruan Tinggi tidak mampu menghasilkan SDM unggul, dan inevensi serta inovasi seperti itu, maka ia akan menjadi pecundang (loser),” pungkas Duta Besar Kehormatan Kepulauan Jeju dan Kota Metropolitan Busan, Korea Selatan itu.