Pj Gubernur Aceh, Achmad Marzuki saat bertemu dengan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia di kantor Kementerian Investasi di Jakarta, Senin, 22 Agustus 2022. Humas BPPA
Berbagai aksi demontrasi masyarakat dan mahasiswa Gayo, menolak kehadiran PT. Linge Miniral Resorce (PT. LMR), tak menyurutkan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia, mencabut permanen izin perusahaan tambang milik keluarga Bakrie ini. Berdalih menarik investasi ke Tanah Rencong, benarkah Pj Gubernur Aceh Achmad Marzuki ikut melobi agar izin PT. LMR diaktifkan kembali?
Pemerintah tidak memandang siapa pemilik IUP yang dicabut tersebut dan semuanya berlaku sesuai aturan.
Bahlil Lahadalia Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Republik Indonesia
ENTAH kebetulan atau memang sudah direncanakan sejak awal. Yang jelas, persis tujuh hari setelah Penjabat (Pj) Gubernur Aceh, Achmad Marzuki bertemu Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Republik Indonesia Bahlil Lahadalia di Jakarta. Pencabutan izin PT. Linge Miniral Resorce (PT. LMR) dibatalkan alias dihidupkan kembali oleh Bahlil.
Sebelumnya atau 4 April 2022, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia, telah mencabut izin PT. LMR.
Ini bersamaan dengan pencabutan 2.078 Izin Usaha Pertambangan (IUP) berlaku efektif per Senin, 10 Januari 2022.
Penegasan itu diungkapkan Bahlil saat konferensi pers, Jumat, 7 Januari 2022 di Jakarta. Dia mengaku, sudah berkoordinasi dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Bahlil menyebut, pemerintah tidak memandang siapa pemilik IUP yang dicabut tersebut dan semuanya berlaku sesuai aturan.
“Pencabutan izin tanpa lihat ini punya siapa. Kita tertib dengan aturan. Saya tahu sahabat-sahabat saya banyak, mungkin juga di grup perusahaan dulu saya kerja ada, tapi aturan harus kita tegakkan, aturan berlaku untuk seluruh orang, tidak untuk satu kelompok tertentu,” tuturnya.
Tentu, tak ada yang salah dari pernyataan Bahlil. Hanya saja menjadi rancu ketika dia membatalkan sendiri putusannya terhadap PT. LMR, tanpa ada penjelasan detail kepada masyarakat, khususnya di dataran tinggi Gayo, Kabupaten Aceh Tengah.
Sebelumnya atau 22 Agustus 2022. Penjabat (Pj) Aceh Achmad Marzuki, memang ada melakukan pertemuan dengan Bahlil Lahadalia, di Kantor Kementerian Investasi, Jakarta. Salah satu agenda utama adalah, mendorong tumbuhnya investasi di Aceh.
Nah, lagi lagi, entah ada hubungannya atau tidak, yang pasti tak lama kemudian atau 29 Agustus 2022. Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia, membatalkan status pencabutan izin PT. LMR. Artinya, PT. LMR bisa beroperasi kembali.
Keputusan yang dinilai sepihak ini pun kemudian menebar berbagai praduga. Terutama, soal hubungan keluarga Bakrie dengan Achmad Marzuki.
Dugaan itu menjadi sahih. Sebab, Rabu, 31 Agustus 2022. Sekira pukul 13.30 WIB, satu pesawat tipe Gulfstream IV-SP, Reg; PK-TWY, nomor penerbangan PKTWY, milik PT. Transwisata Prima Aviation, mendarat mulus di Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda, Blang Bintang, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh.
Pesawat yang dipiloti Capten Susetyo Harijanto dengan misi private flight (penerbangan pribadi) ini, bergerak dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Cengkareng, Provinsi Banten, membawa 6 penumpang.
Sumber media ini di Bandara Sultan Iskandar Muda ketika itu mengungkap. Pesawat dengan 4 orang crew tersebut, kedatangannya tidak terjadwal atau domestic unschedule flight.
Begitu tiba di Tanah Rencong, enam penumpang terindetifikasi yaitu, Indra Usmansjah Bakrie (pengusaha), Zah Dharma Rangkuti, Tonie Harsono Sudrajat, Ir. Sujono, Andhika Ikhsan Ibnu P dan Wijang Wibowo. Mereka langsung menuju Pendopo Gubernur Aceh di Kota Banda Aceh.
Disebut-sebut, mereka dari perusahaan berbendera PT. Linge Mineral Resources, satu perusahaan investasi proyek tambang emas di Kabupaten Aceh Tengah, Provinsi Aceh.
Kabarnya, mereka melakukan pertemuan tertutup dengan Penjabat (Pj) Gubernur Aceh Achmad Marzuki.
“Ya tertutup. Kabarnya soal izin tambang di Linge, Kabupaten Aceh Tengah dan prospek usaha tambang lainnya di Aceh,” ungkap sumber yang juga orang dekat Achmad Marzuki.
Sekilas, memang tak ada yang aneh dari kehadiran keluarga Abu Rizal Bakrie ke Bumi Serambi Mekah.
Ini sejalan dengan terbitnya regulasi atau keputusan tegas Menteri Investasi/Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia, yang mencabut separuh Izin Usaha Pertambangan (IUP).
Target sebelumnya 2.078 IUP. Dan, pencabutan IUP tersebut telah selesai pada bulan Mei 2022 lalu.
Kepada media pers di Jakarta ketika itu, Bahlil menjelaskan. Saat ini IUP yang telah dicabut mencapai 1.118 atau 53% dari rekomendasi IUP dari Kementerian ESDM.
Bahlil menjelaskan, ada empat kriteria IUP yang dicabut pihaknya dari pengusaha. Pertama, dipakai untuk digadaikan ke bank.
Kedua, diambil lalu di perjual-belikan. Ketiga, IUP ditaruh pada pasar keuangan tanpa implementasi di lapangan, hingga IUP ditahan sampai nanti baru dikelola.
Itu sebabnya tegas Bahlil, proses pencabutan IUP tidak pandang bulu kepada semua perusahaan. Jika memenuhi syarat pencabutan langsung diproses Satgas Percepatan Investasi.
“Sekali lagi ini kami melakukan proses pencabutan ngak pandang buluh. Bahkan ada di grup mantan perusahaan saya itu tercabut. Jujur saja saya ngak baca nama-nama perusahaan yang dicabut supaya ngak ada conflict of interest,” katanya.
“Ini adalah tindakan yang perlakuannya sama kepada siapa pun. Salah satu IUP dari Ketua HIPMI Pusat. Punya senior saya juga kecabut, teman saya juga,” tambah Bahlil.
Namun proses pencabutan IUP ini bukan tanpa protes dari perusahaan. Bahlil menyebut, ada 227 perusahaan yang melayangkan keberatan atas pencabutan IUP.
Dan, ada 160 perusahaan diantaranya sudah diundang untuk melakukan klarifikasi, dan 114 perusahaan yang telah hadir dan sudah melakukan klarifikasi.
Sampai saat ini Bahlil juga masih membuka ruang diskusi bagi perusahaan yang masih keberatan terhadap pencabutan IUP ini.
“Kita buka ruang bagi yang mau memproses monggo dari yang keberatan. Jika saat verifikasi ternyata mereka benar ya kita harus kembalikan,” kata Bahlil ketika itu.
Segendang sepenarian, langkah serupa juga dilakukan Pemerintah Aceh, sejalan dengan pembentukkan tim evaluasi IUP mineral dan batu bara.
Ini berdasarkan Keputusan Gubernur Aceh Nomor 540/1211/2022 yang ditandatangani Penjabat (Pj) Gubernur Aceh, Achmad Marzuki tanggal 26 Agustus 2022.
Tim ini diketuai Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Aceh, dengan anggota Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Aceh, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh.
Selain itu, Kepala Biro Hukum Setda Aceh, Kepala Biro Perekonomian Setda Aceh, Kabid Penyelenggaraan Pelayanan Perizinan dan Non Perizinan B DPMPTSP Aceh, Kabid Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal DPMPTSP Aceh, Kabid Mineral dan batu bara Dinas ESDM Aceh. Termasuk Kabid Planologi Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh, dan Kabag Bantuan Hukum Biro Hukum Setda Aceh.
Plh Kepala DPMPTSP Aceh, Marzuki, S.H, menjelaskan, Tim Evaluasi IUP Mineral dan Batu Bara ini, melakukan prioritas evaluasi terhadap 15 perusahaan berskala besar di bidang mineral, batu bara dan logam di wilayah Aceh.
Menurut dia, evaluasi ini dilakukan setelah Pemerintah Aceh mendapat informasi adanya pencabutan beberapa izin perusahaan tambang di Aceh oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Pusat.
“Aceh punya kewenangan khusus sehingga kita ingin konform di lapangan mengenai pencabutan itu. Apakah sesuai dengan kondisi atau regulasi yang ada,” kata Marzuki kepada MODUSACEH.CO, Jumat, 21 Oktober 2022 di Banda Aceh.
Untuk melakukan evaluasi tersebut ujar Marzuki, tentu harus ada payung hukum dari Pemerintah Aceh (SK Gubernur Aceh) yang melibatkan tim terpadu.
Tim evaluasi ini bertugas sesuai tupoksinya masing-masing di bawah pengawasan SKPA terkait, dan mereka secara berkala melaporkan hasil evaluasi disertai dengan berita acara. Selanjutnya tim menyimpulkan untuk pengambilan kebijakan.
Marzuki menyebut, mendukung pencabutan izin oleh BKPM jika keputusan ini sesuai hasil di lapangan dan peraturan yang ada.
Jika tidak, tim evaluasi IUP akan meminta BKPM memulihkan kembali perusahaan dimaksud.
“Jika kondisi di lapangan sesuai, kita akan mendukung apa yang telah di lakukan BKPM, jika tidak sesuai kita minta supaya dipulihkan,” jelasnya.
Nah, data yang diperoleh media ini menyebut ada sejumlah perusahaan tambang saat ini, yang tersebar pada beberapa kabupaten di Aceh.
Misal Kabupaten Nagan Raya, Aceh Barat, Aceh Jaya, Aceh Selatan, Subulussalam, Aceh Besar, Aceh Barat Daya, Aceh Tengah dan Bener Meriah.
“Kalau di Aceh Barat dan Nagan Raya rata-rata bergerak di bidang batu bara dan emas. Aceh Jaya tambang emas, Aceh Selatan dan Abdya tambang biji besi. Jadi, ini yang skala besar kita lakukan evaluasi, sementara yang skala kecil kita minta bantuan pengawasan dari kabupaten dan apabila ada hal-hal tidak sesuai, diharapkan segera menyampaikan kepada kita,” kata Marzuki.
Dari hasil evaluasi ditemukan sejumlah perusahaan yang tidak melakukan aktifitas (produksi) maksimal, meski mereka mengantongi izin.
Artinya mereka tidak berkontribusi kepada daerah. Sebab itu kata Marzuki, tim evaluasi dibentuk untuk memastikan kegiatan sesuai dengan izin yang diberikan.
Jika tidak, bisa jadi pemerintah daerah masuk sebagai pemegang saham, sehingga kepentingan pemerintah daerah terjamin dangan ada perusahaan daerah di dalamnya.
Tak hanya itu, sejumlah perusahaan tersebut disinyalir tidak membuka kesempatan kerja bagi warga sekitar.
Pasca kebijakan Pemerintah Pusat untuk mengoptimalkan aset-aset negara, sehingga pemerintah melalui BKPM mencabut izin perusahan yang tidak aktif berproduksi, maka dengan kekhususan yang dimiliki Aceh, dilakukan evaluasi kembali.
“Tujuan utamanya, bagaimana izin yang diberikan itu bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kemakmuran rakyat dan berdapak positif bagi daerah. Minimal bisa manambah pendapatan dari komoditi yang diproduksi,” jelas Marzuki.
Begitu sebaliknya, apabila perusahaan yang telah memiliki izin namun tidak berkontribusi. Pemerintah Aceh dengan tegas akan memberikan sanksi melalui teguran 1, 2 dan 3, bahkan sampai ke pencabutan izin.
“Karena pencabutan izin itu sudah dilakukakan BKPM terhadap beberapa perusahaan, dan kita memperkuat selama apa yang dilakukan Pemerintah Pusat sejalan dengan kebijakan pemerintah daerah,” tegasnya.
Sebatas ini tentu tak ada masalah. Yang jadi soal adalah, benarkah tim evaluasi IUP tadi bekerja sesuai tupoksinya? Atau jangan-jangan hanya untuk memuluskan jalan bagi para pengusaha (sohib dan kroni) penguasa Aceh saat ini?
Dugaan ini tidaklah berlebihan. Lihat saja kebijakan Pemerintah Aceh sebelumnya atau menjelang paruh akhir kepemimpinan Gubernur Aceh Nova Iriansyah. Ironis, ada 15 IUP perusahaan baru yang dikeluarkan Nova dalam kurun waktu enam bulan pada tahun 2022.
Nah, belasan perusahaan itu adalah; PT. Universal Pratama Sejahtera (Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Barat). PT. Pegasus Mineral Nusantara di Rusep Antara (Aceh Tengah). PT. Droba Mineral Internasional di Ketol (Aceh Tengah).
Ada lagi, PT. Arita Aceh Sejahtera Sampoiniet (Aceh Jaya). PT. Tambang Alam Bersaudara (Subulussalam). PT. Sarana Graha Metropolitan Panga (Aceh Jaya). PT. Mas Putih Aneka Tambang Panga (Teunom), PT. Pasie Raya (Aceh Jaya). PT. Longsunindo Perkasa Panga (Teunom). PT. Mineral Agam Prima di Krueng Sabe (Aceh Jaya). PT. Selatan Aceh Emas (Labuhanhaji Timur dan Meukek Aceh Selatan).
Termasuk Koperasi Produsen Tambang Masyarakat Sejahtera (Gayo Lues). PT. Rindang Jaya Resos (Gayo Lues). PT. Leuser Karya Tambang (Abdya). PT. Kota Jajar Lempung Persada (Aceh Selatan) dan PT. Aceh Kiat Beutari (Aceh Besar).
Pertanyaannya, apakah kebijakan Nova Iriansyah dalam memberi IUP kepada 15 perusahaan sebelumnya gratis serta murni perusahaan tambang atau hasil kongsi usaha jika tak elok disebut; punya sohib dekat dan kroninya?
Inilah yang jadi tanda tanya besar. Maklum, andai satu IUP bernilai Rp1 miliar saja, maka ada Rp15 miliar fulus yang mengalir ke kantong pribadi. Apalagi, jika ada kongsi usaha, maka dapat dipastikan miliaran dana segar mengalir hingga belasan atau puluhan tahun.
Lantas, bagaimana dengan tim evaluasi bentukkan Pj Gubernur Aceh Achmad Marzuki?
Sebab, ada beredar sas sus, beberapa perusahaan tambang milik orang dekat penguasa Aceh saat ini, sedang mempersiapkan izin untuk beroperasi di kawasan Bener Meriah dan Aceh Tengah serta pantai barat-selatan.
Selain itu, adakah kaitan evaluasi regulasi IUP yang dilakukan Pemerintah Aceh dengan misi pesawat pribadi keluarga Bakrie tadi? Entahlah!***
Editor Rizki Maulana