Tumpukan baja gulung hasil produksi pabrik Krakatau Steel © Dok. Krakatau Steel
Baja merupakan salah satu komoditas yang memiliki peran penting dalam mewujudkan pembangunan nasional, terutama dari segi infrastruktur. Seiring dengan pembangunan infrastruktur yang kian meningkat dan gencar dilakukan hingga saat ini, rasanya tak heran jika kebutuhan baja nasional juga kian mengalami peningkatan setiap tahunnya.
Berdasarkan buletin industri baja nasional yang dipublikasi oleh Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Indonesia sebenarnya memiliki potensi bahan baku berupa bijih besi penghasil baja yang melimpah dan tersebar di beberapa titik wilayah seperti Lampung, Sumatra Barat, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, dan Papua Barat.
Diketahui bahwa potensi bijih besi yang dimiliki Indonesia mencapai sekitar 2,5 miliar ton secara keseluruhan. Sayangnya dengan potensi tersebut, kendala untuk dapat memproduksi baja yang berkualitas masih didapatkan dalam bentuk fasilitas pengolahan yang belum terlalu memadai.
Karena hal tersebut, selama beberapa waktu ke belakang Indonesia masih mengandalkan baja yang berasal dari keran impor. Bukan berarti tidak memiliki pabrik pengolahan baja, dengan pabrik yang sudah ada nyatanya produksi yang dihasilkan belum mampu memenuhi kebutuhan baja nasional secara menyeluruh.
Setidaknya kondisi tersebut yang secara garis besar menggambarkan situasi industri baja nasional selama ini. Sampai beberapa waktu belakangan tepatnya di akhir kuartal I 2021, muncul harapan baru berkat kehadiran pabrik baja milik Krakatau Steel yang diklaim sebagai pabrik baja tercanggih kedua di dunia, dengan teknologi modern yang serupa dengan pabrik baja tercanggih pertama yang ada di Amerika Serikat.
Keunggulan dan potensi apa yang dapat diberikan oleh kehadiran pabrik baja tersebut dalam memenuhi kebutuhan pembangunan infrastruktur di tanah air?
Pabrik baja HSM 2 Krakatau Steel | Lukas/BPMI Setpres
Pabrik baja tercanggih kedua di dunia yang hadir di Indonesia merupakan pabrik industri baja lembaran panas atau Hot Strip Mill (HSM) 2 yang dimiliki oleh Krakatau Steel (KS). Pabrik yang berlokasi di Cilegon, Banten ini mulai dibangun pada tahun 2016 dan awalnya ditargetkan beroperasi pada tahun 2020 lalu.
Namun, pandemi Covid-19 yang terjadi membuat beberapa kendala muncul terutama saat tahap pelaksanaan akhir yang membutuhkan tenaga teknisi dari luar negeri.
Pabrik HSM 2 ini dibangun oleh KS yang bekerja sama dan membentuk konsorsium dengan pihak SMS Group Jerman, dan memiliki nilai investasi mencapai 521 juta dolar AS atau setara Rp7,5 triliun.
Sebenarnya pabrik ini sudah beroperasi sejak bulan Mei 2021 lalu, namun peresmiannya baru dilakukan belum lama ini oleh Presiden Joko Widodo, tepatnya pada tanggal 21 September yang di saat bersamaan mengonfirmasi mengenai kabar soal kecanggihan yang dimiliki oleh pabrik tersebut.
“…kita akan saksikan, peresmian hot strip mill (HSM) 2 dari PT Krakatau Steel yang menggunakan teknologi modern dan terbaru di industri baja dan hanya ada dua di dunia, pertama di Amerika Serikat dan yang kedua di Indonesia yaitu di Krakatau Steel. Tadi saya sudah melihat ke dalam proses produksinya dan betul-betul memang teknologi tinggi,” ungkap Jokowi, dalam keterangan yang dimuat oleh Biro Sekretariat Presiden.
Diketahui, bahwa pabrik tersebut akan menghasilkan baja berjenis HRC dengan kapasitas produksi mencapai 1,5 juta ton per tahun.
Sekilas informasi, umumnya jenis baja yang dihasilkan dalam pengolahan pada pabrik industri baja terdiri dari dua jenis, yaitu Hot Rolled Coil (HRC) dan Cold Rolled Coil (CRC).
Di Indonesia sendiri, saat ini baja berjenis HRC menjadi yang paling banyak digunakan untuk berbagai kebutuhan pembangunan. Dengan kualitas dan daya tahan yang kuat, baja HRC yang kerap disebut dengan nama ‘baja hitam’ lazim digunakan sebagai bahan dalam pembangunan konstruksi umum dan las, jalur pipa minyak dan gas, konstruksi kapal, dan satu industri yang tak kalah penting yaitu komponen serta rangka otomotif.
Presiden Joko Widodo saat meresmikan pabrik HSM 2 | Laily RE/BPMI Setpres
Kembali ke persoalan akan kebutuhan baja nasional untuk kepentingan pembangunan infrastruktur yang meningkat, Jokowi mengungkap jika selama lima tahun terakhir kebutuhan baja nasional naik hingga 40 persen. Hal tersebut yang mendorong angka impor baja ada di peringkat kedua komoditas impor Indonesia.
Sementara itu, hadirnya pabrik HSM 2 yang memiliki kapasitas produksi baja HRC sebanyak 1,5 juta ton per tahun, kedepannya ditargetkan bisa mengalami peningkatan produksi menjadi 4 juta ton per tahun.
Lebih detail, sebelumnya diketahui bahwa kebutuhan baja nasional berjenis HRC di Indonesia ada di angka 4,8-5,3 juta ton per tahun. Dari kebutuhan tersebut, Sekitar 1-2 juta ton yang diperlukan masih bergantung dari impor. Dengan adanya pabrik HSM 2 dan baja HRC yang dihasilkan, maka kedepannya Indonesia diharapkan dapat menutup keran impor untuk memenuhi kebutuhan baja nasional.
Lain itu, Menteri BUMN Erick Thohir yang hadir dalam kesempatan sama juga menyebutkan, bahwa berkat hadirnya pabrik baja berteknologi tinggi yang dimiliki oleh KS, kemandirian industri baja nasional akan terbentuk dan tidak lagi bergantung kepada negara penghasil baja lainnya.
“…beroperasinya Pabrik HSM 2 Krakatau Steel mampu memenuhi kebutuhan baja dalam negeri, sehingga akan mewujudkan kemandirian industri baja nasional. Hal ini akan berkontribusi terhadap penghematan cadangan devisa negara mencapai Rp29 triliun,” pungkas Erick.
Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Siti Nur Arifa lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Siti Nur Arifa.
Daftar komentar untuk artikel “Punya Pabrik Baja Tercanggih Kedua di Dunia, Indonesia Bisa Hemat Devisa Rp29 Triliun”
Terima kasih telah membaca sampai di sini
Terima kasih telah melaporkan penyalahgunaan yang melanggar aturan atau cara penulisan di GNFI. Kami terus berusaha menjadikan GNFI tetap bersih dari konten yang tidak sepatutnya ada di sini.
Sedang mengambil data