Hutan
Pertambangan bijih besi yang beroperasi di Kecamatan Lhoong, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh telah menimbulkan masalah lingkungan.
Perusahaan itu adalah PT. Lhoong Setia Mining [LSM] yang mendapatkan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi dari 2010 hingga 2027, dengan surat bernomor: 540/01/IUP-OP/2010.
Ancaman kerusakan lingkungan sempat dikhawatirkan masyarakat Lhoong, sejak awal perusahaan ini mendapatkan izin eksploitasi.
Protes yang dilayangkan masyarakat, selain ganti rugi lahan sangat murah yaitu Rp5.000 sampai Rp10.000 per meter, masyarakat juga mempertanyakan dampak lingkungan hidup yang ditimbulkan.
“Sungai dipenuhi pasir dan lumpur. Padahal, itu tempat kami mencari ikan dan sebagai sumber air bersih,” ungkap Basir, nelayan di Kecamatan Lhoong, Kabupaten Aceh Besar, awal Desember 2022.
Basir menyebutkan, sungai yang dangkal penuh lumpur itu adalah Krueng [sungai] Sob, yang terletak di Desa Jantang, Kecamatan Lhoong, Kabupaten Aceh Besar.
“Meskipun airnya masih terlihat jernih, tapi ikan-ikan kecil sudah tidak ada,” tuturnya.
Baca: Tambang Bijih Besi Beroperasi di Kawasan Ekosistem Leuser, Walhi Aceh: Kami Protes
Hamdan, nelayan di Kecamatan Lhoong, mengatakan, pantai Jantang yang juga muara Krueng Sob merupakan tempat nelayan mencari nafkah.
“Semenjak sungai terganggu, ikan susah didapat.”
Nelayan kembali khawatir, saat mengetahui perusahaan tambang bijih besi ini akan beroperasi kembali setelah beberapa waktu berhenti.
“Kami dengar, tambang ini sudah beralih kepemilikan dan akan beroperasi lagi. Kami tidak mau mengalami nasib serupa,” ujarnya.
Baca juga: Keluarkan Perpanjangan Izin Tambang, Walhi Gugat Pemerintah Aceh
Protes
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] Aceh meminta Pemerintah Aceh menghentikan sementara operasional perusahaan, karena belum mereklamasi lahan hingga sekarang.
“Ini kewajiban yang tercantum Pasal 39 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, bahwa perusahaan wajib melakukan reklamasi pasca-tambang,” kata Direktur Walhi Aceh, Ahmad Salihin, awal Desember 2022.
Walhi Aceh sudah mengingatkan PT. LSM sejak 2016 agar segera melakukan reklamasi. Tetapi hingga sekarang, lubang bekas tambang masih terbuka.
“Pemilik yang baru hendak melanjutkan eksploitasi, tentu ini tidak boleh terjadi.”
Selain itu, sejumlah nelayan di Desa Jantan dalam beberapa pertemuan dengan manajemen baru, meminta agar tidak merusak lingkungan.
“Nelayan minta jaminan tertulis, sementara perusahaan baru sebatas lisan.”
Padahal sambung Salihin, kewajiban perusahaan menerima usulan dan masukan dari warga sangat jelas dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 28 Ayat 3. Disebutkan bahwa masyarakat yang terkena dampak langsung sebagaimana dimaksud ayat 1 berhak mengajukan saran, pendapat, dan tanggapan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan.
“Tidak ada alasan perusahaan tidak menyetujuinya,” jelasnya.
Irwansyah Putra Lubis, Kasi Pengendalian Kerusakan Darat, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan [DLHK] Provinsi Aceh, mengatakan DLHK Aceh belum pernah melakukan penelitian atau survei terkait dugaan pencemaran lingkungan PT. LSM.
“Pihak yang ke lokasi dan melakukan pemeriksaan dari KLHL,” ujarnya, Rabu [14 Desember 2022].
Namun, hingga saat ini, pihakanya belum mengetahui hasil pemeriksaan tersebut.
“Sepengetahuan saya, saat tim KLHK ke lokasi, tidak ada aktivitas apapun. Terakhir, izin perusahaan telah dicabut,” jelas Irwansyah.
Terkait reklamasi bekas galian perusahaan, itu merupakan wewenang Dinas Energi Sumber Daya Mineral [ESDM].
“Reklamasi bukan wewenang kami, melainkan Dinas ESDM,” paparnya.
Sebagai informasi, mengutip keterangan Gerak Aceh, PT. LSM menguasai lahan seluas 500 hektar di tujuh gampong di Kecamatan Lhoong, Aceh Besar. Perusahaan ini telah melakukan produksi dan menjual hasilnya sejak 2011 hingga 2013.
Adanya kebijakan nasional terkait larangan penjualan bahan mentah [raw material] menyebabkan perusahaan tidak lagi beroperasi. Namun pada 2013, PT. LSM masih diberikan kuota oleh Kementerian Perdagangan untuk melakukan penjualan hasil produksi sebanyak 450.000 ton hingga 30 April 2013.
Terkait penutupan perusahaan, dikutip dari Serambinews edisi 15 Januari 2022, Direktur PT. LSM, Jeri Patras, mengaku tidak punya pilihan selain menghentikan produksi dan ekspor. “Konsekuensinya adalah PHK karyawan,” jelasnya.
Penghentian produksi, menyebabkan banyak tenaga kerja dirumahkan tanpa kejelasan haknya. Selain itu, hingga akhir Desember 2017, tidak ada upaya kegiatan reklamasi yang dilakukan perusahaan di areal bekas tambang. Persoalan ini sudah dilaporkan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK].
Facebook
Twitter
Instagram
RSS / XML
© 2023 Copyright Mongabay.co.id