Jakarta, CNBC Indonesia – Bauksit tengah menjadi topik perbincangan utama, setelah Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) resmi mengumumkan adanya pelarangan ekspor mineral mentah berupa bijih bauksit pada Juni 2023.
Indonesia dianugerahi berbagai macam ‘harta karun’ berupa cadangan sumber daya mineral yang melimpah, salah satunya bauksit.
Lantas, apakah bauksit itu?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Berdasarkan laman Kementerian Perindustrian, bijih bauksit merupakan batuan yang mengandung tiga mineral utama dan berkaitan dengan mineral silikat dan biasanya dijadikan bahan baku untuk membuat alumunium.
Selain itu, bauksit dapat diolah untuk pemurnian air, kosmetika, farmasi, keramik dan plastik filler. Bauksit juga dapat dikembangkan menjadi alumunium yang dapat digunakan untuk kendaraan listrik. Bauksit juga menjadi salah satu material untuk membuat pembangkit Energi Baru dan Terbarukan (EBT).
Kementerian ESDM mencatatkan cadangan bauksit Indonesia sekitar 4% atau setara dengan 1,2 miliar ton dari total cadangan global sekitar 30,3 miliar ton.
Indonesia tidak hanya memiliki cadangan bauksit yang bayak, tapi juga sukses menjadi salah satu negara produsen bauksit terbesar di dunia.
Berdasarkan data Statista, pada 2021 Indonesia menempati jajaran sebagai negara terbesar keenam penghasil bauksit di dunia, di mana Indonesia berhasil memproduksi 18 juta ton bauksit.
Secara ekspor, Indonesia juga mencatatkan kinerja yang cukup apik. Melansir data Bank Indonesia (BI), volume ekspor bauksit pada 2017 hingga 2020 terus meningkat secara signifikan. Meski, pada 2021 sempat berkurang.
Sementara dari sisi nilai ekspor terus mengalami peningkatan. Pada 2017, ekspor bauksit hanya US$ 66,43 juta atau setara dengan Rp 1 triliun (asumsi kurs Rp 15.600/US$). Namun, pada 2021, nilai ekspor bauksit kian meningkat hingga US$ 628,2 juta atau Rp 9,7 triliun.
Sejatinya pelarangan ekspor bijih bauksit itu sudah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba).
Hal tersebut merupakan upaya Indonesia untuk meningkatkan nilai tambah dari hasil ekspor, sehingga pemerintah pun berencana untuk mengembangkan hilirisasi bauksit.
Dari industrialisasi bauksit di dalam negeri ini kita perkirakan pendapatan negara akan meningkat dari Rp 21 triliun menjadi sekitar kurang lebih Rp 62 triliun. Pemerintah akan terus konsisten melakukan hilirisasi di dalam negeri agar nilai tambah dinikmati di dalam negeri utk kemajuan dan kesejahteraan rakyat,” terang Jokowi.
Sebelumnya, Jokowi memberikan gambaran pada larangan ekspor nikel. Ia bilang, alam penyetopan ekspor nikel, pendapatan negara melalui ekspor nikel yang sudah dihilirisasi melejit hingga US$ 30 miliar dari yang sebelumnya hanya US$ 1,1 miliar.
Namun, untuk mewujudkan program hilirisasi tentu tidak mudah. Pemerintah harus mengembangkan smelter sendiri dengan biaya yang jumbo.
Menurut Pelaksana Ketua Harian Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I), Ronald Sulistyanto, untuk membangun satu smelter bauksit di Indonesia, setidaknya harus merogoh kocek hingga US$ 1,3 miliar dengan kapasitas mencapai 2 juta ton ore.
Kesiapan Indonesia Terhadap Larangan Ekspor Bauksit
Sebagai informasi, pemerintah Indonesia menargetkan akan ada sekitar 12 smelter bauksit yang beroperasi hingga 2024.
Namun, Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batu Bara (Minerba) Irwandy Arif menyatakan bahwa hingga saat ini Indonesia memiliki empat buah fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) bauksit menjadi alumina yang sudah beroperasi di Indonesia.
Sementara, delapan smelter bauksit sedang dalam proses konstruksi untuk mendukung hilirisasi bauksit di dalam negeri.
Lalu, bagaimana dampak terhadap negara importir?
Administrasi Umum Kepabeanan China mencatat pada 2021, China mengimpor sebesar 107 juta ton bijih bauksit, di mana 51% berasal dari Guinea, sementara 32% dari Australia dan Indonesia berkontribusi sebanyak 17%.
Hal serupa juga tercatat pada laporan Global Bauxite Flows Benchmarks dari Refinitiv, bahwa Indonesia menduduki importir ketiga ke China.
Analis konsultan logam Antaike Huo Yunbo menilai bahwa larangan bauksit tersebut tidak akan berdampak pada China sebab hanya mengimpor bauksit sebagian kecil dari Indonesia dan dapat dipenuhi oleh negara-negara eksportir lainnya.
“Situasi telah berubah karena China secara bertahap telah mendiversifikasi impornya ke negara lain, terutama ke Guinea yang sekarang menyediakan sekitar setengah dari total impor bauksit China,” tutur Huo dikutip The Global Times.
Di sisi lainnya, China juga mengembangkan produksi aluminium sekunder yang didaur ulang dari berbagai sumber sebagai alternatif jika persediaan bauksit menurun.
Komisi Pembangunan dan Reformasi Nasional memprediksikan pada 2025, output alumunium sekunder di China akan mencapai 11,5 juta ton, naik dari tahun 2020 di 7,4 juta ton.
Dengan begitu, larangan ekspor bauksit Indonesia tidak akan berdampak besar terhadap negara-negara importir, sebab cadangan dan ekspor bauksit Tanah Air hanya berkontribusi sebagian kecil, sehingga negara-negara importir lain tampaknya dapat mengisi kekosongan pasokan dari Indonesia.
TIM RISET CNBC INDONESIA
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT