Sosial
Puluhan warga lintas generasi berkumpul di halaman rumah Ketua Adat Suku Jerieng di Desa Pelangas untuk menghadiri “sedekah gunung”, ritual adat tahunan setiap bulan Muharram.
Pagi itu, sebagian besar warga yang hadir adalah perwakilan tokoh adat Suku Jerieng yang tersebar di 13 desa, dengan luas wilayah sekitar 62.600 hektar. Mereka berada di Kecamatan Simpang Teritip, Kabupaten Bangka Barat, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Alunan gendang dan gong, menjadi pertanda dimulainya perjalanan menuju Bukit Penyabung, wilayah sakral Suku Jerieng, sekaligus tempat ritual.
Di barisan depan, tanpa alas kaki, Janum bin Lamat [58], Ketua Adat Suku Jerieng di Desa Pelangas, memimpin perjalanan, sekitar satu kilometer jauhnya.
Selama perjalanan ada beberapa titik perhentian. Pertama, di balai desa, tempat ditampilkannya “tari tabuh” yang diringi musik gendang dan gong. Kedua, pemakaman Desa Pelangas, berziarah ke makam Kek Adung dan Kek Weng, leluhur atau “batin gunung” Suku Jerieng masa lalu.
“Ziarah untuk berdoa sekaligus meminta izin kepada leluhur kami,” kata Janum, Sabtu [13/08/2022].
Janum bin Lamat adalah keturunan ketujuh “batin gunung”, sosok pemimpin dalam sistem adat Suku Jerieng. Batin berperan layaknya dukun kampung, yang memiliki kemampuan mengobati, serta sebagai penghubung dan menjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan makhluk lainnya.
Di sebuah batu granit besar, dengan pakaian putih serta peci resam khas Pulau Bangka, Janum bin Lamat menyambut kedatangan warga.
Baca: Lindungi Masyarakat Adat, Menyelamatkan Hutan di Kepulauan Bangka Belitung
Menurut Janum, wilayah adat Suku Jerieng dibagi tiga area: barat berbatasan Kecamatan Muntok, utara berbatasan dengan Kecamatan Parit Tiga dan Kecamatan Jebus, sementara timur berbatasan dengan Kecamatan Kelapa. Wilayah selatan merupakan laut Kundi yang terhubung dengan laut Jawa.
“Banyak warga kami yang berkebun sekaligus melaut, karena wilayah adat kami berupa laut, sungai, lembah, hutan, hingga pegunungan,” lanjutnya.
Tepat pukul 12 siang, ritual dimulai.
Didampingi tokoh adat lainnya, Janum berdiri tegak menghadap sesaji. Beberapa kalimat bermakna harapan dan doa, diucapkan dalam Bahasa Jerieng.
“Intinya, saya coba menjadi perantara untuk berkomunikasi dengan makhluk hidup di alam, baik itu tumbuhan, hewan ataupun yang gaib. Tetapi pada dasarnya, semuanya diniatkan atas nama Sang Pencipta,” jelasnya.
Ritual ditutup doa, dilanjutkan menabur beras, kunyit, bunga melati, dan madu di sekitar lokasi. Berikutnya, pertunjukan pencak silat diringi gendang panjang dan gong, digelar. Selesai acara, warga pulang ke rumah.
Baca: Durian dan Manggis yang Begitu Menggoda di Kelekak Suku Jerieng
Tanaman obat
Dalam perjalanan pulang, sejumlah warga membawa tumbuhan dari Bukit Penyabung, seperti medangsang, keramunting, daun sudu-sudu, dan daun kendu.
“Banyak tanaman obat, kami membawa pulang karena memiliki khasiat,” kata Miya [60], seorang dukun obat di Desa Pelangas.
Berdasarkan jurnal berjudul “Pemanfaatan Tanaman Obat oleh Suku Jerieng di Kabupaten Bangka Barat”, oleh Novalia, Budi Afriansyah, dan Lina Juairiah, ada 82 jenis tumbuhan dari 52 famili, dimanfaatkan Suku Jerieng sebagai tanaman obat. Khasiatnya, untuk menyembuhkan 45 jenis penyakit, seperti demam, diabetes, malaria, hingga kanker rahim.
Jenis tanaman yang paling banyak dimanfaatkan yakni Zingiberaceae sebanyak 7 jenis [9%], habitus sebagai obat yaitu pohon [35%], habitat paling banyak pekarangan rumah [52%], dan bagian tumbuhan yang paling banyak digunakan daun [46%]. Cara pengolahan paling banyak adalah direbus.
Bagi Suku Jerieng, mengkonsumsi tumbuhan obat membuat mereka sehat, sekaligus menjaga sumber pangan seperti menanam kelapa, lada, pisang, padi, umbi-umbian, durian, nangka, cempedak, manggis, dan sayuran.
“Alhamdulillah, di sini banyak orang tua kami berusia diatas 60 tahun dan semuanya sehat. Mereka rajin mengkonsumsi tumbuhan obat dan pangan yang sehat dari kebun mereka,” kata Muhammad Abdurrachman, Direktur Bumdes [Badan Usaha Milik Desa] Masyarakat Jerieng Gemilang Bersaudara.
Baca: Jerit Suku Jerieng, Ruang Hidupnya Terdesak Perkebunan Sawit dan HTI [Bagian 1]
Larangan
Selama ratusan tahun masyarakat Suku Jerieng rutin melaksanakan sedekah gunung yang dulunya disebut taber gunung.
Namun, tiga tahun belakangan, ritual sempat terhenti. Menurut Janum, hal inilah yang menyebabkan berkurangnya hasil kebun mereka. Mulai dari lada dan padi yang diterpa hama, hingga banyak durian tidak berbuah.
Awalnya, setelah ritual, masyarakat dilarang berkebun, melaut, hingga menyembelih hewan apapun selama tujuh hari.
“Namun seiring waktu, lamanya larangan menjadi tiga hari.”
Baca: Tikar Kuang, Upaya Suku Jerieng Pertahankan Hutan Tersisa [Bagian 2]
Masyarakat Suku Jerieng berharap, hasil kebun mereka menjadi lebih baik dan dijauhkan dari segala penyakit di masa mendatang.
“Melalui sedekah gunung, kami diajarkan untuk bijak mengelola hasil alam, saling berbagi dengan makhluk. Sebisa mungkin kami menaati larangan yang ada,” kata Masliadi, Ketua Kelompok Sadar Wisata Desa Pelangas.
Manusia, tumbuhan, satwa, dan makhluk lainnya berperan penting menciptakan siklus alam yang harmonis.
“Kita, semua yang hidup di bumi, harus bekerja sama. Saling menjaga dan berbagi. Jangan serakah,” tegas Janum.
Facebook
Twitter
Instagram
RSS / XML
© 2023 Copyright Mongabay.co.id