Sejarah Hukuman Mati di Indonesia
KOMPAS.com – Hukuman mati adalah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan terhadap seseorang akibat kejahatan tingkat tinggi.
Hukuman mati diberlakukan di berbagai negara di dunia, tidak terkecuali Indonesia.
Biasanya, hukuman mati akan dijatuhkan pada seseorang yang menjadi pelaku kasus pembunuhan berencana, terlibat pengedaran narkoba, dan terorisme.
Lantas, bagaimana sejarah hukuman mati di Indonesia?
Baca juga: Asas-Asas Hukum Acara Pidana
Salah satu fungsi hukum adalah untuk membimbing perilaku manusia serta mengendalikan tingkah laku atau sikap yang didukung dengan sanksi negatif jika dilanggar.
Hukum yang terbilang populer di masyarakat adalah pidana dan perdata.
Penjatuhan pidana biasanya akan diberikan sebagai jalan terakhir apabila usaha-usaha sebelumnya tidak memperbaiki sikap pelaku.
Salah satu bentuk pidana paling berat adalah pidana mati atau hukuman mati.
Hukuman mati berlaku di Indonesia sejak Januari 1998, yang tercantum dalam KUHP dan diatur dalam pasal 10.
Pasal ini memuat dua macam bentuk pidana, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana mati termasuk dalam pidana pokok.
Akan tetapi, apabila ditelusuri sejarahnya, hukuman mati di Indonesia sudah ada sejak 1808, ketika Gubernur Jenderal Hindia Belanda Daendels bertugas di Indonesia.
Baca juga: Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-36
Hingga masa Demokrasi Liberal, atau pada 1951, hukuman mati diterapkan sebagai strategi untuk membungkam pemberontakan penduduk yang terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia.
Lalu, pada masa Demokrasi Terpimpin (1956-1966), Presiden Soekarno mengeluarkan UU Darurat tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.
UU ini diperkuat dengan Penpres No.5 Tahun 1959 dan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 21 Tahun 1959 dengan ancaman maksimal hukuman mati.
Kemudian pada masa Orde Baru, hukuman mati dicantumkan untuk mencapai stabilitas politik dan mengamankan agenda pembangunan.
Baca juga: Contoh Surat Tuntutan Pidana
Proses hukuman mati akan dilaksanakan setelah permintaan grasi atau peringanan terpidana mati ditolak oleh pengadilan.
Setelah hasil vonis keluar, terpidana mati dan anggota keluarga akan diberitahu mengenai pelaksanaan hukuman mati dalam waktu 72 jam sebelum eksekusi.
Seringnya, pelaksanaan hukuman mati di Indonesia dilakukan di Nusakambangan. Eksekusinya akan dilakukan oleh regu tembak.
Cara ini telah diterapkan sejak 1964 dan tidak berubah hingga sekarang. Terpidana mati akan ditutup matanya dan diposisikan di daerah berumput.
Kemudian, terpidana mati diberi pilihan untuk berdiri atau duduk. Setelah itu, terpidana mati akan ditembak tepat di jantungnya hanya dalam jarak 5-10 meter.
Baca juga: Sistem Hukum di Indonesia
Orang Indonesia pertama yang dijatuhi hukuman mati adalah Oesin Bestari pada 1964.
Oestin Bestari merupakan seorang pedagang sekaligus jagal kambing, yang diketahui telah membunuh enam rekan bisnisnya secara keji.
Pembunuhan pertama dilakukan Oestin di rumahnya, di Desa Jagalan. Kemudian, lima orang lainnya dibunuh di sebuah rumah yang ia sewa di Desa Seduri, pinggir jalan raya antara Mojokerto dan Surabaya.
Oestin lantas ditangkap oleh pihak aparat dan divonis mati pada 1964. Hukuman mati diberikan kepadanya pada 14 September 1978 subuh, di tepi pantai daerah Kenjeran, Surabaya.
Berdasarkan data dari Institute for Criminal Justice Reform atau ICJR, jumlah kasus hukuman mati di Indonesia pada Oktober 2020 mencapai 173 kasus dengan total 210 terdakwa.
Data ini menunjukkan peningkatan dari tahun 2019, yang hanya ada 126 kasus.
Baca juga: Sejarah Hukum di Indonesia: Masa Orde Baru (1966-1998)
Pasal 104 KUHP berisi tentang siapa saja yang ingin menyatakan makar atau pengkhianatan dengan tujuan merampas atau menjatuhkan presiden-wakil presiden, maka orang tersebut akan dipidana mati atau hukuman penjara seumur hidup
Menurut Pasal 124 ayat 3 KUHP, bagi siapa saja yang menghancurkan gudang persenjataan dan menyerahkannya kepada musuh, akan dihukum mati.
Menurut Pasal 140 ayat 3 KUHP, seseorang yang melakukan pembunuhan berencana, hukuman terberatnya yaitu hukuman mati.
Selain itu, bisa juga dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.
Baca juga: Sejarah Hukum di Indonesia: Periode Peralihan (1945-1950)
Menurut Pasal 365 ayat 4 KUHP, seseorang atau kelompok yang melakukan pencurian disertai dengan kekerasan hingga korbannya mati, maka hukuman terberat adalah hukuman mati.
Menurut Pasal 444 KUHP, orang yang merompak di laut, pesisir, dan sungai serta menyebabkan kematian bagi korban, maka akan dijatuhi hukuman mati.
Menurut Pasal 124 KUHP, seseorang atau kelompok yang menyebabkan kekacauan dan pemberontakan kepada lembaga pertahanan negara akan dijatuhi hukuman mati.
Menurut Pasal 368 ayat 2 KUHP, seseorang atau kelompok yang melakukan ancaman kekerasan, pemaksaan, hingga pencurian, akan dijatuhi hukuman mati.
Baca juga: Hukum Tawan Karang: Pengertian, Pelaksanaan, dan Penghapusan
Undang–Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dapat menjerat pengedar/bandar narkoba dengan memberikan hukuman paling berat yaitu hukuman mati.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang.
Hukuman mati terhadap tindak pidana terorisme diatur dalam pasal 14 UU No. 5 Tahun 2018.
Referensi:
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Dapatkan informasi dan insight pilihan redaksi Kompas.com
Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.