WATUSAMPU – Masker tipis menutupi wajah lelaki itu; sebagai upaya menghalau debu yang terus-menerus terbawa angin pantai Teluk Palu. Sementara, sisa-sisa pepohonan di bukit yang setengah terpangkas tidak mampu lagi menghalau panas.
Pria ini memperkenalkan dirinya sebagai Wisran, ketua RW 3 di Kelurahan Watusampo Kecamatan Ulujadi, Kota Palu, Sulawesi Tengah. Wisran menyebut, sehari-hari, warganya memang harus berurusan dengan polusi udara akibat kegiatan pertambangan bahan galian C di Watusampo. Bahan galian C sendiri merupakan bahan pembuat bangunan seperti pasir dan kerikil.
Follow Berita Okezone di Google News
Wisran mengenang, usaha pertambangan mulai masuk di Watusampo sejak 1990-an. Dan sejak sekira enam tahun terakhir, makin banyak perusahaan tambang melakukan kegiatan eksplorasi dan produksi di wilayah tersebut.
“Saya tidak tahu angka pastinya. Yang saya tahu, ada belasan perusahaan yang memiliki izin usaha, tapi hanya beberapa yang aktif berproduksi,” kata Wisran, di Watusampo, belum lama ini.
Kelurahan Watusampo sendiri berdekatan dengan Kabupaten Donggala, salah satu daerah pertambangan yang cukup produktif di Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng). Menurut data Peta Sebaran IUP Tahun 2011 yang dikeluarkan Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah XVI Palu, tercatat ada 45 Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Kabupaten Donggala. Tidak hanya galian C, mereka juga bergerak dalam pertambangan mineral seperti bijih besi dan mangan.
Namun, laporan Relawan Orang dan Alam (ROA) Sulteng menyebutkan, izin pertambangan tersebut tumpang tindih dengan keberadaan hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi. Tidak hanya itu, meski massif berproduksi, para perusahaan tambang tersebut alpa dalam urusan reklamasi.
“Tidak ada satu pun perusahaan yang melaporkan dana reklamasi mereka ke Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM),” kata Gif Vents dari ROA Sulteng kepada Okezone.
Padahal, dana reklamasi menjadi salah persyaratan permohonan izin usaha tambang. GIf Vents menyebut, persyaratan izin usaha tambang sendiri sangat mudah.
Sesuai Pasal 36 UU No. 04 Tahun 2009 Tentang Minerba dan PP 23 Tahun 2010 Tentang pelaksanaan kegiatan pertambangan mineral dan batu bara, ada beberapa syarat pengajuan IUP. Syarat administrasi berupa surat permohonan IUP, susunan pimpinan direksi dan pemegang saham dan surat keterangan domisili.
Kemudian, syarat teknis meliputi profil perusahaan, Surat pertimbangan geologi bahwa sudah pernah melakukan pertambangan selama tiga tahun dan peta wilayah IUP. Sedangkan syarat lingkungan yang harus dipenuhi adalah Surat pernyataan untuk memenuhi ketentuan UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup. Dan dari segi finansial, pemohon IUP harus memberikan dana jaminan IUP kepada pemerintah daerah (pemda) setiap tahun dan bukti setoran pembayaran iuran.
“Syarat-syarat ini sangat mudah. Siapa pun bisa mengajukannya,” keluh Gif Vents.
Sementara itu, Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kabupaten Donggala Syamsu Alam, menampik anggapan bahwa permohonan IUP di Kabupaten Donggala begitu mudah. Menurutnya, pengajuan IUP akan diproses selama memenuhi persyaratan. Misalnya, mendapat rekomendasi dari Badan Lingkungan Hidup tentang analisis dampak lingkungan (amdal) dan mendapat rekomendasi dari Dinas Pekerjaan Umum tentang tata ruang.
“Persetujuan dari kepala desa dan hasil eksplorasi studi kelayakan juga harus ada. Jika semua sudah dipenuhi, termasuk hasil pemeriksaan lapangan, baru kami terbitkan IUP,” ujar Syamsu.
Syamsu menyebut, saat ini ada 45 perusahaan tambang galian C beroperasi di Donggala. Sedangkan total perusahaan tambang yang memiliki IUP ada 66 buah.
“Dari 45 perusahaan pemegang IUP, 41 di antaranya bisa langsung produksi,” imbuhnya.
Aktivitas produksi perusahaan tambang inilah yang menjadi buah simalakama bagi masyarakat di sekitar lokasi tambang. Selain terpapar polusi, keseimbangan alam pun terganggu. Belum lagi masalah sosial seperti pengangguran.
Wisran menyebut, meski di wilayahnya ada enam perusahaan tambang yang menjalankan produksi, hanya sedikit warga lokal yang terserap sebagai tenaga kerja. Itu pun hanya tenaga kasar seperti buruh tambang, kuli angkut dan supir truk.
Pria 36 tahun ini menyadari, industrialisasi pertambangan ini sedikit banyak memang pilihan masyarakat untuk mencapai kemakmuran. Namun, dampaknya, kata Wisran, seharusnya menjadi konsekuensi yang harus ditanggung dan diminimalisasi bersama.
“Kehidupan ekonomi dan keseimbangan ekosistem seharusnya bisa berjalan dinamis,” tutur Wisran.
(mrt)
Berita Terkait
Bagikan Artikel Ini
Berita Lainnya
© 2007 – 2023 Okezone.com,
All Rights Reserved