Menjaga produk kelautan dan perikanan tetap berkualitas agar bisa dikirim sebagai komoditas ekspor, menjadi pekerjaan rumah yang terus ditingkatkan oleh Pemerintah Indonesia. Semakin banyak komoditas yang dikirim, maka itu artinya pendapatan devisa Negara akan semakin tinggi.
Tetapi, pekerjaan rumah tersebut tidaklah mudah untuk dikerjakan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang menjadi pemimpin untuk urusan kelautan dan perikanan. Diperlukan berbagai upaya untuk menghasilkan produk yang siap ekspor dengan kualitas memenuhi standar dunia.
Salah satu cara yang bisa dipilih untuk menjaga kualitas setiap produk kelautan dan perikanan yang akan dikirim untuk ekspor, adalah menggunakan teknologi iradiasi yang saat ini sudah dimiliki oleh Indonesia. Teknologi tersebut diyakini bisa menjaga kualitas ekspor produk kelautan dan perikanan.
Asisten Deputi Peningkatan Daya Saing Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Dedy Miharja mengatakan, pemanfaatan teknologi iradiasi diharapkan bisa menjadi alternatif cara untuk mengawetkan produk secara fisika.
“Untuk membantu meningkatkan mutu ekspor produk kelautan dan perikanan Indonesia,” ucap dia belum lama ini di Jakarta.
baca : Teknologi Digital Mulai Digunakan untuk Perikanan Budidaya Nasional
Menurut dia, dengan menggunakan teknologi iradiasi, maka keinginan untuk bisa meningkatkan kualitas ekspor produk kelautan dan perikanan bisa terwujud. Dengan demikian, teknologi solutif tersebut bisa ikut mengantisipasi munculnya penolakan ekspor produk yang berasal dari Indonesia.
Kasus-kasus penolakan produk kelautan dan perikanan dari Indonesia yang dilakukan negara tujuan ekspor, bisa terjadi karena ditemukan kandungan bahan-bahan berbahaya. Sebut saja, bakteri salmonela, logam berat, histamin, decompose, filthy, dan lainnya.
Tegasnya, dengan menggunakan teknologi iradiasi untuk produk kelautan dan perikanan yang akan dikirim ekspor, maka itu bisa menjadi langkah perbaikan ekspor untuk seluruh produk kelautan dan perikanan secara merata dari hulu ke hilir.
Dedy menerangkan, teknologi iradiasi sudah berkembang di Indonesia sejak 1964 atau sejak 58 tahun lalu. Selama proses berkembang tersebut, kemajuan teknologi terus terjadi dan Pemerintah Indonesia juga sudah menerbitkan sejumlah regulasi yang berguna untuk menjadi acuan dalam penerapan teknologi tersebut.
Seiring perkembangan tersebut, beragam fasilitas yang berkaitan dengan teknologi iradiasi juga terus dibangun oleh Pemerintah dan para pemangku kepentingan. Saat ini, sedikitnya ada tiga fasilitas teknologi iradiasi yang menyebar di Jakarta, Serpong (Banten), dan Cibitung (Jawa Barat).
“Namun saat ini baru terdapat 13 SNI (standar nasional Indonesia) terkait dengan pangan iradiasi,” tuturnya.
baca juga : Ini Teknologi RAS, Masa Depan Perikanan Budi Daya Nasional
Meski sudah terdapat fasilitas iradiator, namun jumlahnya dinilai masih belum cukup. Untuk itu, diperlukan tambahan fasilitas serupa, agar teknologi tersebut bisa benar-benar bermanfaat bagi masyarakat di seluruh Indonesia.
Namun demikian, untuk membangun fasilitas iradiator energi tinggi tidak semudah yang dibayangkan oleh masyarakat yang memerlukannya. Diperlukan koordinasi dan kerja sama dengan kementerian atau lembaga (K/L), serta pelaku usaha dan para pemangku kepentingan yang berkaitan.
Dengan kata lain, diperlukan adanya perhitungan tekno-ekonomi, koordinasi antar K/L dan pemangku kepentingan terkait, sosialisasi dan edukasi kepada masyakarat, dan penentuan otoritas kompeten pengelola teknologi iradiasi.
“Juga, pertambahan jumlah produk pangan iradiasi ber-SNI, dan data UPI (unit pengolahan ikan) yang memerlukan teknologi iradiasi,” pungkas dia.
Sedangkan Kepala Sub Direktorat Pengawasan Keamanan Obat, Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Ega Febriana pada kesempatan yang sama mengatakan bahwa upaya penggunaan teknologi iradiasi untuk pengawetan pangan merupakan langkah yang sangat baik untuk dilakukan.
Pasalnya, sampai saat ini sudah banyak produk pangan yang menggunakan teknologi iradiasi dengan alat iradiator. Selain produk kelautan dan perikanan, sudah ada produk seperti rempah bumbu yang juga menggunakan teknologi tersebut.
“Penentuan serap iradiasi juga sudah ada. Permasalahannya memang perlu sosialisasi kepada masyarakat terkait produk-produk yang diiradiasi,” jelas dia.
Pembangunan Fasilitas
Koordinator Kerjasama dan Pendayagunaan Hasil Penelitian Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (KSPHP BBP2TP) Kementerian Pertanian Sigid Handoko menegaskan kalau teknologi iradiasi memang sudah digunakan pada produk pangan yang ada di Indonesia.
Selama ini, teknologi iradiasi pernah digunakan untuk pengawetan buah dan sampai sekarang masih juga masih digunakan sebagai perancangan varietas padi. Oleh karena itu, B2P2TP akan segera membentuk bingkai pertanian, perkebunan, dan peternakan.
Meski demikian, saat ini Indonesia sudah tertinggal jauh dalam pengembangan teknologi iradiasi dibandingkan negara di Asia. Sebagai contoh, Cina saat ini sudah memiliki fasilitas iradiator sebanyak 140 unit, Vietnam sebanyak 9 unit, dan Thailand dengan 8 unit.
Sementara, sampai sekarang Indonesia baru memiliki fasilitas iradiator sebanyak tiga unit, dengan satu di antaranya adalah fasilitas untuk kegiatan riset. Itu artinya, kebutuhan untuk membangun fasilitas iradiator baru sudah mendesak untuk dilakukan.
baca juga : Adopsi Teknologi dan Jalin Kolaborasi, Cara Lain Hadapi Perubahan Iklim
Ahli Reaktor Nuklir dari Pusat Riset Teknologi Reaktor Nuklir Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Mohammad Dhandhang Purwadi mengatakan, untuk mengembangkan fasilitas iradiator diperlukan standar riset yang sama, termasuk dalam tahapan uji laboratorium.
“Semua komponen iradiator bisa dibeli di Indonesia dan hanya perlu membutuhan effort, yaitu membeli sumber iradiasinya. Untuk pembangunan bisa menggunakan orang Indonesia, tidak perlu orang luar,” terang dia.
Pernyataan tersebut diperkuat oleh Kepala Pusat Riset Teknologi Proses Radiasi BRIN Irawan Sugoro. Menurut dia, dalam membangun unit iradiasi diperlukan ketersediaan bahan radioaktif yang masih harus didatangkan dari Hungaria.
Sayangnya, kebutuhan tersebut hingga saat ini masih menjadi permasalahan, karena pengadaan alat tersebut masih harus mengandalkan melalui jalur impor. Untuk mengatasinya, diperlukan riset agar bisa menghasilkan radioaktif produksi sendiri, sehingga tidak bergantung ke negara lain.
Meski demikian, BRIN mengakui bahwa saat ini fasilitas iradiator sudah tersedia di Serpong. Menurut Direktur Pengelolaan Laboratorium, Fasilitas Riset, dan Kawasan Sains dan Teknologi BRIN Tjahjo Pranoto, selain untuk riset, fasilitas tersebut juga melayani kebutuhan iradiasi untuk internal lembaga.
Direktur Pemasaran Direktorat Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (PDSPKP KKP) Erwin Dwipayana mengungkapkan kalau teknologi iradiasi pangan masuk ke dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) poin ketiga tentang food health.
“Yakni bagaimana menjamin kualitas produk dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” terang dia.
Dalam melaksanakan poin tersebut, perlu disiapkan manajemen dan mitigasi resiko terhadap penggunaan pangan, kajian terkait kelemahan dan keunggulan teknologi, serta keberterimaannya dalam konsumen baik di dalam maupun luar negeri.
Secara umum dalam literatur luar negeri sudah banyak pangan yang menggunakan iradiasi seperti pada boga bahari (seafood), kekacangan, dan pangan lainnya. Penggunaan tersebut berperan menjadi disinfektan, penghilang bakteri patogen, dan menambah umur simpan dari produk.
baca juga : 2022, Sektor Kelautan dan Perikanan Ingin Berlari Cepat
Upaya untuk meningkatkan kualitas produk kelautan dan perikanan melalui pemanfaatan teknologi iradiasi, sejalan dengan keinginan KKP untuk mendorong pertumbuhan volume dan nilai ekspor. Utamanya, adalah enam produk boga bahari yang banyak diminta oleh pasar dunia.
Direktur Jenderal PDSPKP KKP Artati Widiarti mengatakan, keenam komoditas yang dimaksud adalah tuna, kakap, kerapu, udang, cumi-cumi, gurita, dan ikan kaleng. Dari enam komoditas tersebut, ditargetkan nilai transaksi bisa mencapai USD100 juta.
Diketahui, lima tahun terakhir ekspor produk perikanan Indonesia mengalami surplus dan mengalami kenaikan hingga 6,1 persen per tahun. Pada 2017, nilai mencapai USD4,5 miliar dan naik menjadi USD5,7 miliar pada 2021.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 44,3 persen berasal dari pasar Amerika Serikat, 15,6 persen dari pasar Cina, 9,5 persen dari negara ASEAN, dan sekitar 5,7 persen dengan nilai USD328 juta berasal dari sumbangan pasar Uni Eropa.
Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mendorong agar produksi hingga pengolahan bisa memenuhi standar global. Dengan begitu, ekspor perikanan Indonesia ke pasar global, khususnya Amerika Serikat, Jepang, Tiongkok, dan Eropa akan terus meningkat.
Berdasarkan data sementara Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor produk perikanan pada Maret 2022 mencapai USD548,35 juta atau setara Rp7,87 triliun. Angka ini naik 22,48 persen dibanding Februari 2022, dan meningkat 14,87 persen dibanding nilai ekspor Maret tahun sebelumnya.
Artati memaparkan, secara kumulatif pada periode Januari – Maret 2022 atau triwulan 1 tahun 2022, nilai ekspor produk perikanan mencapai USD1,53 miliar, naik 21,63 persen dibanding periode yang sama pada 2021.
“Ini setara dengan Rp21,95 triliun dan kenaikannya luar biasa dibanding periode yang sama tahun lalu. Artinya, produk kita semakin diminati di pasar ekspor,” katanya.
Facebook
Twitter
Instagram
RSS / XML
© 2023 Copyright Mongabay.co.id