Di Tanah Papua, salah satu provinsi termiskin di Indonesia, memiliki budaya patriarki yang kuat sehingga membuat menstruasi menjadi topik pembicaraan yang tabu, terutama di kalangan laki-laki. Tapi Demianus Dike adalah salah satu laki-laki setempat yang berani mematahkan mitos dan kesalahpahaman tentang menstruasi di komunitasnya.
Demianus, atau Demi, bekerja untuk Yayasan Noken Papua, sebuah organisasi non-pemerintah lokal yang berfokus pada pembangunan kesehatan dan pendidikan di Papua. Dalam perannya, ia tidak hanya mendidik masyarakat tentang manajemen kesehatan dan kebersihan menstruasi (MKM) tetapi juga mengajarkan siswa, guru, dan kepala sekolah cara membuat pembalut yang dapat digunakan kembali dari kain. Karena kepiawaiannya, beberapa temannya memanggilnya “Manusia Pembalut dari Papua”.
“Saya mungkin diejek oleh teman-teman saya karena saya berbicara tentang menstruasi,” katanya. “Tetapi saya mengambil risiko ini agar anak perempuan di Papua dapat menyadari hak mereka atas akses kesehatan dan kebersihan di sekolah, bahkan ketika mereka sedang menstruasi.”
Untuk anak perempuan, persediaan dan fasilitas air, sanitasi dan kebersihan (Sanitasi Sekolah) yang layak merupakan prasyarat penting untuk memastikan partisipasi mereka yang aman dan sehat di sekolah. Tetapi penelitian UNICEF pada tahun 2015 menunjukkan bahwa satu dari enam anak perempuan di Indonesia membolos sekolah saat menstruasi, seringkali karena kurangnya pembalut dan toilet yang terpisah berdasarkan jenis kelamin, yang membuat mereka tidak dapat mengelola menstruasi dengan nyaman. Sebuah studi tahun 2020 yang diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi dengan dukungan dari UNICEF menunjukkan bahwa satu dari tiga sekolah di Indonesia tidak memiliki toilet terpisah antara laki-laki dan perempuan.
Salomina Wally, seorang kepala sekolah di Papua, melihat hal ini sangat mempengaruhi anak perempuan di sekolahnya. “Tidak mudah menyediakan pembalut cadangan untuk ratusan siswa perempuan. Alokasi anggarannya terbatas dan masih banyak hal lain yang perlu diprioritaskan,” jelasnya.
Demi prihatin bahwa beberapa anak perempuan di daerah pedesaan di Papua tidak masuk sekolah ketika mereka menstruasi dan ia bertekad untuk mengubah hal ini. Baru-baru ini ia memfasilitasi pelatihan MKM selama tiga hari di Sentani, Kabupaten Jayapura, dengan dukungan dari Pemerintah Kabupaten, UNICEF dan Yayasan Noken Papua. Pelatihan tersebut melibatkan 20 siswa perempuan dan 6 siswa laki-laki dari SD dan SMP se-Kabupaten Jayapura, yang didampingi oleh guru dan kepala sekolah. Tujuan dari pelatihan ini adalah untuk melatih para siswa menjadi Kader Kesehatan Remaja (KKR), yang akan mendidik teman-temannya tentang MKM di sekolahnya masing-masing.
Selama pelatihan, para siswa, guru, dan kepala sekolah belajar bagaimana membuat pembalut yang dapat digunakan kembali dari kain yang tersedia di lingkungan mereka. Setelah menunjukkan cara membuat pembalut langkah demi langkah, Demi membagi peserta menjadi empat kelompok sehingga mereka bisa berlatih membuat pembalut sendiri. Kelompok-kelompok tersebut tidak saja terdiri dari anak perempuan namun juga laki-laki, sehingga mereka dapat berkolaborasi dan saling bekerjasama.
Di salah satu sudut, Patricia Chesya Pesurnay, siswa SMP “Bonaventur”, dengan antusias memimpin kelompoknya. Dia membagikan tugas kepada teman-temannya, seperti membuat pola, memotong kain, dan menjahitnya.
Meskipun tugas tersebut pada awalnya tampak sulit, semua kelompok berhasil membuat setidaknya tiga hingga empat pembalut kain selama dua jam. Meski kualitas pembalut kainnya tidak sempurna, Patricia dan teman-temannya bangga dan menyatakan bersedia menggunakan pembalut yang dibuat kelompoknya.
Ibu Wally yang juga mengikuti pelatihan tersebut mengaku bersedia mencoba pelatihan yang sama dengan siswanya. “Saya yakin pembalut yang bisa dipakai berulang kali ini bisa menjadi solusi bagi sekolah kita,” ujarnya penuh percaya diri saat menyampaikan rencana tindak lanjutnya. “Mudah disiapkan, lebih murah, dan ramah lingkungan.” Guru dan kepala sekolah lainnya juga setuju dan mengatakan mereka berencana untuk menerapkan kegiatan MKM di sekolah mereka setelah pelatihan.
Dengan melibatkan siswa laki-laki dan perempuan, Demi berharap para peserta mampu menghilangkan mitos dan stigma yang terus berkembang seputar menstruasi di kalangan anak sekolah. Giston, siswa laki-laki dari Sekolah Menengah Pertama 6 Sentani, mengaku memiliki banyak kesalahpahaman sebelum mengikuti pelatihan. “Anak laki-laki sering mem-bully teman perempuannya saat sedang menstruasi di sekolah,” katanya. “Tapi ini tidak akan terjadi lagi.” Giston mengatakan dia sekarang memahami dampak negatif dari bullying pada anak perempuan dan berjanji untuk berbagi pengetahuan barunya dengan teman-temannya.
“Menstruasi adalah proses normal bagi anak perempuan, dan mereka harus berada di kelas untuk belajar bahkan ketika sedang menstruasi,” kata Demi. “Oleh karena itu, penting untuk menciptakan lingkungan yang nyaman bagi siswa perempuan di sekolah.”
UNICEF Indonesia telah mengarusutamakan MKM baik di tingkat nasional maupun daerah. Peran pendobrak tabu di tingkat lokal seperti Demi adalah bukti bahwa laki-laki, khususnya di Papua, dapat memahami pentingnya kesehatan dan kebersihan menstruasi serta membantu anak perempuan mengelola menstruasi dengan aman dan bermartabat. Ia berharap setelah mengikuti pelatihan, siswa, guru, dan kepala sekolah dapat melakukan kegiatan MKM di sekolahnya sehingga tidak ada lagi anak perempuan yang harus bolos pelajaran saat menstruasi.
Komitmen Indonesia pada Rapat Menteri Sanitasi dan Air Minum Seluruh Sektor di Jakarta
Pertemuan Penting Mendesak Prioritas Air dan Sanitasi agar Target Kesehatan, Iklim dan Ekonomi Kembali ke Jalur
Guru yang ditunjuk pemerintah menjadi mentor bagi siswa tentang masalah yang terkait dengan manajemen kebersihan menstruasi
Program MKM di sekolah-sekolah membantu sosialisasi pengetahuan tentang kesehatan reproduksi sekaligus mengurangi perundungan.