Jakarta, CNBC Indonesia – Penambang nikel melalui Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) menyampaikan kenapa penjualan nikel kadar rendah ke fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) rendah dan tidak sesuai dengan Harga Patokan Mineral (HPM) yang tertuang dalam Peraturan Menteri No. 11 Tahun 2020.
Salah satunya karena transaksi jual beli yang seharusnya berbasis Free on Board (FOB) namun oleh pelaku smelter diubah menjadi berdasarkan Cost Insurance and Freight (CIF).
Sekretaris Jenderal (Sekjen) APNI, Meidy Katrin Lengkey menyampaikan, bahwa berkenaan dengan alur penjualan hasil tambang, para penambang umumnya tidak langsung menjual ke pabrik atau smelter. Mereka harus melalui beberapa trader, baik trader tengah maupun trader ujung (trader di bawah afiliasi smelter).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Trader tengah kebanyakan mengcover terlebih dahulu pembelian bijih nikel secara free on board (FOB) dengan pembayaran 80%. Tetapi, kata Meidy, umumnya harga tersebut ditekan oleh pengembang smelter. Sisa pembayaran 20% menunggu hasil analisa akhir pihak pembeli atau pihak smelter.
“Dalam dunia perdagangan bijih nikel saat ini, tidak pernah menggunakan metode FOB, tetapi dengan CIF (cost, insurance, and freight),” ujar Meidy kepada CNBC Indonesia.
Para penambang, sesuai ketentuan Permen ESDM No. 11 Tahun 2020 berkewajiban membayar PNBP, royalty, dan PPh. Misalnya, jika transaksi penjualan berdasarkan FOB, setelah ditentukan harga pembelian kemudian penambang membayar PNBP, royalty, dan PPh untuk diserahkan ke negara.
Sementara metode trading berbasis CIF yang diberlakukan, untuk mengetahui harga HPM jika melalui beberapa trader ada istilah HPM minus antara US$ 0 – US$ 3.
“Contohnya untuk nikel kadar 1,8% dengan kadar air 35% harganya US$ 44. Jika melalui trader, maka HPM-nya akan dikurangi antara US$ 1 – US$ 3. Misalnya dipotong US$ 3, harga HPM yang diterima penambang adalah US$ 41 per ton bijih nikel,” terang Meidy.
Jika penambang melakukan kontrak trading dengan smelter, umumnya berbasis CIF. Pihak smelter hanya memberikan subsidi US$ 0 – US$ 3 per ton. Sementara biaya untuk tongkang antara US$ 4, 8, 10, sampai US$ 12 per ton bijih nikel.
“Jika kita ratakan dengan harga tongkang yang harus kami bayarkan, berarti kami harus subsidi antara US$ 4- US$ 6. Katakanlah US$ 6, jika smelter hanya membayar harga CIF, rumusnya HPM ditambah US$ 3 (angka maksimum), maka kami harus menanggung subsidi lagi sebesar US$ 3 dikurang harga HPM,” paparnya.
Diungkapkan, metode trading dengan CIF kendala yang dihadapi para penambang, pertama, mereka harus menanggung subsidi biaya pengiriman atau biaya tongkang. Kedua, terjadi perbedaan hasil analisa, baik di pelabuhan muat maupun di pelabuhan smelter.
“Faktanya, sekitar 90% selalu terjadi perbedaan analisa. Contohnya, hasil dari pelabuhan muat kadar nikelnya 1,8 %, maka mau tidak mau berdasarkan analisa itulah yang harus kami bayarkan ke negara berdasarkan HPM, yaitu untuk membayar royalty maupun PPh 1,5%,” urai Meidy.
Di sisi lain, kata Meidy, invoice yang disampaikan kepada pihak pembeli (smelter), jika analisa terjadi penurunan kadar, misalnya hasil kadarnya 1,29%, maka invoice yang disampaikan penjual adalah di kadar 1,29%, bukan di kadar 1,8%.
“Artinya, terjadi penalti penurunan nilai atau angka penjualan kami yang cukup sigfinikan,” tandas Meidy.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT