Seorang hakim menjadi sorotan setelah mengusulkan tes keperawanan terhadap calon pengantin — alasannya 'untuk menekan angka perceraian'.
''Bila perlu sebelum pernikahan harus diatur persyaratan yang tegas, yakni mereka masih dalam posisi kudus, suci artinya perawan atau tidak,'' tulis Binsar Gultom di buku berjudul 'Pandangan Kritis Seorang Hakim: dalam penegakan hukum di Indonesia 3'.
''Untuk itu, harus ada tes keperawanan. Jika ternyata sudah tidak perawan lagi, maka perlu tindakan preventif dan represif dari pemerintah.''
Buku yang dianggap 'diskriminatif' tersebut diterbitkan PT Gramedia Pustaka Utama, bulan lalu.
Komisioner Ombudsman Ninik Rahayu sontak menyatakan keberatan ketika disebutkan oleh BBC, di buku itu disebut bahwa ia mengapresiasi gagasan tes keperawanan sebagai upaya menekan angka perceraian dan kekerasan domestik.
Akhir dari Artikel-artikel yang direkomendasikan
Dia balik mengusulkan Binsar Gultom diuji kembali kapabilitasnya sebagai hakim. Sebab, pendapat Binsar dalam buku tersebut dinilai melanggar Perma (peraturan Mahkamah Agung) No. 3 tahun 2017 tentang pedoman mengadili perkara perempuan berhadapan dengan hukum, yang melarang diskriminasi.
''MA telah mengeluarkan perma, secara bersamaan ada anggotanya yang membuat pernyataan yang tidak sesuai dengan isi Perma. Pantas kalau yang bersangkutan dievaluasi tingkat kepatuhannya,'' kata dia.
Tes keperawanan dianggap melanggar hak asasi. Militer Indonesia sempat dikritik karena mensyaratkannya bagi calon prajurit.
Investigasi untuk menyibak tabir adopsi ilegal dari Indonesia ke Belanda di masa lalu
Episode
Akhir dari Podcast
''Apa salah saya mengungkap persoalan ini?'' kata Binsar Gultom sang hakim yang empunya gagasan, saat dihubungi oleh BBC Indonesia.
Ia juga menolak anggapan bahwa gagasannya tentang tes keperawanan itu diskriminatif dan melanggar hak asasi, dan berkilah bahwa sebenarnya ia juga mengusulkan tes yang sama untuk kaum pria.
''Ini tidak merendahkan. Sebab sudah terjadi perimbangan, lelaki juga mutlak melakukan tes keperjakaan. Memang di buku, saya baru sebut soal tes keperawanan. Tapi saya berpendapat lelaki pun mutlak,'' katanya, tanpa memapar bagaimana teknisnya uji keperjakaan itu.
''Saya baru membaca, (anak) SMP/SMA kalau dites keperawanan melanggar hak asasi manusia. Loh, kok melanggar hak asasi manusia?''
Ia menyebut bahwa ia bukan orang yang hijau di bidang HAM. ''Saya juga hakim HAM, salah satu hakim yang mengadili kasus pelanggaran HAM Timor-Timur dan Tanjung Priok.''
Binsar pun menepis tudingan bahwa gagasan itu didasari pandangan yang bias gender.
''Tidak ada tujuan saya mengerdilkan salah satu gender. Tujuannya (agar) rumah tangga sekarang mutlak suci, bersih, dan tidak bernoda.''
''Landasan berpijak saya, yang saya khususkan di sini masih murnikah pernikahan itu?," kata Binsar lagi penuh semangat.
Di bukunya yang setebal 306 halaman tersebut, Binsar menyebut bahwa sejak mulai bertugas sebagai hakim pengadilan umum pada 1996 sampai sekarang, ia sudah menangani 'sekitar 250' perkara perceraian dan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Betapa pun, ia tak memapar apakah ada, dan berapa banyak, kasus perceraian atau KDRT yang ditanganinya itu yang didasarkan pada sengketa keperawanan.
Sumber gambar, Getty Images
Pasangan nikah massal di Yogyakarta, foto diambil pada 2012.
Pijakan yang disampaikan Binsar tersebut yang dinilai 'terlalu menyederhanakan masalah' oleh sosiolog gender Ida Ruwaida Noor.
Menurut Ida, isu tes keperawanan ini secara berkala diungkit di masyarakat.
''Itu cermin konstruksi sosial di masyarakat, seolah-olah ketika perempuan itu tidak perawan lagi maka dia tidak suci lagi,'' katanya.
''Kenapa menjadi tanggung jawab perempuan, ketika apa yang terjadi pada perempuan itu juga sebetulnya hasil dari relasi seksual. Ini relasi sosial yang timpang sebetulnya,'' kata Ida.
Komisioner Ombudsman Ninik Rahayu mengungkapkan keberatan dan keheranannya bahwa ia disebut Binsar Gultom di bukunya sebagai 'mengapresiasi' gagasannya melalui sebuah artikel di media.
Ia mengaku hanya sependapat bahwa UU Perkawinan 1974 perlu direvisi karena dianggap sudah 'kedaluwarsa.' Namun ia menolak mentah-mentah, jika revisi itu mencakup tes keperawanan, atau uji fisik apa pun.
Lebih-lebih, jika Binsar Gultom berargumentasi bahwa tes keperawanan bisa mencegah perceraian. "Tidak ada hubungannya," tandas Ninik.
Tingginya angka perceraian dan kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia, menurut dia, lebih diakibatkan dua hal. Yakni perkawinan di usia anak dan pola relasi yang tidak sama antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga.
UU Perkawinan, yang sudah berumur 43 tahun tersebut, juga luput dalam hal sanksi terhadap aparat yang memperbolehkan perkawinan tanpa dicatatkan. ''Jadi tidak ada hubungannya sama tes keperawanan. Pak Binsar tuh yang kurang kerjaan,'' katanya pula.
Ninik kemudian mempertanyakan cara Binsar mengutip pendapatnya. "Itu dapat membingungkan masyarakat," kata Ninik. ''Pendapat kritis saya jelas, bahwa tidak ada hubungannya tes keperawanan dengan tingginya angka perceraian.''
''Saya minta Pak Binsar merevisi, kalau mengutip yang lengkap.''
Betapa pun, Binsar menolak berbagai tudingan itu.
''Seolah-olah ada kesan saya melakukan usulan salah,'' jawabnya.
Binsar yang kini menjabat hakim tinggi di Pengadilan Tinggi Bangka Belitung menyebut bukunya murni 'akademis'. ''Dan itu tidak ada larangan di dalam kode etik hakim sejauh mana tidak ada kaitannya dengan kasus perkara yang sedang berjalan kita tangani,'' kata Binsar.
© 2023 BBC. BBC tidak bertanggung jawab atas konten dari situs eksternal. Baca tentang peraturan baru terkait link eksternal.