Sumber gambar, ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
Sejumlah massa dari elemen buruh berunjuk rasa di depan kawasan Patung Arjunawiwaha atau Patung Kuda, Jakarta, Senin (2/11/2020).
Dua pakar hukum tata negara menyebut kejanggalan dalam setidaknya tiga pasal UU Cipta Kerja adalah "fatal" dan membuat pasal-pasal tersebut "tidak bisa diterapkan", namun pemerintah berkukuh kesalahan itu hanya bersifat teknis-administratif dan tidak mempengaruhi implementasi undang-undang.
Kejanggalan pasal-pasal ini bisa menguatkan argumentasi pihak yang mengajukan uji formil ke Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan undang-undang tersebut, kata dua pakar itu.
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menambahkan kejanggalan demi kejanggalan dalam UU Cipta Kerja – meski telah ditandatangani Presiden Joko Widodo – menggambarkan "proses legislasi yang ugal-ugalan".
"Ugal-ugalan karena ingin cepat sampai, segala cara dihalalkan supaya undang-undang ini cepat ada. Buahnya adalah ini, karena memang dalam proses legislasi dalam sepanjang sejarah indonesia, ini yang paling buruk," kata ujar Bivitri kepada wartawan BBC News Indonesia, Ayomi Amindoni Selasa (03/11).
Presiden Jokowi Wododo akhirnya meneken UU Cipta Kerja pada Senin (02/11) malam.
Akhir dari Artikel-artikel yang direkomendasikan
Undang-undang yang telah diberi nomor menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020 itu memuat 1.187 halaman, lebih banyak dari naskah yang diserahkan DPR pada 14 Oktober lalu sebanyak 812 halaman.
Akan tetapi, undang-undang yang dijuluki Omnibus Law tersebut diwarnai dengan salah ketik di sejumlah pasal. Bahkan, ada beberapa pasal salah rujukan.
Namun demikian, Kantor Staf Presiden menegaskan bahwa kekeliruan tersebut hanya bersifat teknis-administratif saja, dan tidak akan memengaruhi interpretasi maupun implementasi terhadap keberadaan payung hukum tersebut.
Tak lama setelah ditandatangani Presiden Joko Widodo, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) telah mendaftarkan pengajuan uji materi sejumlah pasal terkait klaster ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
Presiden KSPI Said Iqbal mendaftarkan gugatan uji materi UU Cipta Kerja pada Senin (02/11) malam.
Ketua Departemen Komunikasi dan Media KSPI, Kahar S Cahyono, menjelaskan pasal-pasal yang digugat dalam uji materi adalah "pasal-pasal yang merugikan kaum buruh", antara lain menyangkut upah murah, karyawan kontrak, outsourcing dan nilai pesangon.
Kahar menyoroti dalam UU Cipta Kerja terdapat pasal sisipan pasal 88C ayat (1) yang menyebut gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi dan pasal 88C ayat (2) yang menyebut gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu.
Menurutnya, frasa "dapat" dalam pasal itu sangat merugikan buruh karena membuat penetapan upah minimum kabupaten/kota (UMK) menjadi bukan kewajiban.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso
Sejumlah buruh melakukan "long march" saat menggelar aksi unjuk rasa menolak pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja di Jakarta, Rabu (28/10/2020).
"Kata-kata "dapat" ini kan opsional, bisa ditetapkan dan bisa tidak. Kalau kemudian yang wajib ditetapkan adalah UMP (upah minimum provinsi) maka akan ada dampak bagi kaum buruh," jelas Kahar.
Dia mencontohkan, UMP di Jawa Barat pada 2019 adalah Rp1,8 juta, sementara UMK di Bekasi besarannya Rp4,8 juta.
Jika yang ditetapkan hanya UMP, maka nilai UMK Bekasi – yang notabene adalah bagian dari Jawa Barat – akan turun setara dengan UMP.
Kahar menambahkan, pemberlakukan UU Cipta Kerja, akan mengembalikan Indonesia pada rezim upah murah.
Apalagi ditambah dengan dihilangkan upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota (UMSK dan UMSP), karena UU No 11 Tahun 2020 menghapus Pasal 89 UU No 13 Tahun 2003.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Jojon
KSPI menilai emberlakukan UU Cipta Kerja, akan mengembalikan Indonesia pada rezim upah murah.
Selain itu, KSPI juga menggugat pasal yang mengatur tentang outsourcing.
UU No 11 Tahun 2020 menghapus Pasal 64 dan 65 UU No 13 Tahun 2003.
Selain itu, UU tersebut juga menghapus batasan lima jenis pekerjaan yang terdapat di dalam Pasal 66 yang memperbolehkan penggunaan tenaga kerja outsourcing hanya untuk cleaning service, catering, security, driver, dan jasa penunjang sektor migas.
Dengan tidak adanya batasan terhadap jenis pekerjaan yang boleh menggunakan tenaga outsourcing, maka semua jenis pekerjaan di dalam pekerjaan utama atau pekerjaan pokok dalam sebuah perusahaan bisa menggunakan karyawan outsourcing.
"Artinya ke depan semua jenis pekerjaan bisa menggunakan outsourcing," kata dia.
Dengan kondisi itu, seorang buruh tidak lagi memiliki kejelasan terhadap upah, jaminan kesehatan, jaminan pensiun, dan kepastian pekerjaannya.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
Dengan tidak adanya batasan terhadap jenis pekerjaan yang boleh menggunakan tenaga outsourcing, seorang buruh tidak lagi memiliki kejelasan terhadap upah, jaminan kesehatan, jaminan pensiun, dan kepastian pekerjaannya.
KSPI juga mengajukan uji materi terkait pasal yang mengatur batas waktu kontrak.
UU No 11 Tahun 2020 menghilangkan periode batas waktu kontrak yang terdapat di dalam Pasal 59 UU No 13 Tahun 2003.
Akibatnya, pengusaha bisa mengontrak berulang-ulang dan terus-menerus tanpa batas batas waktu.
Dengan demikian, karyawan kontrak bisa diberlakukan seumur hidup tanpa pernah diangkat menjadi karyawan tetap. Hal ini berarti, tidak ada job security atau kepastian bekerja.
Padahal dalam UU No 13 Tahun 2003, batas waktu karyawan kontrak batas waktu dibatasi maksimal 5 tahun dan maksimal 3 periode kontrak.
"Itu hal yang substansial kami permasalahkan. Ada hal-hal lain, misalnya terkait waktu kerja yang kami anggap fleksibel, kemudian soal pengurangan pesangon, PHK yang lebih mudah, tenaga kerja yang unskilled bebas masuk ke Indonesia," jelas Kahar.
Selain gugatan uji materi, Kahar mengatakan pihaknya juga akan mengajukan gugatan uji formil terkait dengan proses pembuatan undang-undang tersebut.
"Karena indikasi banyak pelanggaran dalam proses pembuatannya, termasuk ada dugaan perubahan-perubahan yang dilakukan pasca disahkannya undang-undang Cipta Kerja ini tanggal 5 Oktober lalu," ujar Kahar.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Moch Asim
Gelombang demonstrasi menentang UU Cipta Kerja terus bergulir setelah undang-undang itu disahkan pada 5 Oktober lalu.
Sejak disahkan hampir sebulan lalu, UU Cipta Kerja mengalami enam kali revisi dan sejumlah perubahan, baik dalam hal jumlah halaman maupun pencabutan pasal.
Bahkan, ketika sudah ditandatangani Presiden Joko Widodo, undang-undang itu diwarnai salah ketik dan kesalahan redaksional.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, mengungkap ada beberapa hal yang "luar biasa fatal" dalam UU Cipta Kerja yang menunjukkan "proses pembuatannya menunjukkan kesemrawutan".
Dia mencontohkan relasi pasal 5 dan pasal 6 dalam UU Cipta Kerja. Pasal 6 dalam undang-undang itu merujuk pada pasal 5 ayat 1 huruf a. Namun pada pasal sebelumnya itu tidak terdapat ayat atau huruf.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi
Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, mengungkap ada beberapa hal yang "luar biasa fatal" dalam UU Cipta Kerja yang menunjukkan "proses pembuatannya menunjukkan kesemrawutan",
"Tentu saja orang yang membaca ketentuan undang-undang ini akan mengalami kebingungan luar biasa untuk memahami hal tersebut," kata Feri.
Pasal 6 dalam undang-undang itu merujuk pada pasal 5 ayat 1 huruf a. Namun pada pasal sebelumnya itu tidak terdapat ayat atau huruf.
Salinan UU Cipta Kerja yang didapat BBC News Indonesia, menunjukkan kesalahan redaksional pasal yang janggal tersebut:
Pasal 5
Ruang lingkup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi bidang hukum yang diatur dalam undang-undang terkait.
Pasal 6
Peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a meliputi:
a. penerapan Perizinan Berusaha berbasis risiko;
b. penyederhanaan persyaratan dasar Perizinan Berusaha; c. penyederhanaan Perizinan Berusaha sektor; dan
d. penyederhanaan persyaratan investasi.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Biro Pers/Rusman
Ketika sudah ditandatangani Presiden Joko Widodo, UU Cipta Kerja diwarnai salah ketik dan kesalahan redaksional.
Kesalahan fatal lain, kata Feri, terdapat dalam pasal 1 soal ketentuan umum yang memberikan makna isi materi muatan pasal-pasal di bawahnya.
Di pasal 1, pengertian minyak dan gas bumi adalah minyak bumi dan gas bumi.
"Itu pengertian yang menurut saya sangat konyol," tegas Feri.
"Dan kita juga bisa baca pengertian-pengertian lain yang kemudian maknanya disederhanakan padahal itu membuat pemaknakan isi materi muatan undang-undang ini menjadi kabur dan sulit dipahami," jelasnya kemudian.
Penerapan pasal 1 yang menjadi ketentuan umum, kata Feri, akan banyak sekali masalah yang akan timbul karena pemaknaan pasal itu bisa sangat berbeda-beda.
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti mengatakan pasal lain yang janggal adalah pasal 175 yang mengubah pasal 53 UU Administrasi Negara. Sama seperti pasal 6, pasal 175 adalah salah rujukan.
"Dalam pembuatan UU kesalahan seperti ini fatal, karena kedua pasal yang ditemukan sejauh ini, jadi tidak bisa dilaksanakan karena rujukannya salah pasti akan ada kebingungan dalam pelaksanaannya," kata Bivitri.
Dengan kondisi ini, kata Bivitri undang-undang itu "layak dibatalkan".
"Bahkan ada atau tidak ada kesalahan ini, dengan segala kesalahan yang ada, sudah layak dibatalkan. Dia sudah tidak punya legitimasi sebenarnya. Tapi layak dibatalkan dalam hukum itu artinya harus dimintakan pembatalannya kepada Mahkamah Konstitusi," jelas Bivitri.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Moch Asim/hp.
Unjuk rasa yang diikuti ratusan massa dari serikat pekerja dan mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi menolak pengesahan Undang-undang Cipta Kerja serta mendesak Presiden mencabut UU tersebut dengan menerbitkan Perppu karena dinilai merugikan rakyat khususnya para pekerja atau buruh.
Menurutnya, dampak lain ditemukannya kesalahan ini adalah argumentasi orang-orang yang mengajukan uji formil ke Mahkamah Konstitusi menjadi semakin kuat.
"Bahwa undang-undang ini memang harus dibatalkan seundang-undangnya nanti oleh Mahkamah Konstitusi," kata Bivitri.
Sementara Feri Amsari, yang juga pakar hukum dari Universitas Andalas menyebut undang-undang yang tidak jelas akan menimbulkan pertentangan dalam penerapannya.
"Pertentangan dalam penerapan itu akan menimbulkan kekacauan proses penyelenggaraaan negara," tegasnya.
Namun demikian, Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden, Donny Gahral Adian menegaskan bahwa kesalahan dalam pasal-pasa tersebut "kekeliruan teknis administratif".
"Tidak akan berdampak pada implementasi dari undang-undang tersebut. Jadi ini akan tetap jalan, karena kekeliruannya hanya teknis-administratif saja," jelas Donny.
Dia menambahkan, "kekeliruan teknis" ini menjadi catatan pemerintah supaya di kemudian hari tidak terulang lagi.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Galih Pradipta/hp.
Petugas TNI memadamkan api saat aksi unjuk rasa tolak UU Omnibus Law, di kawasan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Selasa (20/10/2020).
Ini untuk kesekian kalinya pemerintah berdalih kesalahan dalam proses legislasi UU Cipta Kerja sebagai kesalahan "teknis" dan "normatif".
Sebelumnya, pemerintah berdalih perubahan halaman dari 812 halaman menjadi 1.187 halaman karena perubahan format kertas.
Namun pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, menganggap dalih-dalih itu menandakan pemerintah dan DPR mengerdilkan makna proses legislasi.
"Sebenarnya itu yang saya sayangkan, mereka menganggap proses legislasi ini seperti proses teknokratik saja. Seperti bikin makalah, kalau salah direvisi. Tidak bisa," tegasnya.
"Jadi, proses yang sebenarnya "sakral" jangan dikerdilkan dan menganggap kesalahan sebagai sesuatu karena human error(kesalahan manusia).Kalau prosesnya salah maka sebenarnya undang-undang itu tidak punya legitimasi dan tidak punya legalitas," ujarnya kemudian.
© 2023 BBC. BBC tidak bertanggung jawab atas konten dari situs eksternal. Baca tentang peraturan baru terkait link eksternal.