Regional
Kategori
Event
Channels
DOWNLOAD IDN APP SEKARANG!
Jakarta, IDN Times – Pengusaha komoditas bauksit keberatan atas keputusan Presiden Joko “Jokowi” Widodo untuk menyetop ekspor bijih bauksit. Kebijakan itu akan diberlakukan mulai Juni 2023.
Pemerintah akan memberlakukan pelarangan ekspor bijih bauksit sekaligus mendorong industri pengolahan dan pemurnian komoditas bauksit di dalam negeri.
Pelaksana Harian Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I) Ronald Sulistyanto mengatakan, yang membuat pengusaha bauksit keberatan adalah nasib bijih nikel yang tidak terserap di dalam negeri akan dikemanakan jika tidak dapat diekspor.
“Kita setuju, cuma kita pengusaha minta keadilan ya untuk bisa supaya produksi kita ini yang 56 juta, hampir 60 juta setahun itu baru diserap 12 juta kalau hanya (ada) 2 smelter. Sisanya mau dikemanakan? Terus apakah pengusaha suruh berhenti berusaha, kalau berhenti berusaha kan banyak PHK dan lain sebagainya, kaitannya ke sana,” kata dia dalam sesi wawancara khusus dengan IDN Times.
Lantas, apa yang diinginkan pengusaha dari pemerintah? Selengkapnya, berikut wawancara IDN Times dengan Pelaksana Harian Ketua Umum APB3I Ronald Sulistyanto.
Sebenarnya penjelasan Pak Jokowi atau statement Pak Jokowi tentang penghentian ekspor ini kan sebetulnya perintah undang-undang ya. Artinya apa? artinya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2020, tanggal 10 Juni kalau tidak salah, itu kan berlaku 3 tahun mendatang sehingga Juni 2023 berakhir. Artinya diumumkan atau tidak diumumkan itu kan payung hukum pemerintah, undang-undangnya mengatakan seperti itu.
Bagi kita sebetulnya tidak kaget, dalam konteks kegiatan yang tidak boleh melakukan ekspor sepanjang smelter itu sudah terbangun. Tapi sekarang persoalannya satu sisi kita sudah berhentikan ekspornya tahun 2023 yang harapannya pemerintah dapat mengejawantahkan pembangunan smelter itu. Minimum lima yang akan berdiri, sampai hari ini kita hanya punya dua saja yang sudah eksis untuk bisa menyerap produksi bauksit dalam negeri.
Lima itu minimal ya, karena kan sarapan bauksit kita besar sekali. Satu, kita punya 1,2 juta sampai 1,6 miliar matriks ton, total deposit kita, material balance kita di Indonesia itu hampir 2 miliar matriks ton. Kalau toh kita punya smelter lima sampai enam saja, untuk hidup kira-kira sampai satu periode HGB, HGB itu 25 tahun, sampai dua kali periode pun gak akan habis itu.
Artinya seperti negara-negara lain, negara-negara lain juga punya bauksit, dia punya alumina, dia juga ekspor. Jadi sebenarnya gak ada korelasi larangan antara ada smelter atau tidak. Tapi bagi kita pengusaha kalau sudah ada yang menampung hasil produksi kita gak ada masalah, mau ekspor mau dalam negeri sama aja meskipun harganya beda ya.
Sampai hari ini sih yang manggil kita cuma DPR. Kalau rapat-rapat udah, kita pernah dengar pendapat dua kali. Kelihatannya DPR akan membuat panja ya untuk kegiatan ini, karena sebetulnya masalah yang krusial itu masalahnya satu, roadmap-nya hilirisasi sendiri itu masih carut-marut.
Kalau kita meruntut proses perjalanan panjang dari 2009, itu ada Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa 2014 tidak dilarang ekspor kalau belum ada smelter. Dari lebih dari 50 pemegang IUP itu, hanya 1 yang bisa mengejawantahkan. Kenapa begitu? karena begitu berat, capex-nya 1,2 miliar dolar AS. Alumnia ini gak ada turunan tingkatan ya, ya alumina sudah jadi satu.
Tapi kalau nikel, jangan disamakan dengan nikel. Ini kan pemerintah belajar dari nikel. Oke kalau nikel itu berhasil dalam tanda petik, nikel itu hanya 300 sampai 400 juta dolar AS. Itu sudah tertinggi, kecuali mau tertinggi lagi, ya itu ada turunannya banyak, itu kan bukan produk yang nilai tambah, tambahnya udah plus plus plus lagi, itu lain lagi.
Tapi baru nilai tambah saja dari bauksit itu hanya bisa cuma ke alumina saja, gak ada lagi, gak ada tuh tengah-tengah alumini gitu, gak bisa, alumina tetap. Nah, ini 1,2 miliar dolar AS dan itu padat modal pada tenaga kerja karena begitu besar. Tanah yang dibutuhkan saja hampir 1.300-an hektare karena kan menabung deposit, dan lain sebagainya. Nikel gak, lebih kecil semuanya.
Saya gak tahu persis ya, tapi kalau kita kontrak panjang-panjang itu juga gak ada yang berani karena peraturan kita ini kan berubah-berubah. Kita ini untuk kredit aja gak berani, banknya juga gak ada yang berani ngasih, kenapa? karena tadi, aturannya sangat berubah-berubah dengan cepat.
Kayak waktu itu kita waktu di-banned tahun 2014 kan banyak semua kolaps karena dia harus bayar bunga bank, harus dihentikan semua. Tadinya kan masih berharap ada relaksasi karena memang smelter juga belum terejawantahkan, belum jadi itu, belum ada yang bisa terealisasi dari di atas 50 pemegang IUP. Sekarang ini hanya 30-an sekian pemegang IUP, yang 50 sekian aja hanya 1, apalagi yang 30 ini.
Nah ini perlu adanya roadmap lah, roadmap-nya sudah ada, tapi apakah roadmap itu sudah sesuai dengan semua stakeholder dan pemain atau para pengusaha yang berkecimpung di bidangnya? Kalau hanya dibuat oleh pemerintah kan sepihak. Artinya pemerintah itu kan maunya pokoke, kalau pokoke itu susah sekarang.
Kalau kita berkaca pada proses hilirisasi di China itu berdarah-darah mereka kalau saya lihat historinya ya. Mereka itu kan beda ya karena mungkin pemerintahnya juga beda. Kalau mereka itu kan menyediakan sarananya dulu, jadi jalan dikasih, tempat dikasih, powerplant dikasih, pelabuhan dikasih, you tinggal bangun smelternya, kalau ada yang ganggu urusan pemerintah, akan disapu bersih. Kalau ini gak, pelabuhan bikin sendiri, jalan bikin sendiri, powerplant bikin sendiri, terus kedua urusan sosial kita sendiri.
Terus kedua kalau ini disebut proyek feasible mestinya Himbara mau mendanai dong? Kan pemerintah kita punya banyak duit. Kita gak cengeng kok, pengusaha kita ini gak cengeng cuma ya proporsional aja. Kalau memang kita kesulitan di pendanaan ya equity ditambahlah, atau ada jaminan lah dari bank pemerintah untuk bank asing. Bank pemerintah mengatakan itu tidak feasible, gimana? kan anomali kan? Terus bagaimana kita memamerkan kita keluar orang bank kita aja gak bisa terima, ‘kapan BEP-nya segala’ segala macam ‘pokoknya ini anu-anu’ ya macam-macam lah, itu proses panjanglah, udah kita mau ke Mandiri, mau BNI, udah itu proses panjanglah, gak ada ujungnya.
Nah, apalagi kita yang cari investor, terus kita jelasin sama mereka, you mau bangun, you punya duit berapa? ‘saya punya duit segini’ ya kurang lah gitu misalnya. Nah, equity kan harus ditambah. Modal kita ada cuma kan harus di-backup juga oleh banklah.
Ya kalau kita sih sudah belajar dari pengalaman gak ada gunanya sih, mau bikin surat kayak apa juga Presiden kita ini kalau udah A, A, kalau udah B, B gitulah. Udah gak mau dengar mau lu jungkir mau balik pokoknya saya maunya begini ya, buat apa.
Ya kita mungkin ada domain ke domain politik aja, tahun depan kan tahun politik ya kita juga harus bisa memberikan solusi yang terbaiklah pada bangsa ini karena pasti banyak yang akan dirugikan ya, dalam tanda petik dengan smelter bisa terbangun. Bisa, kita mengejawantahkan smelter dengan cepat asal pemerintah juga turun tangan lah membantu kita. Jadi jangan hanya cuma nyuruh, tapi ya dibantu, banyak lah, kita cuma dibantu ‘apa kesulitan kamu ini?’ ya begitu ngomong dana, langsung pergi lagi.
Masih China. China itu kan pintar dia memang menggunakan kesempatan untuk kita. Itu tidak terlalu banyak bisa mendirikan pabrik aluminium, kalau antaranya pabrik bauksit atau pabrik bauksit menjadi alumina, dia menerima full-lah. Hasil alumina kita itu dibeli penuh oleh China, karena turunan terakhirnya dia yang menguntungkan di negaranya kan penjualan aluminium.
Sedangkan kita kalau bangun dari mulai alumina sampai aluminium kan biayanya cukup besar. Alumina aja 1,2 miliar dolar AS, apalagi dengan aluminium meskipun sudah 99 koma sekian ya. Jadi kalau dilelehkan aja sudah jadi aluminium karena pasir putih kan yang sudah kita produksi di alumina.
Nah, kalau udah jadi aluminium kan yang paling besar ini kan turunannya adalah powerplant kan, energi listriknya kan untuk bisa memanaskan pada derajat tertentu dengan kapasitas tertentu.
Kalau permintaan itu sangat besar tergantung kita melayaninya, karena apa? Sekarang ini kan gini ya, kadang-kadang saya berpikiran terbalik, kita ini kan ekonomi kita gak baik-baik amat, dan lingkungan strategi kita juga mempengaruhi seperti itu. Ke depan akan lebih parah lagi kan masalahnya. Sedangkan kita ini sebenarnya punya cadangan yang begitu besar, bisa simultan gitu.
Smelter tetap, saya hilirisasi tidak menolak dan itu saya setuju sekali karena biar bagaimanapun hilirisasi itu akan meningkatkan daya saing kita di luar. Tapi kalau ini belum terejawantahkan, kan bisa simultan bersamaan untuk juga mengisi devisa kita. Karena ketimpangan impor dan ekspor ini kan akan menjadi kendala tabungan kita akan tergerus.
Nah, kita punya masa kita gak jual terus kita lebih baik mengorbankan defisit neraca perdagangan kita daripada kita ekspor. Ekspor terbesar itu banyak di komoditas tambang. Tambang yang sangat menghasilkan dan sangat menyumbang kepada devisa negara itu kita.
Nah, ini kenapa gak ditinjau kembali untuk bisa dipikir lebih jernih untuk bisa kita juga mendapatkan devisa, kedua juga memberikan kesempatan mungkin dengan roadmap yang baru, misalnya kalau perusahaan sekarang diminta untuk membuat smelter, perusahaan ada 30 berarti harusnya 30 smelter dong, kan gitu logikanya kan. Kalau kita perlu cuma misalnya 7 atau 8, 30 itu dibagi aja 5 perusahaan 5 perusahaan bikin 1 kan itu bisa dengan konsorsium. Tapi pemerintah under command gitu sehingga equity-nya bisa digabung. Tapi ini kan belum, pemerintah belum mengeluarkan apa-apa.
Ini kita setuju, cuma kita pengusaha minta keadilan ya untuk bisa supaya produksi kita ini yang 56 juta, hampir 60 juta setahun itu baru diserap 12 juta kalau hanya 2 smelter. Sisanya mau dikemanakan? Terus apakah pengusaha suruh berhenti berusaha, kalau berhenti berusaha kan banyak PHK dan lain sebagainya, kaitannya ke sana.
Ya, sisanya bisa diekspor, syukur-syukur harapan kita smelternya banyak sehingga pasokan kita itu langsung bisa diserap smelter, jadi gak usah ke mana-mana, produksi dalam negeri aja semua, selesai, gak ada masalah. Kita itu pengusaha itu sebenarnya manut aja ke pemerintahlah. Tapi kalau manut terus jadi mati itu kan juga gak fair lah. Manutnya bisa berkembang pelan tapi pasti kita juga jadi kuat gitu. Kan kalau pengusaha kuat kan juga menyumbangkan kepada pemerintah kan.
kamu sudah cukup umur belum ?