Hutan
Pagi jelang siang, Senin (20/5/18), Kantor DPRD Pulau Taliabu, Bobong, Maluku Utara, dipadati warga dari Kecamatan Lede dan Taliabu Barat Laut. Aksi massa menamakan diri Aliansi Masyarakat Tani Tani Taliabu (AMTT) itu mendatangi Kantor DPRD, protes pencaplokan lahan kebun pertanian warga beberapa desa di sekitar tambang bijih besi PT Adidaya Tangguh (ADT).
ADT mulai eksplorasi pada 2009, konstruksi pada 2014, dan uji coba produksi tahun ini. Rencana, 2019 mulai berproduksi.
Dalam aksi, mereka protes kehadiran perusahaan mengklaim dan menggusur lahan warga dengan mengorbankan cengkih. Warga juga protes harga bayar tanaman sangat rendah.
“Perusahaan merampas lahan-lahan kami. Saat ini, kebun warga yang berisi cengkih telah dikapling masuk konsesi perusahaan,” teriak Jamrudin, koordinator aksi.
Jamrudin mewakili para petani menyampaikan aspirasi ini karena perusahaan yang mengkapling kebun mereka. Perusahaan, katanya, baru beberapa tahun masuk sementara kebun warga sudah berpuluh tahun dengan hasil cengkih.
“Ada kebun cengkih milik petani bernama Lahudi digusur sekitar 900 pohon. Perusahaan hanya mau membayar per pohon Rp50.000. Akhirnya ditolak,” katanya.
Aksi mereka ini sebagai protes keras terhadap perusahaan dan pemerintah daerah yang mengeluarkan izin konsesi dengan mengkapling kebun warga.
Petani baru tahu dan kaget ternyata kebun cengkih mereka masuk areal konsesi kala mengajukan sertipikat ke Badan Pertanahan Nasional.
“Ketika petugas BPN akan turun pengukuran ternyata sesuai peta, lahan kebun mereka masuk izin konsesi hingga tak bisa mengukur dan membuat sertipikat.”
BPN bilang, kebun warga ternyata masuk hutan produksi konversi (HPK) dan ada izin ADT, anak usaha Salim Group. “Karena masalah ini kami bersama para petani melakukan penelusuran dan tanyakan ke BPN soal masuknya ADT sampai ke kebun kami.”
Setelah itu, warga aksi ke kamp ADT di Portolong pada 14 Mei lalu. Mereka menemui perusahaan dan mendapat jawaban sangat mencengangkan. Kawasan HPK dan alokasi penggunaan lain, semua sudah masuk konsesi tambang.
“Kami mendapatkan data dan peta lalu dianalisa ternyata perkebunan bahkan beberapa kampung di Taliabu Utara, masuk izin konsesi. Jarak hanya sekitar 500 meter dari pemukiman warga,” katanya.
Saat ini, katanya, telah keluar SK Bupati tahun 2017 untuk standar harga cengkih yang berbuah jika terkena gusur Rp1,5 juta per pohon.
Kalau tidak digusur cengkih warga itu setiap tahun berbuah dan bisa panen menghasilkan uang lebih banyak. Kondisi ini picu protes warga.
“Kami mendesak pemerintah dan DPRD Taliabu mencabut SK itu karena menyengsarakan rakyat.”
Mereka mendesak DPRD dan Pemerintah Pulau Taliabu, mencabut izin konsesi tambang yang mencaplok lahan warga. Juga mencabut surat keputusan soal standar harga cengkih gusuran per pohon.
Mereka juga mendesak pimpinan DPRD menandatangani dan segera membentuk panitia khusus menindaklnjuti masalah ini ke pemerintah provinsi dan Pusat melalui Kementerian Pertambangan maupun ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
“Dalam aksi ini Fraksi Nasdem bersedia menandatangani sikap yang diajukan massa. Pimpinan DPRD dari Golkar keberatan. Dari pemerintah daerah juga sama, saat aksi ke Kantor Bupati mendesak pemerintah mengkaji izin pertambangan, tak satupun pemerintah menemui massa.”
Melalui aksi ini AMTT mengajukan beberapa poin tuntutan kepada Pemerintah Pulau Taliabu, pemerintah provinsi, maupun Pusat. Tuntutan juga ditujukan kepada DPRD Pulau Taliabu, DPRD Maluku Utara dan DPR. Tujuannya, serius menyelesaikan persoalan ini.
Pertama, menuntut ADT dan perusahaan pengelola pertambangan lain agar mengembalikan lahan kelola warga. Kedua, pemerintah diminta memberhentikan ADT sebagai pengelola pertambangan sebelum sengketa lahan pertanian selesai.
Ketiga, meminta transparansi Pemerintah Pulau Taliabu, Maluku Utara atau Pusat soal keseluruhan konsesi pertambangan di Pulau Taliabu.
Keempat, bupati didesak segera berkoordinasi dengan Plt. Gubernur Malut guna mengkaji dan meninjau kembali izin kepada ADT karena pemberian konsesi tanpa mempertimbangkan perkebunan masyarakat.
Kelima, DPRD Pulau Taliabu segera membentuk pansus mengkaji kembali izin ADT, dan merekomendasikan kepada Plt. Gubernur dan DPRD Malut meninjau kembali.
Keenam, mereka meminta, pemerintah daerah menyerahkan salinan peraturan bupati menyangkut rencana detil tata ruang wilayah Pulau Taliabu. Ketujuh, meminta Pemerintah Talibu mencabut SK Bupati yang mengatur harga dasar tanaman.
Pardin Isa, Wakil Ketua II DPRD Pulau Taliabu menerima masyarakat yang datang menyampaikan aspirasi. Secara kelembagaan, katanya, DPRD sudah memutuskan segera membentuk pansus yang menangani masalah ini.
Saat ini, katanya, mereka masih fokus membahas dan mengesahkan 14 rancangan peraturan daerah, selanjutnya membentuk tim pansus. DPRD, katanya, akan memverifikasi beberapa data dan informasi warga.
Dia membenarkan soal pencaplokan lahan petani. Terlebih, kehadiran perusahaan juga tak ada sosialisasi kepada warga. “Selama ini perusahaan tak transparan kepada masyarakat. Termasuk apa saja yang mereka lakukan,” katanya.
Pada 2009, perusahaan masuk eksplorasi dan masyarakat kaget karena tak ada informasi maupun sosialisasi sama sekali. Semestinya, kata Pardin, perusahaan sejak awal masuk harus sosialisasi agar masyarakat tahu.
Lantas bagaimana tanggapan pemerintah daerah? Bupati Pulau Taliabu Aliong Mus malah menanggapi hal lain. Kepada media di Bobong, dia berjanji mengkaji ulang nota kesepahaman yang dibuat bersama ADT, seperti soal penyerapan tenaga kerja lokal dan dari luar Taliabu. Dia menargetkan, dalam kesepakatan 80% tenaga kerja lokal.
“Kita akan review MoU itu. Sebelum ada perjanjian tertulis dengan Pemkab Taliabu kita tidak izinkan bijih besi dibawa keluar.”
Bupati tak menanggapi protes warga menyangkut dugaan pencaplokan lahan. Dia malah mengimbau masyarakat tak terprovokasi dengan isu murahan seperti itu.
“Sampaikan kepada masyarakat Taliabu jangan mudah terprovokasi. Pemerintah mulai dari tingkat dusun sampai kabupaten harus mengetahui persoalan sebenarnya, jangan sampai ditunggangi masalah politik,” katanya.
Dia malah menuding aksi semacam ini ditunggangi segelintir orang. Dia berjanji mengupayakan koordinasi dengan managemen ADT untuk menyediakan listrik maupun air bersih bagi warga di daerah sekitar tambang.
Soal operasi ADT, WALHI Malut mencatat, sejak mengantongi surat keputusan Pemerintah Malut pada 2009, ADT mulai eksplorasi di kawasan hutan Pulau Taliabu dengan konsesi spesifik di Taliabu Utara dan Kecamatan Lede. Dari aktivitas mereka banyak menimbulkan masalah baik lingkungan maupun kehidupan masyarakat.
Pulau ini sendiri sudah berkerumun izin tambang. Laporan akhir tahun Walhi Malut 2016, menyebutkan, tambang jadi masalah di kabupaten ini, tak hanya pada lahan masyarakat adat terampas, juga kerusakan lingkungan.
Izin pertambangan terbit tercatat 67 unit, sebagian besar bermasalah. Luasan izin pinjam pakai kawasan hutan itu telah melampaui luas daratan Taliabu, yang berkisar 7.381, 03 Km².
ADT sendiri, mengantongi lima IPPKH dari Kementerian Kehutanan yang terbagi pada lima blok di Kepulauan Sula dan Pulau Taliabu dengan luasan 4.465,95 hektar.
Apa tanggapan ADT? Kushadi Yahya, Humas ADT dalam tanggapan resmi ke Mongabay membantah kalau perusahaan dibilang mencaplok kebun masyarakat.
Namun, katanya, kalaupun benar mencaplok atau menyerobot lahan masyarakat, sebenarnya tak harus langsung aksi. Ada tahapan bisa dilalui karena Taliabu masih bagian Indonesia, ada hukum yang mengatur.
Masyarakat, katanya, bisa gugat perdata sekaligus pidana kalau lahan mereka diserobot siapapun. Apalagi , katanya, warga punya tim pengacara. Dari LPBH PBNU, organisasi Islam terbesar di Indonesia telah menawarkan bantuan hukum.
“Jika ada bukti, LPBH PBNU pasti sudah menyampaikan kepada kami untuk diselesaikan baik- baik. Sebagian besar masyarakat Taliabu warga Nahdly’in. LPBH PBNU disebutkan memberi bantuan hukum cuma-cuma.
“Ketua tim pengacaranya ditunjuk langsung oleh KH. Said Aqil Siroj, selaku Ketua Umum PBNU,” kata Kushadi.
Dia bilang, dasar aksi sangat tidak jelas. Ada sebagian orang, katanya, menyimpulkan motif lain. “Ada yang bilang politik. Katanya sudah didesain jauh hari. Tapi silakan saja jika ada orang menafsirkan begitu. Kami tak masuk ke ranah itu. Kami hanya berharap, politik atau tidak, seharusnya pakai etika. Tidak boleh memperalat masyarakat apalagi menyesatkan masyarakat,” katanya.
Dia bilang, seharusnya mereka mendahulukan dialog santun, musyawarah untuk mufakat, kalau tidak bisa, tempuh jalur mediasi. “Jika tidak bisa berhasil juga, lewat litigasi, tempuh jalur hukum lewat pengadilan. Atau jika dicurigai ADT berkolusi, missal dengan aparat penegak hukum, baru aksi. Jadi tidak bisa langsung aksi demo.”
Menyangkut tuntutan warga yang meminta perusahaan keluar dari Taliabu karena dianggap merampas ruang hidup, kata Kushadi, ADT sebagai perusahaan modal asing, didirikan untuk jangka panjang.
Manajemen mereka, katanya, sangat memahami arti penting bermitra dengan masyarakat. Selama ini, katanya, sudah bermitra. Mayoritas karyawan ADT adalah masyarakat Taliabu.
“Yang suplai sayur-sayuran, beberapa ton ikan segar per bulan untuk makan semua karyawan yang tinggal di kamp juga masyarakat Taliabu.”
Ketika di Bobong, belum ada Balai Latihan Kerja, dan sumber daya lokal belum siap bekerja di industri tambang, ADT buatkan BLK atau training center untuk masyarakat. Mereka yang ikut program pelatihan lalu lulus uji kompetensi langsung diberi kesempatan bekerja di ADT.
“Itu sebabnya mayoritas pekerja ADT masyarakat lokal Taliabu.”
Dia mengklaim, ADT bersinergi dengan masyarakat. Jika nanti ADT berkembang, masyarakat diharapkan berkembang.
“Kami melihat dasar tuntutan mereka tak faktual, justru kontradiksi terhadap fakta. Mereka tak memiliki legal standing untuk minta ADT keluar,” katanya.
Kushadi juga menanggapi statemen atau sorotan beberapa pihak seperti wakil ketua DPRD dan Walhi Malut soal transparansi.
Katanya, ADT dalam program tanggung jawab sosial dan sudah lapor berkala ke pemerintah.
Dia juga klaim, ADT lakukan banyak hal baik bidang pendidikan dan pelatihan, kesehatan, pemberdayaan masyarakat, sosial keagamaan, infrastruktur dan lain-lain. Dia tak membahas soal tak ada sosialisasi kepada warga kala pertama masuk ke Taliabu.
“Tidak mungkin kami pamerkan ke semua orang. Bukan persoalan transparansi. Jika dilakukan, itu tidak pantas. Kalau seseorang membantu satu orang, apa menyiarkan ke semua orang?”
Foto utama: Di Kabupaten Taliabu ini, sudah ada sekitar 60 lebih izin tambang, salah satu PT ADT, dengan lima izin pinjam pakai kawasan hutan. Foto: Wahyu Chandra
Facebook
Twitter
Instagram
RSS / XML
© 2023 Copyright Mongabay.co.id