Seorang warga Uighur yang dipenjara atas tuduhan keterlibatan dalam kegiatan terorisme di Poso, telah dibebaskan dan dideportasi dari Indonesia pada awal Juli, kata pejabat Densus Antiteror 88 Polri dan mantan pengacaranya.
Tidak diketahui pasti ke mana Ahmet Bozoglan, 35, dipulangkan setelah bebas, tapi seorang pengamat terorisme mengatakan dia kemungkinan dideportasi ke China seperti ketiga rekannya yang lebih dulu bebas tahun 2020.
Bozoglan, yang ditahan di Lapas Permisan di Pulau Nusa Kambangan sejak 2015, menghirup udara bebas pada 1 Juli, kata Kepala Bagian Bantuan Operasi Densus 88 Kombes Aswin Siregar.
“(Bozoglan) sudah bebas per 1 Juli dan dipulangkan,” kata Aswin kepada BenarNews pada Senin (26/9), tanpa merinci ke negara mana Bozoglan dipulangkan.
“Untuk kapan dan ke mana (dideportasi), silakan konfirmasi ke otoritas terkait.”
Kepastian Bozoglan telah bebas pada 1 Juli dan dideportasi dari Indonesia juga disampaikan mantan pengacaranya, Faris. Namun ia mengaku tidak mengetahui waktu pasti dan ke mana Bozoglan dipulangkan.
“Setelah eksekusi (hukuman penjara), kami sudah tak lagi mendampingi (Bozoglan). Namun bisa dikonfirmasi bahwa ia sudah bebas pada 1 Juli kemarin,” ujar Faris.
Salah seorang anggota tim antiteror Polri dalam keterangan kepada BenarNews mengatakan, Bozoglan dibawa tim imigrasi dan Detasemen Khusus (Densus) Antiteror 88 dari Pulau Nusakambangan menggunakan kapal menuju Cilacap pada 1 Juli, untuk selanjutnya dibawa ke Jakarta lewat jalur darat.
Namun petugas tersebut juga tak merinci titik tujuan Bozoglan di ibu kota.
BenarNews menghubungi juru bicara Direktorat Jenderal Imigrasi Ahmad Nursaleh terkait perihal tersebut, tapi tak beroleh balasan.
Kemungkinan dideportasi ke China
Pakar terorisme dari Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi (PAKAR) Adhe Bhakti memperkirakan Bozoglan langsung dideportasi ke China, seperti halnya tiga warga Uighur lain yang bebas pada 2020 yakni Ahmet Mahmud, Altinci Bayram, dan Abdul Basit Tuzer.
Usai bebas dari Nusakambangan, ketiganya kala itu langsung dibawa ke Jakarta untuk selanjutnya diterbangkan ke China lewat Bandar Udara Halim Perdanakusuma menggunakan pesawat yang dicarter otoritas China.
Pemerintah China saat itu juga membayarkan denda ketiga warga Uighur tersebut, kata Adhe.
“Melihat kasus sebelumnya, kali ini sepertinya tak jauh berbeda,” ujar Adhe kepada BenarNews.
Ihwal denda untuk ketiga warga Uighur yang dibayarkan pemerintah China juga dikonfirmasi dua pakar terorisme kepada BenarNews pada November 2020.
Keputusan Jakarta yang mendeportasi tiga warga Uighur ke China sempat mematik unjuk rasa di depan Konsulat Jenderal Indonesia di Istanbul, Turki, pada Oktober 2020.
Pendemo yang berasal dari Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Turkestan Timur (ETHRW) menilai keputusan tersebut sebagai langkah yang salah karena China selama ini melegalkan hukuman mati dan diskriminasi terhadap warga Uighur.
Pihak berwenang di Wilayah Otonomi Uighur di provinsi Xinjiang, China (XUAR) diyakini telah menahan sekitar 1,8 juta warga Uighur dan warga minoritas Muslim lainnnya dalam sebuah jaringan kamp konsentrasi yang luas sejak awal 2017.
Pengacara keempat warga Uighur yang ditangkap di Poso, Sulawesi Tengah, pada bulan September 2014 itu mengatakan bahwa mereka adalah warga negara Turki yang sedang berlibur di Indonesia, namun jaksa penuntut berargumen mereka memegang paspor Turki palsu dan sedang dalam perjalanan untuk bertemu dengan teroris paling dicari di Indonesia saat itu, Santoso.
Enam pria Uighur lainnya yang bergabung dengan kelompok militan bersenjata Mujahidin Indonesia Timur (MIT) tewas pada tahun 2016 dalam operasi keamanan di Poso.
Hampir dua tahun lalu, Divisi Uighur Radio Free Asia mewawancarai Bozoglan lewat telpon dan dia mengatakan bahwa dia takut dirinya direpatriasi setelah bebas, meskipun pemerintah Indonesia telah mengakui bahwa dia adalah warga negara Turki.
“Vonis enam tahun rekan-rekan saya sudah selesai, tapi mereka tadinya akan tinggal enam bulan lagi sebagai ganti denda atas masalah dengan paspor mereka,” ujarnya kepada RFA.
“China membayar denda enam bulannya dan akhirnya mereka bertiga dikirim balik ke China.”
Bozoglan mengatakan bahwa ketiganya telah dipaksa oleh aparat berwenang Indonesia untuk menandatangani dokumen yang menyatakan bahwa denda kepada mereka telah dibayar, dan belakangan mereka secara tidak sengaja mendengar kepala penjara mengatakan kepada sipir-sipir penjara bahwa Kedutaan Besar China telah menanggung pembayaran denda mereka dan “berencana untuk membawa mereka ke China.”
Ketika ditanya apakah ada pengamat independen yang hadir saat mereka menandatangani dokumen tersebut, Bozoghlan mengatakan rekan-rekannya memberitahunya bahwa pihak aparat “tidak ingin timbul ‘masalah’ yang mungkin muncul dengan adanya pengacara atau wartawan.”
Bozoglan sebelumnya divonis enam tahun penjara dan denda Rp100 juta oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada September 2015 usai terbukti memasuki Indonesia dengan paspor palsu serta bergabung dengan kelompok militan MIT di Poso yang berafiliasi dengan kelompok Islamic State, atau kerap disebut ISIS.
Ia mengajukan banding, tapi hukumannya justru ditambah majelis hakim Pengadilan Tinggi Jakarta menjadi delapan tahun penjara dan denda Rp100 juta pada Oktober 2015.
Dalam persidangan, Bozoglan disebut berkewarganegaraan Turki –dibuktikan dengan dokumen yang ditunjukkan dalam persidangan, namun Beijing mengklaim bahwa keempat orang itu adalah warga negara mereka dan meminta dipulangkan ke China.
Adhe Bhakti menambahkan, pemerintah Indonesia sejatinya sempat menawarkan ke pemerintah Turki untuk membawa pulang keempat warga Uighur tersebut, namun Ankara disebutnya “terlihat enggan” membawa pulang mereka.
“Barangkali China bisa menunjukkan bahwa mereka adalah warga negara China sehingga akhirnya pemerintah Indonesia memulangkan mereka ke China,” kata Adhe.
BenarNews menghubungi Kedutaan Besar Turki dan China di Jakarta, tapi tak mendapat respons.
Peneliti Human Rights Watch (HRW) Andreas Harsono yang pernah mendampingi keempat warga Uighur selama menjalani proses hukum di Indonesia mengkritik keputusan pemerintah jika betul-betul mendeportasi Bozoglan ke China, seperti tiga warga Uighur sebelumnya.
“Mereka seharusnya tidak dideportasi ke China karena kemungkinan besar akan dieksekusi,” ujar Andreas kepada BenarNews.
“Kami percaya sistem hukum di sana tidak fair. Hal itu juga sudah kami sampaikan ke pemerintah Indonesia, tapi tidak ada jawaban.”
Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.